21. Kenapa Tidak Ada Yang Ingin Mendekatiku?
Sekitar lima belas menit bersepeda dengan diboncengi oleh Arion, Freya dibawa berhenti tepat di muka rumah kayu dua lantai berwarna cokelat. Terdapat papan nama yang cukup besar di muka rumah itu dengan bertuliskan Bougenville. Baru tahu dirinya baru saja berhenti di depan lokasi penjualan bunga. Di samping rumah tersebut terdapat pula sepetak tanah yang dijadikan kebun bunga dengan beberapa orang pekerja. Tak terlalu ramai tempat ini, hanya dua mobil yang terparkir di muka rumah.
“Terima kasih udah ngantarin gue ....” Arion turun dari sepeda.
“Rumah lo di sini?” Freya melihat ke sekitar. Daerah ini tidaklah terlalu jauh dari rumahnya jika menggunakan sepeda.
Arion mengelus rambut belakangnya. “Hmmm ... enggak, sih―”
Perhatian mereka tertuju kepada seorang wanita dewasa yang memanggil nama Arion di samping rumah. Ia memakai topi bundar dengan sarung tangan penuh kotoran tanah. Celemek masak dijadikan pelindung pakaian dari kotoran tanah yang cokelat. Ia melambai kepada Arion dan Freya.
“Arion ... kenapa ke sini? Enggak langsung pulang?” tanya wanita itu.
“Iya, Ibu ... Rion mampir di sini ....”
Ibu? Oh ... ini orangtua dari Arion .... Menyadari hal tersebut, Freya segera menunduk untuk memberikan hormat. Tanpa diduga, ibu Arion menghampiri mereka berdua. Ia melepas sarung tangannya sebentar, lalu mencuci tangan pada keran.
“Rion, kamu enggak pernah bilang kalau kamu punya pacar?” tanya ibunya Arion.
Sontak, kalimat itu membuat wajah Freya memerah.
“Oh, bukan ... ini bukan pacarnya Rion. Ini ... Freya ... temen di sekolah.”
Ibunya memandang Freya dari bawah hingga ke atas. Detail sekali ekspresi dari wanta itu memandang Freya. Segera bagi Freya untuk menyalami ibu tersebut, lalu mengucapkan namanya sebagai perkenalan.
“Saya Freya, Bu ... temen satu sekolah Arion.”
“Iya, panggil aja Ibu Kartika. Hmm ... cantik sekali kamu. Sepertinya cocok―”
“Apaan sih Ibu? Dia bukan pacar Rion ...,” balas Arion dengan cepat.
“Ya sudahlah ... padahal Ibu berharap banget kalau kamu ngenalin pacarmu.” Ibunya melipat tangan di dada. Wajahnya mendekat ke telinga Freya. “Jangankan Pacar, teman saja tidak pernah. Anaknya pendiam banget, maaf ya.”
“Haha ... iya, Bu. Arion memang pendiam orangnya.”
Ibu Kartika kembali mengenakan sarung tangannya tersebut. Lalu, dirinya menoleh pada Arion. “Kamu jangan kaku-kaku sama dia yang udah ngantarin kamu ke sini. Bawa dia masuk dan buatin minum di belakang.”
“Kayanya Freya pingin pulang langsung ...,” balas Arion.
“Enggak, kan?” tanya Ibu Kartika dengan wajah sedikit memaksa.
Melihat ekspresi tersebut, Freya tak bisa menolak. Ia menganguk dan segera membawa sepedanya masuk ke pekarangan toko bunga yang estetik ini.
Freya dibawa masuk ke rumah bagian belakang oleh Arion. Melalui pintu belakang, terlihat suasana rumah sederhana yang penuh dengan bunga. Ternyata area kebun tidak hanya di samping kanan rumah, tetapi di belakang rumah terdapat sebuah kebun dengan jaring yang menaunginya. Ingin rasanya Freya masuk ke sana, seperti sebuah area pekarangan istana yang warna warni. Ia tak lagi memandang ke kebun belakang tatkala Arion memanggilnya agar segera menaiki tangga menuju lantai dua. Sesampainya di lantai dua, Freya memasuki sebuah kamar. Sementara itu, Arion berjalan menuju balkon dengan lantai kayu di luarnya.
“Ini dulu kamar gue. Bahkan ... ini dulu rumah gue. Lalu, suatu hari kami membeli rumah baru yang gue tinggali sekarang. Semenjak Ayah meninggal, ibu mengalihfungsikan rumah lama ini sebagai toko bunga.” Ia menunjuk ke luar. “Lihatlah ... di sini cantik, kan?”
Freya bersandar di tepi balkon. Sementara itu, Arion duduk di atar kursi.
“Iya, di sini indah banget. Penuh dengan bunga bermacam warna. Gue baru tahu kalau ada toko bunga seperti ini. Estetik banget dari luar.” Freya menghirup napas panjang untuk merasakan kesegaran dari asrinya sekeliling rumah.
“Iya ... kalau malam gue bakalan jaga di sini. Lalu, pulang sewaktu subuh ke rumah untuk siap-siap ke sekolah.”
Sungguh berbeda apa yang Freya lihat dari Arion. Pria itu penuh dengan senyum ringan yang tak pernah sama sekali ia tunjukkan pada orang lain.
“Kenapa lo senyum dari tadi?” tanya Freya.
Sebelah alis Arion berdiri. “Ternyata begini membawa seorang teman ke rumah.”
“Arion ... lo itu ternyata punya sisi lucunya juga, ya ....”
“Hahah ... gue lucu?”
Freya mengangguk. “Iya ... semua orang cuma tahu lo yang dingin dan pendiam. Ternyata, sebenarnya lo itu sesederhana ini, apa adanya.”
Diam wajah Arion mendengar kalimat dari Freya. Ia tatap wajah Freya dalam satu garis lurus, tepat di tengah kedua matanya. Setelah itu, ia mengangguk. “Benar kata Ibu. Lo cantik ....”
Berdiri dagu Freya mendengar hal tersebut. Pria itu terlalu sederhana setelah ia mengenalnya hingga di titik ini. Setiap perkataannya selalu menunjukkan apa adanya, termasuk tingkah aneh yang ia tunjukkan kepada Freya. Namun, apakah ucapannya itu termasuk ke dalam defenisi 'apa adanya' tersebut? Atau ia memang sepolos ini menilai seseorang? Freya hanya bisa menebak sembari menahan wajah untuk tak berpaling. Ada seorang pria yang tengah memujinya dengan sesederhana, di sekeliling bunga ranum yang bergesekan oleh lambaian angin.
“Apa semua cowok seperti kalian memang suka menilai cewek dari fisiknya?” tanya Freya.
Memicing mata Arion mendengar pertanyaan tersebut. “Cowok seperti kalian? Memangnya gue seperti siapa?”
“Ya ... kaya lo ... kaya Raka ... dan sejenisnya.” Freya berbalik badan menatap kebun. “Lebih baik kalian melihat wanita dari dalamnya, bukan fisik di luar. Gue enggak begitu cantik. Bahkan, lebih cantik Lani, teman satu meja gue.”
Ario berdiri, lalu bersandar di tepian balkon tepat di samping Freya. Napasnya menghirup napas panjang karena udara segar sempat membelai tubuh mereka berdua, memebuat bergerak helai demi helai poni Freya yang melengkung.
“Kenapa lo bisa menilai gue seperti itu? Gue jarang bicara sama orang. Mungkin lo cewek kedua yang gue ajak bicara, selain Dinda.”
Sedikit Freya menatap ke samping. Jarak mereka memang benar-benar seangin. Apabila Freya bergeser ke samping lagi, tubuh mereka akan saling bersentuhan satu sama lain.
“Apa gue memang cantik?” tanya Freya. Wajahnya bertatap serius kepada Arion.
“Hey, pertanyaan macam apa itu. Gue rasa setiap wanita menganggap dirinya sendiri cantik.”
“Lalu, kenapa enggak ada cowok yang mau dekat sama gue?” tanya Freya kembali.
“Ada ... gue.”
Sesegera mungkin wajah Freya berpaling. Ucapannya terdengar serius daripada yang pernah Freya dengar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Anantara Rasa
Teen FictionFreya Naomi jatuh cinta kepada Raka Azura sang Wakil Ketua OSIS yang pernah menyelamatkannya ketika Masa Orientasi Sekolah. Cinta itu berlanjut hingga kesukaannya terhadap budaya Jepang membawa Freya mengikuti sebuah club Jepang bernama Club Yatta...