12. Toko Buku

118 14 0
                                    

12. Toko Buku

Sekolah lebih dahulu dipulangkan karena guru-guru akan melakukan rapat penting. Dengan sorak gembira para murid menenteng tas bersiap-siap untuk pulang. Hanya satu orang di sekolah ini yang tidak menyukai terbukanya gerbang sekolah lebih cepat daripada waktu biasanya, yaitu Freya. Ia tidak puas menatap Raka dengan segala karisma, menyorot setiap gerak bibirnya yang menuntun senyum, serta merasakan betapa gugup dirinya tatkala pria itu menatap balik.

Terlalu sempit waktu untuk berlalu, tidak memberikan keleluasaan bagi Freya untuk menikmati semuanya. Romantisme momen yang ia cari hanya sekadar di ujung mata, seperti tatkala Raka tersenyum, membalikkan buku, atau tertawa kecil bersama teman-teman lelakinya. Hanya itu yang bisa dilakukan oleh Freya. Berharap lebih? Ia harus berkabung dengan rasa gugup untuk menjadi yang pertama memulai. Cukuplah pandangan dari jauh ini yang menjadi penghilang risau dan penabung rindu yang akan ia simpan hingga esok hari kembali lagi.

Pulang lebih awal ia manfaatkan untuk pergi ke toko buku untuk membeli komik keluaran baru dan sebuah novel yang menurutnya menarik untuk dibaca. Selain komik, Freya juga tertarik untuk membaca novel. Dirinya jarang jajan di sekolah, lebih baik ditabung untuk hal-hal bermanfaat sepertiitu. Baginya kedua hal tersebut merupakan karya hebat yang tidak semua orang bisa menciptakannya. Butuh renungan yang seksama untuk mengambar ide, serta sentuhan tangan-tangan handal dalam merangkai cerita.

Jalanan aspal sudah menjadi makanan sehari-hari. Tidak masalah jika jalanan macet, sepedanya bisa lihat menapaki trotar yang tersedia jalur khusus sepeda. Selain menyehatkan, ia senang bisa melihat pemandangan cahaya senja yang hangat itu menyorot bulir-bulir keringat di dahinya. Baru saja ia memarkirkan sepeda, terlihat seseorang yang baru saja keluar dari halte bus. Pria tinggi semampai yang bermata sipit itu melangkah ke gerbang toko buku sembari menenteng tas ransel yang terlihat cukup berat. Punggungnya tampak membungkuk menahan beban yang sedang ia sandang. Ia terhenti tatkala menatap Freya yang juga baru saja tiba di parkiran toko buku.

Freya tersenyum, namun dibalas Arion dengan wajah datarnya itu.

“Lo?” tanya Freya. “Kok bisa?”

Arion tetap melangkah melewati Freya.

“Semua orang bisa saja kan ke toko buku?” tanya Arion.

Dingin sekali, decak Freya di dalam hati. Tak sedikit pun raut bibirnya yang terbentuk. Kalimatnya terdengar kecil dan menusuk. Namun, Freya tetap mengikuti pria itu dari belakang.

Merasa tidak peduli, Freya acuh tak acuh menapaki langkah Arion yang telah ia lalui. Hingga naik ke lantai dua, Arion tidak mempermasalahkan jika Freya berjalan mengikutinya. Hingga tiba di suatu rak buku, Arion berbalik dan menyorot Freya dengan tajam.

“Lo ngikutin gue?” tanya Arion.

“Gue mau ke rak komik,” balas Freya.

Ia menghela napas, lalu kembali melanjutkan langkah. Memang, ia sedikit risih jika diikuti dari belakang seperti ini. Lebih baik jika wanita itu bersanding di sampingnya.

Freya melihat Arion menarik sebuah komik dari raknya. Dari cover komik tersebut, terdapat seorang karakter lelaki yang tengah menggenggam sebuah pedang. Itu merupakan komik yang juga Freya incar karena ia selalu mengikuti alur komik tersebut setiap bulannya.

“Lo suka komik itu juga?” tanya Freya. “Ceritanya seru, gue penasaran jika musuhnya itu merupakan kakak kandungnya sendiri.”

Tangan Arion melemparkan komik tersebut kepada Freya. “Lo nyari ini juga, kan?”

“Lah, kok lo tahu?” Freya terheran-heran.

“Setiap orang yang hobi baca komik, selalu mengincar komik ini.”

“Termasuk lo berarti?” tanya Freya.

Arion mengangguk dan mengambil komik tersebut untuk dirinya sendiri. Langkahnya tegap menuju sebuah rak buku sastra. Tanpa sadar, ia tetap mengikuti pria itu berjalan. Aura misterius membawanya untuk mencari tahu ke titik terakhir pun. Berkata dalam lika-liku rahasia yang terpancarkan di balik warna raut senyum yang ia tunjukkan di pagi hari.

Tatap mata gadis bergemulai menelusuri garis wajah pria itu. Siapa yang tak tertarik? Pria tinggi tegap berwajah tampan, hanya saja tatapnya begitu tajam. Menusuk orang-orang yang baru saja mengenalnya, menyimpulkan bahwa ia tak sedikit pun tertarik untuk berbicara. Setidaknya itu yang ia rasakan tatkala pertama kali bertemu. Momen pagi hari sepeda rusak, Freya ingat sekali.

Tangan Arion menarik Freya mendekat.

“Ke sini ….”

Hampir saja bahu mereka berdekatan. Terjawab sudah, Freya memerah akan malu. Ia tatap di sekitar yang ramai akan pengunjung.

“Kita begitu dekat,” balas Freya frontal.

“Pernah sedekat ini dengan Raka?” tanya Arion.

Mulutnya terbungkam. Detik demi detik ia habiskan untuk memikirkan hal yang ia rasa mustahil untuk dilaksanakan. Menyingkap tabir-tabir harapan yang selama ini ia idamkan.

“Apa maksud lo?” tanya Frea kembali.

“Gue rasa lo patut berbangga karena menjadi orang dekat Raka. Setiap wanita di sekolah menginginkannya, bukan?” Tangan Arion mengambil sebuah buku.

Terbaca oleh Freya rentang rasa yang menjadi judul besar dari buku puisi tersebut. Terbilang sulit dimaknai oleh para hati nan hampa akan pengalaman cinta, terutama mempuisikannya. Kadang, terpikir olehnya bagaimana orang-orang bisa menikmati kumpulan kata yang beruntai mesra seperti itu.

“Kok diam?”

Freya menggeleng kepala. Ia menyingkir dari Arion.

“Siapa bilang semua wanita pengen dekat dengan Raka? Gue enggak,” ucapnya berbohong.

“Oh, begitu. Baguslah … gue nemuin yang berbeda kali ini. Gue suka setiap hal yang bersifat berbeda.”

Terkadang, Freya bingung dengan setia kalimat dari Arion. Tersimpan makna yang membuatnya harus memutar logika untuk memahami. Untaian kata filosofis itu sering keluar di tengah pembicaraan yang terkadang tidak penting. Namun, jika ditelisik kembali ada makna tersembunyi yang ingin ia sampaikan, hanya saja dengan cara yang sedikit berbeda. Ataukah memang begitu cara bicara dari seorang Arion? Freya masih menebak-nebak di dalam hati.

Komik yang ia incar sudah didapat. Freya kembali mengikuti Arion untuk membayarnya ke kasir. Sebagai penguntit yang berterus terang, tak sedikit pun malu yang ia rasakan karena telah mengikuti Arion seperti ini. Namun, subtansinya bukan itu. Ia tak sengaja bertemu dengan orang itu di sini. Hanya saja, ia sudah terlanjur untuk mengikutinya.

Tak ada percakapan setelah itu. Freya melangkah ke sepedanya yang terparkir, sementara itu Arion pergi menuju halte untuk melanjutkan perjalanan. Di tengah kayu sepedanya menuju gerbang, Arion memberhentikan Freya.

“Ngomong-ngomong Raka lagi dekat sama cewek, ya?” tanya Arion.

Hatinya terasa dihantam. Banyak yang mendekati Raka, tak terhitung wanita mencoba mendekatinya melalui gerak-gerik basi yang selalu ditunjukkan.

“Banyak sih yang ngedekatin dia,” balas Freya.

“Oh, begitu … maksud gue, yang mereka kelihatan dekat sekali.”

“Dia deket sama siapa aja, salah satunya semua anggota di club Jepang. Tapi, dia kelihatan dekat sama Karin. Kayanya mereka udah temenan sejak lama, jadi kelihatan akrab.”

Arion mengangguk. “Karin? Oh, gue tahu.”

“Kenapa bertanya?” tanya balik Freya.

“Enggak ada.” Kepala Arion menggeleng. “Anak-anak cewek di kelas gue ngebicarain dia.”

“Hahah … enggak heran lagi.”

“Ngomong-ngomong, sesekali kita naik bus bareng ke sekolah. Gue tunggu di halte.”

Ngapain lo ngajak gue? tanya Freya di dalam hati.

“Lo yang naik sepeda bareng gue.”

“Gue enggak punya sepeda,” balas Arion singkat.

Freya memberikan jempolnya. Pikirnya, cukup menarik menikmati pagi dari balik kaca bus. Seperti romansa film Jepang yang acap ia tonton.

“Hubungi gue kalau lo mau bareng gue.”

“Kita belum tukeran nomor.”

“Sini handphone lo,” pinta Freya.

“Handphone gue terlalu kuno buat aplikasi itu. Lebih baik nomor telepon saja. Gue main LINE cuma di laptop.”

Freya terheran mendengarnya. Orang mana di zaman sekarang yang tidak menggunakan ponsel pintar, Freya rasa semua orang pasti memilikinya, bahkan di lintas generasi sekali pun. Namun, kali ini Freya menemukan hal yang berbeda. Pria dingin di hadapannya itu menggunakan handphone yang hanya ia gunakan ketika masih di zaman sekolah dasar, itu pun hanya untuk menelepon orangtua ketika sudah pulang. Mau tidak mau, Freya tetap memberikan nomor teleponnya pada Arion.

“Sudah?” tanya Arion.

Tangan Freya menyerahkan handphone pria itu. Ia sampaikan senyum dari balik laju sepedanya yang bergerak. Seperti biasanya, pria itu tak pernah membalasnya.

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang