8. Merasa Spesial

131 12 0
                                    

8. Merasa Spesial

Suara klakson mobil berbunyi ketika Freya berusaha melambai kepada Lani yang baru saja melintas dengan motornya. Terlihat bayang-bayang wajah Raka yang gelap di balik kaca mobil. Bibirnya bergerak, tetapi Freya tidak tahu maksud perkataannya. Ia segera masuk, sudah pasti Raka meminta hal itu.

Aroma mobil begitu kontras dengan wangi parfum Karin yang khas. Melintas memori waktu pertama kali wanita itu tersenyum kepadanya. Wangi mobil kini bercampur dengan nada musik Lo-Fi yang Raka putar. Begitu sejuk suasana yang tercipta, terutama lembutnya suara Raka yang berusaha mengikuti nada.

Deru suara mobil bersuara di jalanan beraspal. Mulut Freya masih terkunci di tengah harmoni yang berselimut. Raka juga tak kunjung mengajaknya berbicara, padahal Freya ingin sekali. Terlintas harapan ia akan selalu berdua bersamanya ketika pulang. Menelurusi jalanan senja yang hangat, ditemani senyum lembut pria itu.

“Itu Arion, kan?” Tiba-tiba Raka bertanya. “Itu sepeda lo?”

Terlihat Arion dengan wajah datarnya mengayuh sepeda milik Freya. Wajahnya terang disentuh cahaya mentari.

“Iya, itu sepeda gue. Tiba-tiba aja Arion minjam karena dia tahu gerbang sudah ditutup sebelum kita kembali lagi ke sini.”

“Oh, begitu. Enggak apa-apa sih. Padahal besok gue bisa minta Karin jemput lo juga.” Raka menghela napas di tengah kalimatnya. “Kalian sepertinya dekat?”

“Tidak juga. Kami jarang bicara,” balas Freya sembari menggeleng.

“Lo suka dia?”

Pupil Freya melebar tatkala ia menoleh kepada Freya itu. Mana mungkin dia menyukai Arion. Andai saja hati ini bisa berteriak, sudah dari dulu rasanya ingin menusuk pria ini dengan perkataan cinta. Meronta-ronta untuk keluar di tengah ketidakmungkinan untuk memiliki. Seakan betapa hinanya dirinya untuk berpendapat cinta. Mendiskusikan semuanya di akhir yang tidak bahagia.

“Tidak! Jangan mengada-ngada.” Nada Freya terdengar naik.

“Haha … santai, gue cuma mengira,” pungkas Raka.

Lima belas menit kemudian mereka tiba di sebuah mall megah di tengah kota. Setelah memarkirkan mobil, mereka berjalan berdua menelusuri lantai dingin sebuah mall. Pemandangan menarik teripta, Freya menjaga jarak untuk tidak berdekatan di tengah para pasangan yang saling berpegangan tangan. Ia hanya memerhatikan pria itu dari belakang sembari mengagumi keistimewaannya.

“Selamat datang di surganya pecinta Jepang,” ucap Raka di depan pintu masuk sebuah toko merchandise semua hal tentang Jepang. Pria itu mengulurkan tangan dan tanpa diduga jemari-jemarinya melingkar di pergelangan tangan Freya.

Freya ditarik oleh seorang pria yang sangat ia sukai. Tidak bisa dipungkiri, wajahnya memerah tak bercelah. Seragamnya pakaian mereka berseiringan dengan pasangan yang turut berkunjung ke sini. Sudah lama sekali ia menginginjan sebuah momen, di mana ia merasa diperlakukan lembut seperti ini. Akhirnya, Freya bertemu dengan titik temu itu. Semesta menjawab harapannya.

“Kimono ….” Freya menyentuh pakaian tradisional Jepang yang dipajang.

Ujung telunjuk Freya menelusuri motif bunga yang terlukis di serat kain kimono yang lembut. Memori itu kembali terputar tatkala tangan Freya digiring oleh orangtuanya untuk mengejar cahaya kembang api di festival malam itu. Letupan bunga kembang api begitu indah memantul di udara. Semua orang bersorak, termasuk Freya yang sedang dipakaikan kimono kecil oleh teman Ayahnya di Jepang.

“Bagaimana? Lo suka?”  tanya Raka.
Freya menoleh, bibirnya mengulum senyum terbaik. Tentu, ia begitu suka dengan pakaian ini.

“Gue suka banget!” Freya mengangguk.

“Ini yang bakalan lo pakai nanti waktu lomba.” Raka menyentuh rambut Freya. “Lo pasti cantik memakai ini besok.”

“Tahu satu hal, enggak?” tanya Freya.

“Apa itu?” balas Raka.

“Lo orang pertama yang bilang gue cantik selain dari orangtua gue.”

Senang rasanya memuji pria itu. Freya di dalam hati serasa ingin meloncat kegirangan di tengan ribuan degup jantung yang ingin berdebar selanjutnya.

“Lo itu selalu merasa rendah diri. Setiap orang punya kelebihan, kadang kita yang menutupinya. Jangan pernah begitu lagi.”

Kalimat Raka terasa menyentuh kalbunya, membelai dengan sebegitu lembut. Selama ini ia merasa dirinya tidak spesial. Semua hal yang ia lakukan semata-mata hanya untuk diri sendiri, memuaskan hasratnya sendiri, tanpa ada motivasi untuk orang lain. Kadang ia membenci diri sendir untuk setiap hal yang membuatnya merasa rendah diri. Namun, pria itu mengajarkannya bahwa dirinya tidaklah begitu. Dirinya spesial, setidaknya semenjak perkataan beberapa detik yang lalu.

“Terima kasih,” balas Freya sepenuh hati. Matanya kembali ke pakaian Kimono dan melirik ke label harga. Ia terkejut berkat harganya yang sangat mahal untuk kantong mahasiswa. “Astaga! ini mahal banget.”

“Tenang saja, kita punya donatur.”

“Siapa?”

“Siapa lagi kalau bukan orangtua Karin.” Ia tersenyum. “Itulah senangnya punya teman sepertinya. Ayo, ambil ini.”

Tangan Raka memberikan pakaian tersebut kepada pelayan toko yang sedang berdiri di dekat mereka. Betapa mudahnya ia mengambil pakaian harga selangit itu, walaupun menggunakan uang orangtua Karin. Jika dirinya, pasti turut berpikir dua kali untuk mengambil pakaian harga selangit.

Di kasir, Raka terlihat bersalaman dengan seorang kasir. Freya mendekat ketika menyadari kedua orang tersebut berbincang dengan hangat. Ia tinggalkan pernak-pernik yang ia sentuh. Tatkala ia tiba, Raka memperkenalkan Freya kepada kasir pria tersebut.

“Ini temen gue yang dimaksud. Tolong yah, besok pasti gue kasih formulirnya.”

Freya menjulurkan tangannya untuk bersalaman. “Gue Freya.”

“Sandi ….” Pria itu tersenyum. “Lumayan kawaii juga, ya.”

Freya tersenyum tatkala mendengar itu. Kawaii berartikan lucu atau imut dalam bahasa Jepang.

“Dia panitia event di sana,” ucap Raka kepada Freya.

“Oh, ya?” Freya menoleh kepada pria yang dimaksud. “Mohon bantuannya.”

“Oke, tenang aja. Ini belanjaannya.” Sang kasir memberikan belanjaan mereka.

Kaki Raka melangkah ke sebuah pajangan sourvenir. Jemarinya mengambil dua buah gantungan karakter anime, lalu memberikannya kepada kasir.

“Sekalian,” kata Raka sembari tersenyum.

“Oh … so sweet sekali …. buat dia?” tanya kasir itu.

“Dari tadi gue lihat dia megang-megangin itu mulu.” Raka mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu dan memberikannya kepada kasir.

Pakaian kimono yang begitu indah akhirnya dibawa pulang. Freya penasaran bagaimana penampilannya tatkala mengenakan pakaian itu. Melenggak-lenggok di atas panggung berkarpet kasar, tersenyum kepada para juri, tentu saja ia tak lupa dengan sorot mata Raka yang ia harap terkagum tatkala menatapnya.

Bunyi dentuman bass musik Lo-Fi kembali bersenandung sepanjang perjalanan ke rumah. Matanya tak henti mencuri pandang kepada Raka yang berkali-kali membuatnya memecah tawa. Pembawaannya yang hangat, leluasa mencairkan kakunya suasana yang sempat terjadi di awal-awal perjalanan. Lantun suara mereka berpadu menyanyikan satu lagu yang sama-sama mereka ketahui. Lantang perasaan Freya tercerminkan dibalik sudut bibirnya yang melebar ke sudut paling maksimal.

Begitu sempurna dirinya hari ini, ucap Freya tatkala mobil berhenti di depan gerbang rumahnya.

Raka keluar dari mobil bersamaan dengan Freya yang turut menginjakkan kaki keluar. Bayang cahaya lampu jalanan jatuh dari sorot mata Raka yang mendekat. Silau oleh gemilang senyum yang ia pancarkan, menyambung hati Freya yang berharap direngkuh dengan erat di akhir pertemuan ini. Dirinya menyambut sebuah pemberian dari Raka. Bermaniskan sentuhan cinta yang Freya harap untuk disambut dengan mesra.

“Ini buat lo,” ucap Raka tatkala tangannya memberikan gantungan kunci karakter seekor beruang coklat.

Thanks ….” Freya menyambutnya. “Ini lucu banget.”

“Anggap aja pemberian terima kasih karena lo mau ikut berkontribusi buat club ini.”

Freya mengangguk. “Baiklah … akan gue hargai.”

Tangan Freya menyangkutkan gantungan kunci itu di handphone miliknya. Setiap detik yang tercipta akan selalu tertuju kepada pria itu.

“Besok mau gue jemput?” tanya Raka.

Dilema menghantui dan menghantamnya untuk mengiyakan di tengah janji yang sudah ditetapkan. Arion telah lebih dahulu membuat janji dengannya.

“Enggak perlu. Makasih banget. Gue bisa sendiri, kok.” Terpaksa Freya menolak.

“Hmm … ya sudah. Gue pulang dulu.”

Freya melambai kepada Raka yang melangkah menuju mobil.

“Hati-hati,” ucap Freya sebelum pria itu benar-benar masuk ke dalam mobil.

Tidak ada jawaban, pria itu hanya membalasnya dengan riang wajah yang ia tunjukkan. Deru mobil yang berbunyi melaju memadamkan senyum Freya. Ia berlari ke dalam rumah tanpa mengucap salam. Tubuhnya jatuh ke atas kasur sembari berteriak senang. Begitu senang dirinya hari ini. Seorang pangeran membuatnya merasa spesial.

GUE CINTA ELO!!! teriak Freya dalam bekap sebuah bantal.

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang