47. Dunia Yang Adil
Sudah bisa ditebak fenomena apa yang akan terjadi di sekolah ketika seorang wanita berboncengan bersama Raka. Pembicaraan kecil itu terjadi ketika mereka berjalan berdua dari parkiran. Bagaimana tidak, setahu mereka Raka memiliki selera yang tinggi terhadap wanita. Namun, kali ini tanpa diduga Raka membawa seorang wanita yang biasa-biasa saja. Tak sanggup rasanya menatap mata senior yang sinis itu. Takut akan terjadi seperti antara dirinya dan Vioni. Raka tetap meminta Freya berjalan ke depan, tanpa memedulikan mereka itu. Siapa saja bisa pergi dengannya, apalagi seorang teman satu club.
“Setiap orang hanya melihat dari luar, bukan?” Raka menoleh sedikit kepada Freya.
“Iya, gue tahu. Tapi, apa enggak masalah sama fangirl garis keras lo itu?”
“Mereka hanya orang bodoh yang menyukai orang bodoh. Gue tetap aja sama kaya lo, kaya Zeta, kaya Lani sahabat lo itu. Gue enggak ngerasa diri gue spesial seperti yang mereka anggap.”
Begitulah Raka dengan kesederhanaan hatinya. Ia tidak ingin terlihat tinggi daripada orang lain. Jikalau kaki bisa dipijak lebih dalam lagi dari tanah, maka ia akan lakukan itu agar lebih rendah dari orang lain. Idealisme itu selalu Raka pegang dalam menjalani hidup dengan segala popularitas di sekolah. Ia enggan dipandang sebagai orang keren di sekolah ini, tetapi ia ingin dianggap sebagai orang yang memiliki idealisme terhadap visi dan misi. Oleh karena itu, ia sanggup melawan senior ketika bertarung merebut tahta di OSIS.
Lambaian tangan Freya lambaikan ketika mereka berpisah di depan koridor lobi sekolah. Pria yang bersamanya tadi selalu tidak langsung menuju ke kelas, yaitu ruangan OSIS untuk menyapa beberapa anggota yang piket di sana. Pergilah sendirian Freya ke kelas dengan menyimpan rasa kagum terhadap seorang Raka. Namun, ketika ia berbelok, tampaklah Vioni dan beberapa orang temannya. Tangan Vioni mendesak Freya agar ke dinding.
“Hebat banget lo pergi bareng sama Raka,” ucap Vioni.
Bergetar bibir Freya menjawab kalimat itu. “Bukan gue yang meminta, tapi Raka sendiri yang menawari.”
“Eh, lo itu jelek. Jangan sok kecantikan, tahu! Udah ngerebut Arion dari gue, sekarang malah ngeketin Raka. Enggak sadar diri!” Telunjuk Vioni menekan Dahi Freya.
Terhentak kepala Freya hingga ke dinding, tetapi ia tak mampu untuk melawan. Ia hanya mengikuti alur perundungan yang dilakukan oleh Vioni.
“Sumpah ... gue enggak ada maksud ngedeketin Arion atau ngerebut dia dari lo. Gue enggak bakalan mampu ngelakun itu.”
“Hah? Manis banget bibir lo di depan gue. Lo rasain tuh kalian pindah ke bekas WC yang bau.”
Kepala Freya terangkat. “Lo yang ngelakuin itu? Kenapa? Kenapa lo malah ngelibatin teman-teman gue yang lain?”
“Turunin kepala lo kalau bicara sama gue. Kalian pantas ngedapetin itu.” Wajah Vioni mendekat ke wajah Freya. “Wah, pagi ini lo pakai lipstik murahan, ya? Tumben banget, biasanya bibir lo pucat kaya kekurangan darah. Bagaimana kalau gue tambahin biar lebih merah lagi.”
Freya menggigit bibirnya sendiri ketika melihat Vioni mulai membuka penutup lipstik yang ia miliki. Ia tak mampu untuk melawan, terlalu takut untuk melakukannya.
“Rasain―” Seketika wajah Vioni padah oleh tangan yang menahannya.
“Lo apain dia? Beraninya keroyokan!!!”
Dengan mata berkaca-kaca Freya melihat seorang pria tengah menahan tangan Vioni untuk berlaku keji padanya. Pria itu merupakan senior yang pernah mengospek dirinya ketika masih menjadi siswa baru tahun lalu. Tidak mungkin Freya lupa dengan wajah garang yang berteriak untuk menakut-nakuti siswa baru.
“Eh, enggak, Kak. Maaf ....” Vioni menarik lipstiknya kembali. “Kami pergi dulu.”
“Mau ke mana?” tanya senior tersebut. Nanar matanya terlihat marah sekali kepada Vioni. “Lo jangan suka nge-bully anak orang. Gue bisa ngelakuin lebih dari ini sama lo, ingat itu?”
Berkali-kali Vioni mengangguk dengan takut. “Iya, Kak ... kami enggak bakalan ngelakuin hal ini lagi.”
“Sekarang pergi ....:”
Berhamburan mereka berlari karena takut kepada senior tersebut. Sementara itu, Freya masih mengeluarkan air mata dengan napas yang tidak beraturan. Jika bisa, ia terisak saat ini.
“Nama gue, Adit. Lo cosplayer dari Club Yatta, ya? Gue ingat lo dulu pernah gue ospek waktu―”
Freya pergi begitu saja meninggalkan Adit yang berusaha memperkenalkan diri. Air matanya tak mampu ia bendung. Langkahnya berlari menuju WC perempuan untuk menangisi diri sendiri di dalam bilik closet. Di tengah kesendirian itu, Freya duduk dengan menutup wajah. Betapa rendah dirinya tadi diperlakukan tidak adil. Freya hapus segala lapis riasan yang ia kenakan dengan air, lalu kembali menangis terisak-isak. Ia tidak pantas mengenakan itu karena betapa bagus pun dirinya menggunakan, tidak akan bisa merubah fakta bahwasanya ia tidak cantik.
Mungkin dunia ini adil kepada orang yang sempurna wajahnya, pikir Freya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Anantara Rasa
Teen FictionFreya Naomi jatuh cinta kepada Raka Azura sang Wakil Ketua OSIS yang pernah menyelamatkannya ketika Masa Orientasi Sekolah. Cinta itu berlanjut hingga kesukaannya terhadap budaya Jepang membawa Freya mengikuti sebuah club Jepang bernama Club Yatta...