44. Terjebak Hujan

51 5 0
                                    

44. Terjebak Hujan

Setiap kesulitan ada kemudahan. Tidak pernah melulu hidup ini dicerca oleh sulitnya kaki melangkah, pasti akan ada angin di mana berhembus kencang dan membelai urat leher yang kepanasan. Gerah yang bergerak di sekujur tubuh seketika lega dengan dinginnya udara sesaat, lalu kembali bergerak untuk mencapai tujuan. Ya memang kecewa tatkala mendengar informasi bahwasanya mereka akan digusur dari ruangan semula, tetapi di tempat baru mereka menemukan suasana baru yang belum pernah dilihat sebelumnya. Kapan lagi mereka bergotong royong bersama, saling menyemangati satu sama lain bahwasanya bekas WC itu bisa disulap senyamannya tempat bernaung.

Bukan lagi orang lain yang selalu maju di depan, yaitu Raka. Berulang kali kata semangat Freya dengar dari pria itu, ia semakin giat menggerakkan roll cat untuk mewarnai dinding. Ia lembut, tidak seperti Arion yang dingin selalu. Tiada terbesit niat pria itu untuk berbicara dengan yang lain, kecuali bergelantung di atas dinding untuk memasang triplek langit-langit. Bukan tidak Freya perhatikan gelagat anak itu yang berusaha mencuri pandang kepada Karin. Di kala ia ketahuan oleh Freya, sontak Arion menjulurkan lidah jenakanya tersebut.

Pekerjaan akan selesai cepat apabila dikerjakan bersama. Motivasi itu menggerakkan Karin untuk mengecat dinding karena semulanya ia enggan berkotor ria, kecuali membersihkan lantai. Raka memang pandai merayu orang, bahkan Karin saja tunduk kepadanya. Perlahan, dinding yang semulanya bernoda, kini berhiaskan dinding putih dengan mural bertuliskan nama club mereka. Setelah langit-langit selesai dipasang dengan yang baru, Arion menerima tantangan Raka untuk membuat mural tersebut.

Jadilah tempat baru mereka di hari keempat, kebetulan hari ini libur. Hiasan-hiasan telah dipasang untuk menghiasi ruangan. Raka seperti biasanya selalu menginginkan meja dan kursi kerja sebagai ketua. Karin pun mendebat itu bahwa Raka terlalu superior atas jabatannya. Ya, mereka hanya diam ketika dua orang itu saling berdebat satu sama lain. Sebagai pendingin, Raka meminta Karin bernyanyi sesuai latihannya bersama Arion sebagai pengiring gitar. Bergemalah dengan merdu lagu dengan tajuk Last Scene dari band asal Jepang, Cinnamons.

“Wah ... kalian pasti juara ....” Freya berseru ketika Karin menutup lagunya dengan apik.

Raka menyiku Freya. “Karin pasti juara. Dia pasti diperhitungkan dewan juri, apalagi ada Arion.”

“Memang kolaborasi yang cocok!” Zeta mengangkat tangannya.

Tidak biasa bagi Arion dipuji seperti ini. Wajahnya bercampur malu di samping Karin. Sebegitu serasinya mereka, tetapi dirinya terlalu diam untuk sebuah eskpresi. Bagi Freya, mereka benar-benar saling berbenturan. Karin selalu bersikap sinis, sedangkan Arion dinginnya minta ampun. Tak terbayang bagaimana Karin berdebat dengan Arion, sudah pasti bagi Freya hanya melihat seseorang yang berbicara dengan batu.

Akhir senja ini begitu bermakna, terutama bagi Freya. Esok hari ruangan baru mereka sudah bisa dipakai. Ia tidak lagi harus berpenat menginjak anak tangga menuju lantai empat. Ruangan mereka hanya ada di lantai dua gedung. Namun asyiknya, di ruangan lama selalu dimasuki angin yang kencang dan menyejukkan.

Setelah mendengar nyanyian dari Karin, Raka meminta Freya untuk mengantarkan kunci duplikat kepada penjaga sekolah. Hanya saja, ia terlalu lama menunggu penjaga sekolah untuk keluar dari kediamanya itu. Setelah ia kembali, tidak lagi Freya menemukan siapa-siapa di ruangan. Seluruh peralatan makan sudah bersih dan tertata rapi setelah sebelumnya dipakai ketika beristirahat.

Freya yang semula ingin duduk kursi, kini ia mengurungkan niat itu ketika pintukamar mandi tiba-tiba terbuka. Keluarlah Raka yang hanya mengenakan celana pendek dengan rambut basah berhanduk. Dada bidang Raka yang menonjol itu tidak bisa Freya hindari, ia menatap persis maskulinitas tubuh seorang Raka. Sekejap Freya langsung berbalik diri.

“Lo ngapain?!” tanya Freya dengan panik.

“Eh, lo baru datang, ya? Lama banget ditungguin.” Raka mengambil kaosnya kembali. “Gue habis bersihin kamar mandi. Karena gerah, gue sekalian aja mandi di dalam. Airnya bersih, enggak kaya di WC laki-laki yang bau karat.”

“Lo udah masang baju, kan?” tanya Freya kembali.

“Udah ....” Raka mendekat kepada Freya yang duduk di hadapan meja utama. Ia pun duduk di seberangnya, di kursi putar faforit yang ia bawa dari ruangan awal. Raka selaluingin duduk di sana. “Semua orang udah pulang karena mau hujan. Arion paling awal karena harus mengejar bus. Lo kayanya harus pulang cepat.”

Mendungnya hari menggelapkan langit sore kali ini. Petir bergelagar di sebelah utara, berakar besar dan berdentum kuat. Terpicing mata Freya melihat kilat yang sebegitu cepat. Setelah bunyi dentuman petir terdengar, turun hujan rintik yang perlahan melebat dengan sendirinya. Bergemuruh atap genteng sekolah karena dihujani air yang deras.

“Sepertinya gue enggak bakalan jadi pulang,” balas Freya.

“Hmm ... sayang banget, gue enggak pakai mobil hari ini. Gue pakai motor.”

“Ya, lo bisa aja melaju dengan motor besar lo itu, kan?” balas Freya.

“Enggak mau ... gue enggak mau demam esok hari.”

“Ya udah, kita tunggu aja sampai reda.”

Tatap mereka saling menadah ke luar pintu yang terbuka. Tidak ada jendela untuk melihat ke luar pada ruangan bekas WC ini. Cuaca yang hujan ini sedikit membuatnya ingin berselimut.  Momen mengantarkan Freya untuk berbagi dingin kepada pria itu. Hujan yang tidak kunjung mereda memberikan kesempatan kepada Freya untuk lebih bisa berlama-lama di hadapan pria itu. Momen ini disengaja oleh Tuhan agar mereka saling membersamai waktu berdua, setidaknya bisa saling menatap satu sama lain. Cemas karena tertahan di sini ternyata bisa ditutupi oleh berbunganya hati. Bagaimana tidak jika seseorang yang ia sukai tengah menunggu hujan bersama di ruangan ini, hanya berdua saja.

Hujan masih lebat, bahkan sudah jam lima lewat. Awan gelap seperti ingin menggempur hujan seharian penuh. Petir rasanya semakin kuat saja menyambar. Gelap menjadi terang dalam beberapa detik, lalu bercampur dengan hentak suara gemuruh yang kuat. Berkali-kali mata Freya memicing, ditertawai oleh Raka yang merasa lucu.

“Masak mie, yuk.” Raka mengetuk meja karena Freya melamun.

“Oh, ya? Di mana?” Freya melihat ke pintu. “Lo lihat hari masih badai.”

“Ruangan OSIS lengkap, semuanya ada. Ada mie dan kompor juga di sana,” balas Raka.

“Kayanya semua ruangan udah dikunci, deh. Kita mana bisa masuk.”

Raka menyentil dahi Freya dengan lembut. “Hey, lo lupa gue Wakil Ketua OSIS.”

Sentuhan itu berbekas menyesap ke dalam kenangan yang akan Freya simpan. Betapa manisnya senyum Raka tatkala ia melakukan itu, lalu pergi dengan membiarkan Freya menggosok dahinya. Kenangan berbagi padanya hari ini, termasuk langkah mereka yang pergi menuju ruangan OSIS.

***



Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang