16. Janji

92 10 0
                                    

16. Janji

Satu kata percaya yang direngkuh erat-erat dari sambut mesra teman-teman menjadi hal yang begitu istimewa. Keistimewaan itu tampak berarti dengan sebuah kehadiran yang hangat. Menelusuri labirin rasa untuk menemukan inti perasaan. Menyentuhnya hingga bergeliat akan malu. Binar-binar kebahagiaan pun memancar terang dari sorot mata yang ditunjukkan. Sentuh manja tangan-tangan lembut itu tak bisa terukir dalam kata-kata. Tulus menyambut Freya yang baru saja turun dari panggung. Semua rintangan sudah disibak ke sebuah titik terang, yaitu rasa tidak ingin menunggu akan sebuah hasil.

Terlalu lurus perasaan ini dalam sayup degup dada yang berdebar tatkala Raka memeluk Freya dengan erat. Diikuti dengan Karin dan Zeta yang sama-sama merengkuhnya dengan kuat. Mata Freya berkaca-kaca menatap ketiga temannya yang begitu peduli tanpa menuntut syarat. Tampak tulus dirasakan makna sebuah cinta. Cintanya kepada sahabat, sekaligus cinta kepada hati yang memaksa untuk terus menatap. Pada akhirnya, menyeretnya keapada lubang hitang tak bercelah, tersesat dalam lembutnya cinta yang menyeret.

“Lo sempurna malam ini,” puji Raka kepada Freya.

Tangan Zeta mengelus rambut Freya dengan lembut. “Lo pintar juga, ya. Penjelasan lo tentang Jepang luas banget.”

Ia tersenyum. Terima kasih begitu besar tak akan bisa ia jabarkan semua. Tentu saja ia tahu banyak mengenai Jepang. Selain ia pernah pergi ke sana sewaktu kecil, papanya selalu menceritakan pengalaman ketika dikirim ke sana untuk berkerja beberapa bulan.

“Jangan mencemaskan hasil. Yang penting lo udah berusaha.” Karin tersenyum.

“Iya, terima kasih banyak ya teman-teman. Gue jadi terharu ….” Freya mengucek matanya yang lembab.

“Yah … malah nangis,” ucap Raka sembari menunjuknya.

“Ini bukan nangis, gue terharu,” balas Freya.

“Menangis itu merupakan keluarnya air mata yang disertai dengan emosi.” Raka tersenyum. “Paham, kan? hahaha.”

“Bisa aja lo. Btw … kita mau ke mana?” tanya Freya.

Karin mengangkat jam tangannya. Dahi mengernit terpikirkan sesuatu.

“Kayanya gue harus balik lebih dahulu. Kalian tahu sendiri kalau gue ada jam malam, kan?” Karin memajukan bibirnya.

Zeta terlihat menangguk. “Karin pulang, gue juga pulang. Sekarang udah jam sebelas malam. Tadi, gue dengar Karin kena omel sama orangtuanya.”

“Lo dengar itu?” tanya Karin.

“Iya, gue dengar dari luar. Haha ….” Zeta tertawa, “Lagian, suara orangtua lo kedengaran sampai keluar.”

“Yaudah, deh. Ikuti aja kata orangtua. Gue dan Freya bisa nunggu pengumuman di sini, kok,” balas Raka.

“Iya, kalian duluan aja. Enggak apa-apa, kok.” Freya menangguk.

Tampak sorot mata murung dari wajah Karin. “Benaran enggak apa-apa? Gue jadi enggak enak.”

“Iya, pulang aja duluan. Sekalian antar Zeta ke rumahnya,” jawab Freya.

“Baiklah, kami minta maaf karena puluang duluan.” Karin memeluk Freya. “Semoga lo jadi orang yang menyumbang piala pertama kali untuk club kita.”

Setelah itu, dilanjutkan oleh pelukan dari Zeta. Kacamatanya semakin miring tatkala bersentuhan dengan pundak Freya. “Gue berdoa buat lo malam ini, don’t worry.

Thanks banget, teman-teman. Hati-hati.”

Karin melangkah sembari melambai , diikuti oleh Zeta yang menggandeng tangan gadis cantik itu. Helaan napas Freya semakin berat tatkala menyadari ia kembali bersama Raka malam ini. Masih dengan wangi tubuhnya yang tak berubah, beserta raut senyum hangat yang selalu ia tunjukkan tatkala bertatapan.

“Ayo, cari sesuatu untuk dimakan.“  Raka melangkah begitu saja.

“Mau makan apa?” tanya Freya.

“Makan merupakan sesuatu kegiatan memasukkan makanan ke dalam mulut. Tentu aja makanan.”

Wajah Freya terpasang aneh sehabis mendengar pria itu mendefenisikan sesuatu.

“Sejak kapan lo suka mendefenisikan sesuatu?” tanya Freya.

“Entahlah, mungkin semenjak gue baca novel sastra punya Zeta,” balas Raka sembari membalikan badan ke arah Freya.

Freya membalasnya dengan senyum lembar yang ia punya. Kalimatnya terdengar aneh, tetapi berkesan di hati Freya. Suara langkah yang terdengar dari pria itu menuntun Freya untuk mengikutinya. Tanpa arah yang jelas tuntun langkah yang ia rangkum dari pria di depan. Matanya tak bergeser dari pria itu, tetap dalam satu sorot melihat tubuh belakangnya yang bidang. Menimbulkan otot-otot yang menonjol dari kaos yang Raka kenakan.

Bilik rasa bergetar menyambut angin malam yang berhembus, menyibakkan wangi tubuh Raka yang begitu khas. Terbangnya dedaunan pohon kering jatuh menyambut Freya yang tersenyum senang. Dihabiskan edar pandang mata dalam satu titik lurus ke depan, tak sanggup untuk menoleh, terlalu rugi untuk ditinggalkan. Pria itu membawa harmoni lebih dalam serat-serat suasana, sekat-sekat yang tembus pandang di dalam labirin cinta. Menepis semua anggapan bahwa ia tak bisa mencintai.

Tiba mereka di sebuah gerobak nan terang meredup berkat lampu minyak.  Tempat itu masih utuh di tengah detak jantung kemewahan sebuah kota. Sederhana menyentuh aroma keikhlasan senyum bibir yang ditunjukkan. Lesehan penuh dengan pemuda yang sedang di bawah senandung malam, menikmati kopi dan tembakau sembari bercanda riang. Remangnya cahaya dihias oleh senandung melodi gitar untuk bernyanyi. Setiap wajah tersenyum senan menikmati musik yang begitu santun disimak oleh telinga. Suasana syahdu bergetar malam ini, di satu titik dengan cahaya minim, berbeda dengan gedung-gedung kapitalis yang ada di sekitarnya.

Tidak pernah Freya menginjak sebuah tempat tongkrongan seperti ini. Memang, Freya jarang sekali menongkrong bersama teman-teman. Hanya saja, jika ada yang mengajak sudah pasti tujuannya ialah gerai makanan cepat saji atau pun cafe dengan segala minuman uniknya. Namun di sini, angkringan masih  bertahan di tengah gengsi para remaja yang tak ingin duduk di emperan. Semarak restoran produk liberal yang kian diminati, bapak tua itu tetap semangat mendorong gerobaknya menuju ke sini. Menyajikan makanan murah bagi para hati pemurah.

“Pak, nasi kucingnya dua,” ucap Raka sembari mengangkat kursi plastik ke tepi.

Freya mengangguk tatkala melihat tangan Raka mengisyaratkan untuk duduk.

“Gue baru pertama kali makan di tempat beginian,” kata Freya.

Matanya mengeliling menatap sekitar. Beberapa orang menatap panjang dirinya. Bagaimana tidak, ia sedang mengenakan kostum yang sangatunik.                                                                               
“Lo tahu enggak, ini tempat yang paling seru buat dijadikan tongkrongan. Liat aja mereka yang di sana.” Telunjuk Raka mengarah ke sekelomok pemuda yang tengah menikmati kopi dan tempakau di tempat lesehan.

Freya tersenyum. Begitu hangat riang tawa mereka di sana. Tidak ada hambatan untuk mengekspresikan semua. Masing-masing berada pada laku tak bersembunyi, tawa sekerasnya, duduk senyamannya, tak ada yang menyandingkan rasa malu. Semua tetap dalam kondisi apa adanya tanpa ditutup.

“Gue kira lo itu bakalan bawa gue ke foodtruck di sana, atau restoran cepat saja di dekat sini,” balas Freya.

“Selama ini pasti kalian lihat gue sebagai orang yang gengsinya tinggi, kan?” Raka tersenyum padanya.

“Hmm .. gue rasa semua orang di sekolah berpikiran seperti itu.” Freya mengangguk.

Kepala Raka terunduk sejenak. Tawa kecilnya bersuara seiring mengangkat wajah. Ia tatap wajah Freya dalam-dalam. Sebelah bibirnya melebar tatkala ditunjukkan.

“Freya, sementang gue famous di sekolah, motor gue keren, bergaul sama Karin yang mobilnya itu harganya dua kali lipat harga mobil Kepala Sekolah kita, trus gue ini mempunyai gengsi yang tinggi? Kalian salah besar.”

“Iya, sih … itu cuma persepsi orang semata,” balas Freya.

“Kalau gue orangnya begitu, kita enggak mungkin kenal. Gue enggak mungkin mati-matian memperjuangkan club Jepang Yatta. Lo tahu sendiri kan, kita pasti dianggap aneh di sekolah. Sukanya sama kartun Jepang, komik, bahkan kostum-kostum yang sedang lo pakai. Tapi, gue pengen merjuangin hal yang seperti itu.”

“Makasih, ya,” ucap Freya.

“Makasih buat apa?”

“Sudah melakukan hal terbaik buat kita. Lo itu orannya loyal banget. Dan … gue sendiri enggak menyangka kalau gue bisa berteman sama lo. Gue sedikit susah bergaul,” balas Freya.

Tangan Raka menyentuh rambut Freya dan mengelusnya ke bawah. Satu hal yang membuat sekujur tubuh Freya bergetar tanpa sebab. Aliran darah berdesir dengan kuat, memaksa dirinya untuk tetap tenang di hadapan pria itu.

“Lo itu cuma kurang pede aja sama diri sendiri.” Raka tersenyum. “Tapi, malam ini gue melihat hal yang berbeda.”

“Berbeda?” Alis Freya terangkat.

“Lo penuh percaya diri malam ini. Gue ingin lo tetap seperti itu seterusnya. Bahkan, jika club kita enggak bisa bertahan minggu ini, gue minta lo tetap percaya diri.”

“Club kita bakalan bertahan. Gue akan berusaha,” tegas Freya. “Gue akan minta Arion masuk ke dalam club.”

Senyum Raka luntur. Wajahnya menolek kemudian di kala bapak pemilik angkringan datang membawa dua piring nasi kucing yang siap disantap. Setelah berterima kasih, ia kembali menoleh kepada Freya.

“Gue akan menagih itu.”

“Tenang saja,” pungkas Freya.

Janji merupakan hal yang terpenting untuk ditepati. Tiada janji yang dianggap dusta, apabila segera untuk diwujudkan. Di jala Raka menagih jawaban dari janji, sementara itu Freya akan menagih dirinya yang akan tersenyum bangga. Club ini tidak akan berhenti begitu saja, tangan Freya menjadi pemanjangan harapan itu. Namun, ada yang lebih Freya harapkan. Ketika janji cinta yang terucap bersanding dengan pelukan dari pria yang ia cintai. Hanya saja, Freya terlalu jauh untuk memikirkan sesuatu yang masih abu-abu. Ia sadar diri, dirinya tak begitu sempurna bagi pria itu.

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang