30. Jangan Halangi

53 9 0
                                    

30. Jangan Halangi

Cinta pun bersemi semakin besar dan semakin besar saja, meskipun perbedaan tetap terjadi antara Raka dan Karin. Mereka alami apa adanya, tetap berbeda pendapat satu sama lain. Perbedaan pendapat itu pun dimaklumi oleh Raka yang sudah banyak pengalaman di dalam organisasi. Namun, Raka tetap mengkhawatirkan perbedaan pendapat di dalam organisasi apabila terjadi antara dua insan yang sedang dalam kasih romansa. Ruang lingkup yang sama pada akhirnya memutuskan Raka untuk tidak memberitahukan kepada orang lain tentang hubungan mereka, begitu pula Karin. Mereka lebih nyaman berjalan di bawah tanah, tanpa ketahuan hingga waktu memutuskan titik yang tepat untuk memberitahukan kepada semuanya.

Ya, hubungan itu memang terlalu baru. Seidealisme-nya Raka, ia tetaplah manusia. Ia memiliki hati yang harus mencinta. Tatap pandanganya selama ini akhirnya terbiasa menumbuhkan rasa di hati Raka. Namun, ia harus berhadapan dengan kenyataan bahwasanya ia mencintai wanita yang ada di dalam ranah club. Profesionalitas pun dipatahkan, Raka tak bisa menahan perasaannya sehingga memutuskan berpacaran secara diam-diam.

Jam istirahat berakhir dengan bel yang berbunyi. Murid-murid berbondong kembali menuju kelas. Ia lempar senyumnya kepada Karin ketika berbelok di arah yang berbeda, tetapi ia tidak ingin langsung kembali ke kelasnya. Ia harus pergi menuju ke ruangan club untuk mengambil sejumlah buku cetak untuk pembelajaran nanti. Jujur, ruangan club sudah terasa seperti kamar pribadinya. Ia lebih banyak menaruh buku di ruangan club daripada kamar sendiri. Oleh karena itu, ia tidak pernah ketinggalan barang karena bisa langsung diambil di sana.

Raka terkejut melihat Arion belum balik ke kelasnya. Ia bersandar di tepi jendela sembari menatap kepada dirinya. Setahu Raka, Arion merupakan anak-anak baik yang pada umumnya langsung berlari ke kelas ketika bel berbunyi. Tidak seperti dirinya yang sedikit bebal, Arion berperilaku baik dan bahkan seragamnya saja belum pernah diotak-atik.

“Belum kembali?” tanya Raka sembari memasukkan sejumlah buku ke dalam tas miliknya.

Arion menghampiri Raka yang sedang menunduk di dekat laci meja. “Gue tadi baru ngerjain tugas di sini. Kebetulan angin siangnya sejuk, jadi gue malah nyaman di sini.”

Aroma tubuh Arion yang mendekat dicium oleh hidung Raka. Samar-samar tercium wangi asap rokok yang khas. “Lo ngerokok? Bau tubuh lo kaya rokok.”

Arion mengangguk. “Iya, gue abis ngerokok. Gue rasa murid yang lain melakukannya, bahkan di kamar mandi.”

Jujur sekali dia, ucap Raka di dalam hati.

“Gue enggak masalah, sih. Asal lo enggak ngerokok di ruangan ini. Itu masalah lo sama peraturan sekolah.” Raka tersenyum. Seluruh buku yang ia butukan sudah dimasukkan ke dalam tas. “Tapi, gue enggak nyangka lo ngerokok di sekolah. Gue kira lo enggak badung kaya mereka.”

“Tenang ... gue ngerokok di rooftop sekolah. Hanya gue yang ngerokok di sana. Lagian, guru mana yang curiga sama gue.” Arion tersenyum ringan, “Dengar ... gue enggak kaya kalian yang berperilakuan badboy biar kelihatan keren di mata cewek. Gue ngelakuinnya demi diri gue sendiri. Jadi, ngapain ditunjuk-tunjukin.”

“Hahah ... sepertinya lo ada masalah dengan defenisi itu. Gue enggak ada beda-bedain orang lain.” Raka menggeleng. “Gue balik dulu―”

Langkah Raka tertahan akibat Arion menahan bahunya untuk bergerak. Sontak, ia berbalik ke belakang untuk mempertanyakan hal tersebut.

“Kenapa?” tanya Raka. “Lo butuh pemantik api?”

“Bukan ... gue mau tanya ....” Arion menyentuh dagunya. “Hmmm .... lo lagi dekat sama Karin?”

Pertanyaan tersebut menghentak dada Raka. Apakah ia mengetahui sesuatu? Raka masih tidak mengetahuinya.

“Apa maksud lo? Hey, Arion ... dia adalah teman satu club gue.”

“Lo suka sama dia?” tanya Arion kembali.

Wajah Arion terlihat serius hingga Raka menelan ludahnya sendiri. Namun, ia harus tetap berusaha bersikap tenang. “Gue enggak suka sama dia. Dia memang menawan, bukan berarti gue suka sama dia.”

“Lalu, apa maksudnya lo ngedekatin Karin waktu gue putus sama dia?”

Pertanyaan tersebut sudah terlalu jauh. Selama ini, tak ada yang berani mengintervensi dirinya dengan pertanyaan bodoh seperti ini. Ia letakkan kembali tas di atas meja dan mulai bersikap serius kepada pria itu.

“Dengarkan Arion, jika lo berpikir gue yang menganggu hubungan kalian, berarti lo salah. Gue adalah teman satu club-nya di club Jepang lama. Gue mengenal baik Karin. Dengan itu, makanya kita bisa kenal sejak lama. Jadi, gue enggak ada rasa sama dia.”

Arion mengangguk. Ia sandarkan tubuhnya ke tepian jendela yang terbuka untuk menikmati udara segar. Hatinya tenang mendengar pernyataan itu dari Raka. “Baiklah kalau begitu. Kalau lo enggak ada apa-apa dengannya, jangan halangi gue buat dekat lagi dengan Karin, meskipun gue satu club sama dia. Gue masih suka sama Karin. Hal itu pula yang jadi alasan gue masuk ke sini.”

“Lo tahu jangan bawa urusan perasaan di organisasi?” Raka maju satu langkah kepada Arion.

“Iya, coba saja kalau lo berani ngeluarin gue. Gue masuk ke sini aja lo udah bersyukur, bukan?”

Ia tidak mengerti mengapa Arion mengatakan hal ini padanya. Ataukah Arion memang menunggu Raka hingga tiba ke ruangan ini? Padahal, setahu Raka bahwasanya Arion belum pernah terlambat di kelas dan ia termasuk jajaran murid tersantun di sekolah, bahkan ia bisa masuk ke kelas billingual yang notabene murid-murid dengan intelegensi di atas rata-rata.

“Gue balik dulu ....” Raka menyandang tasnya kembali. Sementara itu, tangannya menunjuk lemari. “Kalau lo butuh pemantik api, ada di lemari karena gue butuh itu waktu menghias tempat ini.”

“Terima kasih.”

Jujur, itu adalah kata terima kasih yang paling merendahkan bagi Raka.

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang