23. Merayap Pada Genggaman
Mungkin saja tidak sengaja seorang malaikat penolong melintas di hadapan Freya. Ia memberikan sedikit cahaya kepada Freya agar terhindar dari rasa malu. Bagaimana tidak malu, sekujur celana bagian belakang basah sekali. Bajunya tidak terhindar dari noda merah minuman yang Vioni tumpahkan dengan sengaja. Tampilannya benar-benar kacau sebelum Arion meminjamkan celana olahraga dan sweater hitam polos yang selalu ia pakai ke sekolah. Akhirnya, tak ada yang menduga. Freya bisa dengan nyaman mengikuti kegiatan keputrian.
Murid laki-laki sudah selesai dari sembahyang Jumat. Tentu saja setelah itu para murid ke gelanggang olahrga sekolah yang sekalian dijadikan sebagai aula kegiatan pentas seni. Biasanya tempat tersebut dijadikan gelanggang bermain basket dan fustal, terdapat pula tribun yang memungkinkan para murid untuk menonton pertandingan dengan nyaman. Sementara seluruh murid tengah digiring ke sana, anggota club Yatta masih bertahan di ruangan club untuk persiapan. Raka sudah meminta izin ke panitia untuk memberikan mereka panggung di akhir-akhir waktu pentas seni.
“Kayanya Raka harus keluar dulu, deh. Freya biar ganti kostum. Merias wajah butuh waktu juga,” ucap Zeta sembari membuka kotak riasannya.
“Hmm ... padahal gue mau lihat.”
Karin langsung melempar Raka dengan spidol. “Mau lihat apa?”
“Ya, gue mau lihat proses make up. Hahah ....”
Tawa kecil Freya terdengar berkat candaan receh dari Raka. Pria itu terlihat lucu dengan kostum karakter Subaru yang sederhana. Beliau hanya menggunakan celana hitam dan jaket bermotif jingga-hitam. Rambutnya berganti dengan wig acak-acakan, seperti rambut Subaru dalam anime aslinya. Tak perlu rasanya Raka dihias, menurut Zeta ia sudah cocok seperti itu.
Tangan Karin menarik paksa Raka untuk keluar. “Ayo keluar ... jangan ganggu mereka!”
“Iya ... iya ... jangan tarik gue.” Sebelum menutup pintu, Raka mencuatkan kepala sebentar. “Jadikan Freya secantik mungkin, Zeta!”
Zeta membantu Freya untuk melepas baju. Ia sudah pasti paham dengan segala hal mengenai merias diri, meskipun Zeta sama sekali tidak pernah merias diri ketika ke sekolah. Semaksimalnya, Zeta hanya mengenakan pewarna bibir tipis dan bedak bayi. Namun, untuk merias orang lain, dirinya yang paling ahli.
“Tubuh lo bagus. Lo diet dan olahraga?” tanya Zeta.
Seluru pakaian Freya sudah terlepas. Ia menutup dadanya dengan tangan. Mengenai pertanyaan tersebut, Freya menggeleng. “Apa itu diet? Gue masih suka makan tengah malam.”
Tangan Zeta melilitkan korset di pinggang Freya perlahan. Napas Freya sedikit tertahan karena itu. Ia sama sekali tidak pernah mengenakan korset sebelumnya.
“Kalau boleh gue koreksi, lo lebih baik pakai lotion pencerah kulit. Kulit lo memang cenderung lebih cokelat, tapi enggak apa-apa. Selagi kulit lo cerah, itu bakalan jadi kelebihan.”
“Terima kasih ... gue bakal mencoba. Iya, sih ... gue kecil dulu suka main panas-panasan. Hahah ...”
Kostum dipakaikan sedemikian rupa oleh Zeta. Terdiam diri Freya ketika menatap dari cermin. Tubuhnya kini terpasang pakaian maid yang lucu, kaki rampingnya tersingkap sedikit di atas paha hingga memberikan kesan sexy pada dirinya. Tak menyangka Freya bisa terlihat estetik seperti ini. Ternyata, ia sama sekali tak seperti yang dipikirkan. Ia bisa menjadi lebih cantik tanpa rasa rendah diri yang selama ini ia camkan di dalam hati.
Tersenyum bibir Freya sembari bertegak pinggang. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk club hari ini. Namun, selain itu ada hal yang ingin ia tunjukkan pada seseorang, yaitu kepada Raka. Ia bisa menjadi orang yang bisa dibanggakan dan diandalkan. Tak peduli ia akan memuji dirinya atau tidak nanti, setidak senyum kecil Raka sudah menjadi apresiasi tertinggi baginya.
Perlahan, wajah Freya dipoles dengan berbagai riasan. Bibirnya ranum dengan warna merah cerah yang menggoda. Semakin hangat pipi Freya terlihat oleh rona yang diberikan. Kesan tegas pada matanya semakin terlihat oleh detail dari tangan Zeta. Matanya indah sekali seperti karakter-karakter anime yang sering diperankan oleh cosplayer terkenal. Sentuhan terakhir Zeta diberikan dengan memasang wig berwarna biru muda cerah. Rambut pendekt sebahu itu mempertajam imajinasi hadirin nantinya bahwa Freya sedang melakoni karakter Rem di anime Re-Zero.
“Wangi tubuh lo seperti Arion ....” Zeta menyentuh pipi Freya. Ia sudah semaksimal mungkin untuk mempercantik Freya dengan sempurna.
“Hmm ... masa?” Freya memejam sesaat. Terbuka matanya setelah itu tatkala menyadari parfum Arion masih menempel di tubuhnya berkat sweater yang dipakai. “Oh, maaf ... gue makai sweater-nya Arion. Bagaimana lo bisa tahu?”
“Gue sekelas dengan Arion di kelas billingual. Duduk gue lumayan dekat. Kalau pagi, wangi Arion khas banget. Jadi, makanya gue tahu.” Zeta menuntun Freya ke depan cermin. Keberhasilan dirinya merias Freya ditunjukkan melalui senyum yang terpancar. “Lo lagi dekat dengan Arion?”
Sembari memerhatikan penampilannya yang berbeda, Freya menggeleng kepada Zeta. “Enggak, kok. Gue kenal dia gitu-gitu aja. Kebetulan tadi gue dipinjami sweater oleh Arion karena baju gue basah.”
“Berarti lo dekat dengan Arion, dong. Mana ada cewek seberuntung itu yang bisa dipinjami sweater Arion.”
Freya sontak menoleh pada Zeta. “Enggak, kok. Barangkali aja Arion memang orangnya baik. Dia baik ke gue, bukan berarti gue lagi dekat sama dia.”
Zeta tersenyum. Ia belai rambut Freya yang kini berganti dengan wig. “Hahah ... ya sudah. Enggak apa sih lo mau dekat dengan siapa aja. Yang penting itu berasal dari hati lo. Teruntuk Arion, lo kayanya mesti hati-hati dengan Vioni. Dia suka banget sama Arion. Yaa ... gue rasa seorang Arion mana mau sama Vioni yang sombong itu.”
Terbuka kembali ingatan tentang bagaimana dirinya diperundungi begitu rendahnya oleh Vioni. Freya tidak tahu salahnya sehingga ia harus menerima itu. Ia sama sekali tidak pernah mencari musuh atau pun memiliki musuh sebelumnya. Jangankan musuh, teman pun sedikit. Namun, urusan dirinya dan Vioni masih belum masih di akal sehatnya.
“Iya, gue paham, kok. Lagian, Arion juga mana mau sama gue. Lo gila aja ....”
“Hahah ... siapa tahu. Hati enggak ada yang bisa nebak, kan? Bahkan kalau Raka suka sama lo, kita enggak pernah tahu.”
Gue berharap itu terjadi .... Hati Freya berharap pelan-pelan, tak ingin terdengar oleh siapa pun.
Bersenandung degup jantung Freya ketika menunggu giliran sesi tampil bagi club. Mereka berdiri di belakang gelanggang, tepat di pintu masuk bagian belakang. Gelanggang sudah ribu dengan penampilan seni dari kelas penyelenggara. Begitu pula riuh suara keseruan dari para murid yang menonton. Freya tak pernah tinggal menonton pentas seni sebelumnya karena ia suka ketika bagian penampilan akustik. Yang tidak tertinggal jajaran depan yang biasa diduduki oleh anak OSIS. Sebagai Wakil Ketua OSIS, Raka belum pernah tinggal dari pandangan Freya di sana.
Sejauh-jauh mata memandang, tidak pernah akan sedekat akhir-akhir ini. Freya lebih bisa melihat detail mata Raka tatkala memicing padaya. Bergemuruh tunas-tunas cinta di dalam hati, menyeringai ingin mengatakan, tetapi terlalu takut untuk diungkapkan. Menyatakan cinta tidak seperti air yang mengalir di sungai, tetapi ada banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Salah satunya ialah penolakan. Freya tak ingin terjadi hal tersebut. Semua usaha ini hanyalah sia-sia apabila masing-masing dari mereka akan menjauh. Lebih baik dirinya tetap memandang Raka dari jauh, menikmati anugerah yang dititipkan kepada pria itu, sembari bersyukur bahwasnya sampai saat ini ia masih akan melihat Raka.
“Itu giliran kita ....” Raka berhenti mengipasi mereka bertiga yang duduk berjongkok di hadapannya. Sedari tadi Raka mengipasi teman satu club-nya tersebut dengan menggunakan selembar karton. “Ayo, kita masuk. Gue enggak mau terlambat beberapa detik setelah nama kita dipanggil."
Karin melebarkan tangannya. “Wah ... terima kasih banget udah ngipasin kami selama tiga puluh menit.”
Tampak Raka merenggangkan lengannya yang pegal. Setelah itu, ia membuka pintu belakang. Sebelum masuk, Zeta tampak memerhatikan detail wajah Freya agar memastikan tidak ada yang tertinggal. Perasaan yakin dipupuk terus menerus oleh Raka bahwasanya mereka harus bisa mengambil manfaat dari ini. Setidaknya, mereka harus membawa satu orang untuk tertarik bergabung. Angka minimal itu bukanlah sembarangan, tetapi masa depan mereka agar tetap bisa bertahan.
Nama Club Yatta bergema untuk bertama kalinya di atas panggung sekolah. Untuk pertama kalinya hampir dari seluruh warga sekolah mencerna satu kata penuh makna tersebut. Tepuk tangan bergemuruh semarak diberikan oleh para hadirin. Guru-guru berdiri karena penasaran yang akan tampil. Satu hal yang paling membanggakan selain bergemanya nama Yatta di sana ialah trofi yang sudah ia toreh. Trofi juara tiga tersebut bertengger di atas panggung, dipersiapkan oleh Raka jauh sebelum pentas seni dimulai.
Freya dan Raka berdiri bersampingan tepat di bawah tangga pentas. Mereka menarik napas panjang sebelum naik, lalu saling bertatap untuk memberikan semangat. Tangan Raka menadah di hadapan Freya hingga dirinya dirundung rasa bingung oleh perlakuan tersebut, persis seperti seorang pangeran yang ingin menggiring putri kerajaan untuk berjalan. Sebelah alis pria itu naik agar Freya terpancing.
“Ada apa?”
“Bukannya Subaru dan Rem selalu cocok satu sama lain?” tanya Raka. Ia menatap ke depan sejanak. “Pegang tangan gue, biarkan gue jadi Subaru sekarang.”
Tak ada yang lebih indah dari kalimat Raka selama ini, kecuali yang baru ia ucapkan kepada Freya. Rasanya jantung ingin mencabik rusuk ini untuk segera keluar karena saking berdebarnya. Senyum melingkar bersamaan dengan pipi merah merona oleh perasaan terpesona. Perlahan, tangan Freya merayap pada genggaman Raka, mengisi setiap celah kosong dari jemari pria itu.
“Yatta!” teriak Raka dan Freya tatkala menampakkan diri di atas panggung.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Anantara Rasa
Teen FictionFreya Naomi jatuh cinta kepada Raka Azura sang Wakil Ketua OSIS yang pernah menyelamatkannya ketika Masa Orientasi Sekolah. Cinta itu berlanjut hingga kesukaannya terhadap budaya Jepang membawa Freya mengikuti sebuah club Jepang bernama Club Yatta...