25. Menguntit
Jam sekolah berakhir dengan denting bel yang menggema pada toa. Ucapan syukur dari para murid yang lelah terdengar samar-samar dari penjuru kelas. Bergegas mereka memberesi barang-barang yang masih ada di atas meja, termasuk Freya. Namun, ia tak kunjung keluar karena harus melakukan tugas piket hari ini. Sapu pun ia genggam dan mulai membersihkan lantai yang berdebu. Tak semua murid piket yang ingin bekerja, tak sampai setengah orang yang masih konsisten dengan tanggung jawab.
“Gue pulang dulu, ya ...,” ucap salah satu teman piketnya hari ini. “Semuanya udah beres. Sebaiknya lo cepet pulang sebelum gerbang ditutup.”
Freya mengangguk. Ia letakkan alat-alat bersih kembali ke tempatnya. “Iya, hati-hati juga di jalan.”
Lambaian tangan menjadi pemisah percakapan singkat Freya di kelas. Ia bergegas menyandang tas untuk pulang. Namun, perhatiannya tertuju ke ujung pintu tepat di langkah pertama. Ada seseorang yang menunggu dirinya dengan terdiam berdiri tanpa bergerak. Freya lihat ke luar jendela, sekolah tampak kosong karena warga sekolah sudah pulang. Freya rasa, dirinya termasuk jajaran paling terakhir yang pulang hari ini.
Perasaan cemas mendekap di hati Freya yang takut. Rumor cerita seram pun kembali menggema di pikirannya. Namun, ia beranikan diri untuk melangkah keluar dan membuka pintu. Degup jantung Freya akhirnya padam, Arion telah menunggunya seperti hantu berdiri. Tampangnya dingin dan kaku itu telah membuatnya berpikir yang tidak-tidak. Tanpa senyum sedikit pun, Arion menatap lurus dirinya yang baru saja keluar kelas.
“Arion, lo bisa nggak berdiri kaya psikopat yang lagi nunggu korban?!” ucap Freya. Ia masih mengelus dadanya.
Tangannya menjulur kepada Freya. Dari sela jemarinya tersebut tergantung gantungan kunci bermotif pohon sakura. Mata Freya melebar tatkala menatap benda itu ada pada Arion.
“Ini punya lo?” Ia diam sejenak menunggu respon dari Freya. “Gue dapat ini di lantai kamar toko bunga Ibu.”
Segera mungkin Freya melihat tasnya. Ternyata, benda itu tak lagi bergantung di tempat asalnya berada. Tangan Freya meraih gantungan kunci tersebut dari Arion.
“Wah, gue baru sadar kalau benda ini hilang.” Freya tersenyum pada Aron, “Terima kasih banget. Benda ini berharga banget.”
“Dia benda kecil yang bisa lo beli kapan aja.”
Wajah Freya padam. “Lo ini memang enggak punya penghargaan terhadap sesuatu, ya? Ini gue beli di Jepang waktu Papa ngajakin kami berlibur ke Tokyo.”
“Gue pernah ngelihat benda itu di event jejepangan. Harganya dua puluh ribu,” balas Arion dengan sinis.
“Arion, enggak semua hal bisa dinilai dengan uang. Kenangan enggak bakalan bisa lo beli. Paham?”
“Oh ... begitu ....” Tubuh Arion bersandar pada dinding. “Mana sweater dan celana gue? Besok itu hari mencuci.”
Freya kembali mengingat-ingat ke mana dua benda itu. Baru sadar ia tak teringat membawanya hari ini. Sweater dan celana Arion masih tersimpan di dalam lemari setelah ia cuci dan setrika sendiri. Padahal, tadi malam ia berniat untuk membawanya hari ini.
“Gue lupa ... maaf, ya. Hehehe ....” Freya menyatukan kedua telapak tanganya. “Udah gue cuci dan setrika. Besok gue bawa, okkay?”
“Besok adalah hari keempat dan lo masih mengembalikan barang gue,” balas Arion.
“Maaf, dong ... gue lupa ngebawanya hari ini. Udah gue cuci jauh-jauh hari.” Wajah Freya tampak memelas kepada Arion. Ia benar-benar bersalah karena tidak membawanya hari ini. “Malam nanti gue bawa ke toko bunga. Lo bilang kalau lo jaga malam di sana, kan?”
Tiba-tiba Arion berbalik dan melangkah menuju arah pulang. “Permintaan maaf diterima.”
Lega rasanya Freya mendengar persetujuan tersebut. Ekspresi Arion benar-benar tidak bisa ditebak. Wajahnya yang dingin itu selalu saja ditafsirkan dengan ketidaksukaan, bahkan ketika tidak di dalam suasana serius.
Arion tetap melangkah tanpa mampir kepada Freya yang mengambil sepeda. Freya mengira dirinya akan kembali menumpang dengannya hingga sampai ke halte, tetapi perkiraannya tersebut salah total. Freya mendapati Arion sudah berada di trotoar jalan, berjalan perlahan dengan memasukkan tangan di dalam saku. Celananya yang lebar benar-benar mengenai bagian atas sepatu. Sedangkan lengannya tersebut masih bisa terlihat proporsional, padahal sama saja kelebaran. Freya rasa Arion tidak memiliki selera untuk mengecilkan pakaian seragam, seperti lelaki lainnya, termasuk Raka sendiri.
Laju sepeda Freya tetap lambat di belakang Arion. Tepat di dekat halte, tiba-tiba Arion berbalik.
“Lo menguntit gue?” tanya Arion.
“Apa? Gue ngikutin lo?” Freya mengerem sepedanya, lalu menyandari sepeda dengan satu kaki. “Jalan pulang gue hanya ini, tahu?”
“Ya ... lo bisa duluan atau apa, kek.”
“Lo aneh, ya?” sindir Freya.
Bus jurusan arah pulang Arion berhenti di halte. Ia sempat melihat ke belakang untuk memastikan bus itu tak segera pergi.
“Ya sudah, hati-hati di jalan. Ada banyak kendaraan.”
Arion segera melangkah ke atas halte dan masuk ke dalam bus. Sementara itu, Freya masih dibawa bingung oleh perkataan Arion tadi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Anantara Rasa
Teen FictionFreya Naomi jatuh cinta kepada Raka Azura sang Wakil Ketua OSIS yang pernah menyelamatkannya ketika Masa Orientasi Sekolah. Cinta itu berlanjut hingga kesukaannya terhadap budaya Jepang membawa Freya mengikuti sebuah club Jepang bernama Club Yatta...