75. Untuk Selalu Bersama
Freya tarik semua rasa sesal yang sempat terucap di malam hari, tepat di mana momen itu terjadi. Tiada kejadian terjadi seperti yang ia pikirkan, hanya sebuah kesalahpahaman yang perlu pengertian. Freya mengucap kata maaf, berharap Arion mendengarnya kali ini. Hanya saja, jarak telah tercipta tanpa pernah tahu tujuan si rindu. Arion masih tanpa berita, berjalan dengan keinginannya sendiri untuk menenangkan diri. Tidak ada celah untuk mengetahuinya. Freya harap esok pagi pria itu akan menunggu dirinya tepat di muka pagar, lalu saling bercerita bahwasanya mereka telah saling mencintai.
Tidak ada kisah yang semenarik ini baginya, daripada dua orang yang saling mencintai. Selama ini kisah romansa di buku-buku dan nuansa animasi Jepang romantis yang ia tonton selalu melarutkan hati. Setiap kisah yang diikuti menyiratkan maksud tersembunyi, bahwa ia ingin pula seperti itu, bagaimana dua orang tanpa pernah mengucap, ternyata saling mencintai. Akhirnya, kisah itu bagaikan turun menyesap dalam sukma. Ia telah ada di dalam cerita itu, dengan dinginnya kemilau rindu yang masih terselubung tanpa kehadiran Arion kali ini.
Sejak kapan semua ini menjadi cinta? Padahal mereka diawali dengan ketidakakraban, melalui tatap dingin Arion yang dingin itu. Lalu, pertemuan yang kebetulan terjadi, menciptakan sebaris percakapan. Perbincangan kecil satu per satu beralur kepada perkenalan. Mereka dekat, saling bercerita mengenai hati masing-masing, terutama tentang gemeretak patah hati. Jika patah hati yang merekatkan mereka, maka cinta pula yang sempat merenggangkannya. Namun, cinta yang suci itu terlalu jujur. Akhirnya, Freya paham bahwasanya masing-masing dari mereka hanya perlu untuk menilai diri sendiri. Mereka hanya salah paham.
Sekolah hanya setengah hari. Sepanjang waktu dihabiskan untuk mendukung kelas yang bertanding. Kemenangan demi kemenangan terlihat dari senangnya wajah dan tabuh alat musik pukul yang semarak. Semenjak Adit menceritakan hal yang sebenarnya mengenai Arion, semangat Freya perlahan tumbuh. Hal itu masih bertahan hingga ia pulang, terutama ketika ingin mengambil sepeda. Semakin tidak sabar saja ia bertemu dengan pria itu.
Gagang sepeda Freya ditahan seseornag. Suaranya pelan meminta Freya untuk bertahan sebentar.
“Freya, gue mintaa maaf.”Wajah Karin turun menatap Freya. “Gue mengaku salah dan semua ini gara-gara gue.”
Freya terdiam sesaat. Tangannya melepaskan genggaaman pada stang sepeda. “Kenapa sih lo tega banget? Gue kira kita ini teman. Lo tahu Arion itu pacar gue dan lo berani main di belakang.”
Tidak sanggup Karin menjawab pertanyaan itu. Ia sudah berada di titik akhir, di mana ia harus menghentikan langkah demi keinginannya sendiri.
“Entah setan apa yang memengaruhi gue, Freya. Gue abis akal untuk itu. Gue minta maaf banget.”
“Minggirlah Karin, gue pengen pulang.” Freya menggeser tangan Karin. “Anggap aja enggak terjadi apa-apa dan kita bersikap biasa di club. Walaupun gitu, gue masih belum bisa maafin lo.”
“Freya ... tunggu dulu―”
Freya menoleh ke belakang. “Karin, lo kira cewek mana yang bisa nerima itu? Bahkan jika itu terjadi sama diri lo sendiri.”
“Gue bener-bener nyesal, Freya. Gue enggak mau hubungan kita di club hancur gara-gara itu. Club adalah harga mati bagi gue,” balas Karin.
Kepala Freya memereng. “Ya ... hubungan kita bakalan sama kaya biasa. Tapi, gue enggak bakalan bisa ngelupain masalah ini.”
“....” Karin tidak sanggup berkata-kata lagi. Ia biarkan Freya pergi dengan meninggalkan benci pada dirinya. Ia pantas mendapatkan hal itu karena ia sudah mengkhianati orang banyak, demi cinta yang buta.
Kesal? Tentu saja kesal dengan perbuatan wanita itu, terlebih lagi ia telah terlanjur menyebutkan jika Karin merupakan seorang panutan. Gadis itu teman, panutan, orang yang bisa diandalkan, mengingat sebegitu besar jasanya untuk club yang ia banggakan itu. Tidak pernah sekali pun Freya merasa curiga, meskipun Arion pernah menyebutkan jika ia masih menyimpan rasa pada saat itu. Namun, begitulah realita apa adanya. Bersembunyi membuntuti dirinya dari belakang, lalu menerkam ketika lengah tidak disadari.
Kekecewaan itu tidak akan pernah Freya lupakan. Ia tidak bisa memaafkan, ataupun tidak tahu cara memaafkan wanita itu. Freya hanya menyerahkan semua ini kepada waktu hingga semuanya kembali seperti sedia kala. Larut dalam setiap momen yang akan mereka cipta, lalu perlahan terlupakan dan mengendap untuk tidak kembali ke permukaan.Yang Freya bisa lakukan kali ini hanyalah bersikap biasa saja, tanpa pernah membahasnya kembali. Biarkan masa lalu menjadi lembaran yang telah dilalui, meskipun Freya belum bisa untuk memaafkannya.
Pikiran itu mengawang dengan kayuh berat pada pedal sepeda yang menapaki lurusan trotoar. Terik yang dihalangi oleh pepohonan samping kiri, memberikan waktu bagi Freya untuk bermenung. Desiran daun yang berbunyi pada setiap belaian angin pada pohon tak urung membuat Freya tenang. Gema suara klakson lalu lintas sibuk di siang hari seakan mengendap dalam perenungan. Bahkan, ketika ia melewati simpang komplek di mana Arion selalu menunggunya dengan sabar, ketika ia terlalu lama bersiap diri dari rumah.
Ke mana pria itu? Jujur, Freya ingin memeluknya hari ini dan mengucap maaf karena terlalu naif menghujati perasaan. Ketika Arion tidak pernah secuil pun membencinya, malam itu tersemat perasaan itu kepada Arion. Ia merasa kasihan pada Arion, begitu pula dengan dirinya sendiri. Namun, Arion telah terlanjut pergi untuk bertenang diri, sebagaimana yang diberi tahu oleh Adit sebelumnya.
Jawaban itu entah ke mana ia akan cari. Tidak ada celah untuk menghubungi Arion yang terlalu terisolir itu. Pria yang berkelakuan primitif, tidak terlalu ingin memanfaatkan teknologi itu susah sekali untuk dihubungi, kecuali ia yang menginginkan sendiri. Jika ia merasa dipentingkan, ia selalu datang seorang diri, bukan melalui sambungan telepon. Begitulah perlakuan yang dirasakan Freya. Namun, ia merasa spesial ketika Arion selalu datang tanpa ingin dihubungi terlebih dahulu.
Di ujung rumahnya, Freya terhenti. Terdapat seorang pria berjaket tebal dengan ransel besar yang ia sandang. Mereka sama-sama menoleh, mengikat satu pandang dalam satu sorotan. Tidak ada senyum yang membelai garis lurus itu, masing-masing dari mereka terpaku di titik masing-masing. Freya melihat pria itu berdiri bagaikan kayu mati dengan dedaunan yang sedikit. Lalu, hembusan angin menggerakkan rambutnya bagaikan dedaunan tersebut. Tidak goyah sedikit pun diri pria itu yang menatapnya, sebelum Freya bergerak dengan cepat.
“Arion!” Freya berlari melepas sepedanya.
“Freya ... maafin gue ....” Arion tetap berdiri pada tempatnya.
Tidak ada ragu dalam peluk yang rengkuh dari tubuh Arion. Terasa hangat berkat rindu yang membara dan ucapan maaf yang menghentak keluar. Matanya dialiri air mata, menyesap pada jaket tebal yang dikenakan oleh Arion. Berbelai rambut Freya dengan lembut oleh tangan Arion yang bergerak perlahan, menelusuri setiap helaian rambut Freya yang harum, lalu menyentuh kedua pipi Freya yang empuk.
“Gue tahu semuanya dan semua ini salah paham.”
“Lo pantas marah, dan gue pantas dibenci. Seharusnya, gue menolaknya lebih cepat biar lo enggak ngelihat itu.”
Freya menepuk dada Arion. “Ke mana lo hari ini?! Kita patut bangga pagi tadi!”
“Entahlah Freya, gue hilang akal buat pergi sendiri. Tapi, gue enggak sanggup ngelakuin itu.” Arion melepaskan tangannya dari wajah Freya. “Gue ngerasa jadi cowok pengecut karena ngehindarin masalah ini. Akhirnya, gue datang ke sini.”
Freya diam sesaat. “Sekarang kita adil, kan? Kita udah satu tujuan?”
“Iya, kita sekarang satu tujuan. Mari ke tujuan selanjutnya.” Arion kembali memeluk Freya. “Gue cinta sama lo.”
Ia rengkuh peluk Arion dengan erat, lalu bersemilah cinta mereka hari ini. Rindu-rindu merekah bagaikan bunga bougenvile warna ungu yang Arion suka, bercampur oleh kemolekan sakura merah dari Freya. Tujuan yang dulu mereka janjikan, kini berpijak dalam satu pihak. Cinta yang dikatakan tidak lagi pada sudut, melainkan sebuah lingkaran untuk selalu bersama.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Anantara Rasa
Teen FictionFreya Naomi jatuh cinta kepada Raka Azura sang Wakil Ketua OSIS yang pernah menyelamatkannya ketika Masa Orientasi Sekolah. Cinta itu berlanjut hingga kesukaannya terhadap budaya Jepang membawa Freya mengikuti sebuah club Jepang bernama Club Yatta...