2. Bunga Sakura
Perjalanan mereka hanya sampai di gerbang sekolah. Freya berbelok menuju parkiran sepeda ketika Arion merubah arah langkahnya tanpa berbicara sedikit pun. Tidak ada ekspresi berarti yang ditunjukkan oleh pria itu, padahal mereka baru saja pergi ke sekolah bersama. Tidak hanya itu, rasanya berdegup sekali dilindungi oleh seseorang dari gerimis manja yang diguyur. Hal yang tidak biasa ia dapati selama ini.
Bagaimana seseorang menjadi sebegitu dingin sepertinya?
Sependiamnya Freya, ia tak pernah berperilaku dingin seperti itu. Freya tahu akan ada hati yang tersinggung apabila menatap seseorang tanpa ekspresi dan membalas kalimat seadanya. Seakan, ia sama sekali tidak mengenali padanan kata semenjak kecil untuk dibalaskan pada seseorang. Freya pun terheran-heran melihat Arion yang sedang menyediakan sisinya untuk berbagi payung dengan Freya. Hentak langkahnya yang lambat, seakan ingin Freya tungkai agar lebih cepat lagi. Rasa malunya terkurung di dalam hujan ini, pasti ada orang lain yang melihat.
Seluruh pasang mata menatap Freya yang baru saja bersanding berdua dengan seorang pria yang cukup tampan. Hey, wanita mana yang tidak membicarakan pria itu. Mungkin saja diri Freya yang terlalu apatis dengan romantisme para wanita sekolah, berharap seseorang itu akan datang padanya. Freya dengan cepat melangkah menuju ke kelas agar tidak menjadi pusat perhatian. Ia tahu, mereka pasti berpikir yang tidak benar.
Gue cuma kebetulan jumpa dia!! Bukan apa-apa!
Freya tak mampu menyembunyikan wajahnya yang malu itu. Langkahnya berlari terburu-buru, menghindari becekan yang menggenang di lantai koridor.
Sesampai di kelas, Freya langsung menutup wajahnya menggunakan tas. Ia tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah akibat ditatap seperti tadi. Seharusnya ia tidak menerima ajakan pria itu. Ia bisa langsung saja melesat ke sekolah, tanpa mengikuti perkataannya, meskipun hujan membasahi tubuh dan wajahnya yang tak ingin merengkuh kedinginan.
“Lo kenapa, Freya?” tanya Lani.
Freya mendongak. Terlihat Lani baru saja tiba duduk di sampingnya.
“Lo kenal sama yang Arion itu?” tanya Freya balik. Napasnya masih tidak teratur akibat berlari tadi.
Mata Lani memicing sesaat, lalu terbuka yang menandakan ia mengingat sesuatu.“Dia itu anak kelas bilingual itu. Ganteng loh.” Mata Lani memandang aneh kepada Freya. “Lo naksir dia, ya?”
“Ah, jaga omongan lo ya … Gue baru aja pergi bareng sama dia. Soalnya tadi sepeda gue rusak, trus dia datang ngebantuin.”
“Ah, masa'?” Lani tidak percaya.
“Iya … gue aja terkejut tiba-tiba ada cowok kaya dia datang nolongin gue.”
Tangan Lani memangku kepalanya. “Ah … beruntung sekali lo … Andai aja gue ….”
Freya tak mengerti dengan perkataan itu. Apa beruntungnya dan bangganya ditatapi oleh orang-orang? Yang ada hanya malu di hatinya, menyadari bahwasanya ia tak pantas untuk bersanding dengan pria seperti itu.
Pelajaran hari ini berputar seperti biasanya. Hari Freya tak selalu fokus dengan papan tulis. Ada sebuah titik yang menyedot dirinya untuk selalu memandangi. Pemandangan yang selalu ia usahakan untuk tidak terlewatkan, walapun sedetik pun. Binar wajah Freya bergeming menuju Raka yang selalu tertunduk dengan buku tulisnya, bahkan ketika tidak ada pelajaran sekali pun.
Ia selalu tertawa, tak akan menunjukkan rasa sedih pada wajahnya yang tegas. Matanya yang cekung berpadu dengan alis tebal memanjang hingga ke ujung mata. Siapa yang tidak mengenal pria tinggi berkulit cerah yang acap sekali bermain basket di lapangan? Freya selalu menyaksikannya dari belakang. Di antara sekian wanita cantik yang turut mengagumi keisitimewaan pria tersebut.
Seakan gelap yang bernaung di ujung malam, terlalu gelap jalan pria itu untuk menatapnya kembali. Ingin sekali saja Raka untuk melihatnya untuk sesaat, sesaat yang bermakna penuh senyuman, lalu bercerita sepenggal kalimat bagaimana ia hari ini. Namun, semua itu hanyalah cerita utopis yang ia karang dalam hati. Berharap hal tersebut menjadi kenyataan, tidak lagi sebuah dongeng manja di tidurnya.Pria itu tidak kunjung pergi meskipun bel istirahat sudah sedari berbunyi. Freya pun sama, ia lebih memilih membawa bekal sepotong roti isi yang akan ia nikmati bersama sebuah komik romance Jepang faforitnya.
Freya selalu menyukai semua hal mengenai Jepang. Hal itu berawal dari pengalamannya ke Jepang bersama keluarga untuk berlibur sewaktu kecil. Betapa indahnya ranum wangi musim gugur pada itu. Satu hal yang sangat ia ingat ialah tatkala bunga sakura yang berguguran jatuh membelai wajah kecilnya waktu itu. Ia rindu akan momen yang pernah ia alami dan berharap akan kembali ke sana suatu hari nanti, bersama seseorang yang akan menggenggam tangannya setiap saat.Rentak langkah seseorang membuat Freya membuka headset yang menyetal lagu Jepang miliknya. Ia mendongak dan setengah tidak percaya, Raka datang menghampirinya dengan menarik kotak bekal roti isi.
“Lo selalu bawa ini, ya?” tanya Raka.
Ada apa ini? Apa yang harus gue katakan? DIA BICARA SAMA GUE!!!
Freya langsung menyembunyikan komik miliknya ke dalam laci, serta membuka senyum terbaiknya kepada Raka.
“Iya, gue selalu bawa bekal. Kalau lo mau ambil aja ….”
Gue ngomong apa sih …. Freya mengutuk dirinya di dalam hati.
“Gue boleh minjam pensil sama peruncing? Gue denger cuma lo di sini yang alat tulisnya lengkap,” pinta Raka.
Tanpa menjawab, Freya sigap mengambil kotak pensilnya di dalam tas.
“Ini lo cari aja di dalam. Isinya banyak.” Freya memberikan seluruh isi kotak pensilnya.
Sungguh, ingin rasanya jantung ini mencabik tulang rusuk untuk keluar. Terlalu sesak di dalam dadanya berdebar-debar tidak karuan. Bergetar tubuh ini menyadari adanya sosok orang dengan intensitas paling tinggi untuk menarik perhatian. Paras bercahayanya itu benar-benar dalam satu garis lurus tepat di tengah-tengah matanya, memandangnya dengan wajah yang berseri-seri. Tidak ada penghalang dalam satu garis lurus sorot mata, hanya berjangka setengah langkah, hingga dengan mudah untuk memeluknya jika Freya ingin.
“Thanks, ya .” Raka berbalik melangkah menuju tempat duduknya. Namun, ia berhenti tepat di depan meja guru. Tangannya meraba meja guru yang tertumpuk brosur berwarna kuning. Freya menyadari bahwa brosur itu masih terletak sedari pagi hari. Tidak ada satu pun orang yang menyentuhnya.
Raka tiba dengan membawa brosur tersebut.“Ada apa? Lo butuh yang lain? Atau penghapusnya kotor?” tanya Freya dengan terburu-buru karena gugup.
Pria itu malah tersenyum. Ia letakkan brosur itu di hadapan Freya. Tertera dengan jelas bahwa brosur itu merupakan sebuah brosur open reqruitment sebuah club di sekolah mereka.
“Lo suka yang berbau Jepang, kan?” tanya Raka.
Tentu saja pertanyaan itu membuat Freya mengangguk. “Dari mana lo tahu?”
“Hei, kita sekelas. Siapa yang enggak tahu kebiasaan seluruh teman di kelas.”
Terkadang, Freya pun lupa jika mereka sekelas. Apa karena dirinya terlalu berdiam? Atau dirinya didiami oleh keramaian?
Sembari tersenyum Freya menggapai brosur tersebut. Brosur tersebut menyebutkan bahwa club Jepang di sekolah mereka tengah mencari anggota. Terdapat banyak bidang yang bisa digeluti, tetapi rasanya tidak ada satu pun yang bisa Freya lakukan. Ia tidak mempunyai skill khusus, kecuali kemampuan menonton anime semalaman suntuk serta membawa setumpuk komik ke dalam café.“Club Jepang?” tanya Freya.
“Iya … lo enggak tahu ya kalau sekolah kita punya club Jepang. Memang sih udah lama mati, tapi mereka katanya mau bangkit lagi. Hahaha.” Raka membelai rambut belakangnya.
“Thanks ya … nanti gue pikirin.”
Raka mengangguk. “Oke, gali terus potensi lo. Jangan jadi pendiam seperti ini.”
Lagi-lagi Freya dibuat bergeming dengan pria itu. Jarang sekali dirinya berbicara akrab dengan Raka, padahal mereka sekelas semenjak naik ke tingkat sebelas SMA ini. Hatinya penuh dengan bunga-bunga sakura yang tumbuh, menunggu angin untuk meniupnya, dan menunggu betapa semerbak suasana gembira yang ia rasakan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Anantara Rasa
Novela JuvenilFreya Naomi jatuh cinta kepada Raka Azura sang Wakil Ketua OSIS yang pernah menyelamatkannya ketika Masa Orientasi Sekolah. Cinta itu berlanjut hingga kesukaannya terhadap budaya Jepang membawa Freya mengikuti sebuah club Jepang bernama Club Yatta...