60. Tidak Menerima

50 9 0
                                    

60. Tidak Menerima

Rasanya tepat bagi Arion untuk memilih wanita itu. Memang, tidak ada rasa cinta yang mendasari setiap sentuh tangan kepada Freya, tetapi ia terasa nyaman apabila wanita itu ada di sisi. Bagaikan di sebuah perjalanan sungai menuju tepi impian, diri menikmati perjalanan yang indah itu tanpa bisa memijaki tujuan. Begitulah kira-kira yang dirasakan oleh Arion. Freya tampak mendekati sempunra bagi dirinya. Wanita itu penuh pengertian untuk memahami bahwasanya ia tak sama dengan orang lain. Pilihannya yang terkadang aneh, Freya bisa memakluminya dengan segenap kerendahan hati.

Baiklah, tujuan yang semula untuk melupakan ukiran nama yang pernah memahati hati, kini telah berganti kepada tujuan yang lain. Arion dan Freya berjanji untuk berusaha jatuh cinta. Di lain sisi, Arion sangat ingin ia jatuh hati kepada wanita itu. Freya adalah orang yang tepat untuk pengisi hati dan periang hari-hari nanti. Sungguh, Freya berbeda dengan wanita lainnya yang selalu meninggikan hati dan harga diri. Ia tampak sederhana dan sempurna dengan kesederhanaan itu sendiri.

Maka, kecupan lembut sebagai titik pertama kalinya bagi Arion untuk menyentuh bibir seorang wanita. Bukanlah nafsu yang menjadi tujuan, melainkan komitmen. Ia ingin menumbuhkan benih-benih rasa menjadi tunas baru yang akan ia petik suatu hari nanti. Ketika titik itu berjumpa dengan dirinya, sudah ia pastikan merupakan hari-hari berbahagia Arion dengan Freya.

Hubungan itu masih dirahasiakan dari orang banyak. Meskipun Karin sudah tahu, ia yakin bahwasanya Karin tidak akan berani menyebarluaskannya. Karin benci mengenai masa lalu dirinya yang pernah menjalin hubungan dengan Arion. Arion telah dianggap sebagai pengkhianat rasa yang ia tabur sebelumnya, padahal bukan itu fakta yang sebenarnya terjadi. Arion hanyalah korban dari kesalahpahaman, tetapi kesalahpahaman itu bertambah rumit ketika orang ketiga mulai menjamahi kisah mereka, yaitu Raka sendiri. Tentu saja Karin tidak ingin jika Arion memberitahu hal tersebut.

Hari-harinya sungguh lebih bermakna karena ada Freya yang selalu hadir di dalam hidupnya. Tatkala pagi yang menerjang kantuk sebegitu dalam, dering handphone kuno miliknya berbunyi dengan nada suara lembut dari Freya. Lalu, mereka berjumpa di simpang halte sekolah untuk berjalan bersama, memberi salam kepada mentari yang tampak gahar di atas sana. Di siang hari Freya akan mengunjungi Arion di rooftop sekolah untuk berbagi bekal yang ia susun sedemikian rupa nikmatnya. Mereka akan saling bersandar menikmati teduh di bawah bayang-bayang pembatas rooftop untuk saling bercerita mengenai pelajaran hari ini.

Tatkala bel akhir sekolah memberi jalan untuk pulang, Freya diam-diam menunggunya di taman sekolah karena terlalu malu untuk menanti Arion tepat di depan kelas. Jujur, Arion suka sifat pemalunya yang menggemaskan itu, seakan ingin ia tekan pipi merahnya itu sekeras mungkin. Mereka pun pulang dengan perisahan di halte simpang sekolah, terkadang Arion sendiri yang mengantarkan Freya ke rumah apabila ia membawa kendaraan. Arion cukup sering membawa kendaraan ke sekolah, hanya demi membersamai Freya tatkala pergi dan pulang.

Mana ada rasanya pasangan yang masih berkirim SMS, seperti masa ketika ia masih SD. Faktanya, itu terjadi pada hubungan mereka. Arion tidak ingin membeli smartphone seperti teman-teman lainnya―termasuk Freya sendiri―hanya karena tidak mau bergantung pada satu hal. Baginya, smartphone hanya membuat seseorang menjadi ketergantungan. Dengan berkirim SMS biasa, ia lebih bisa memelihara rindu untuk secepatnya berjumpa. Terutama, tatkala ucapan 'selamat tidur' dari kekasihnya itu bersemat di dalam nada dering sebelum tidur. Lalu, ia akan tersenyum dengan sendirinya karena sadar bahwasanya ada orang yang sedang memerhatikannya.

Setidaknya itu kisah kesederhanaan antara Arion dengan Freya. Arion pun tidak ingin membandingi bagaimana ia berbagi rasa tatkala ia masih berhubungan dengan Karin. Baginya, masa lalu biarlah menjadi masa lalu. Tidak perlu rasanya untuk bercerita romantisme masa lalu itu kepada Freya. Ia menghargainya sebagai seorang kekasih.

Motor tua Arion bergerak pelan menuju toko bunga Bougenville. Sudah menjadi rutinitas hariannya menuju ke sana sehabis pulang sekolah. Malam tentu saja Arion bertugas sebagai security tanpa bayaran. Namun, ia bebas melakukan apa saja di sana karena tidak ada siapa pun yang tinggal. Bebas bagi Arion untuk menghidupkan musik sekeras mungkin atau merokok di luar sembari minum kopi hitam. Selain itu. Arion juga bisa sering-sering melihat ikan cupang hias peliharaannya tersebut.

Wangi pohon kayu putih tercium tatkala ia melintas di depan trotoar depan toko. Tanah yang luas ini dilingkari oleh pagar besi sepinggang serta trotoar jalanan yang ditumbuhi oleh pohon kayu putih. Kulit pohon itu berlapis-lapis, apabila dikupas sedikit, akan ada lapisan selanjutnya  yang tampak. Jikalau tubuh sedang tidak enak, Arion sering menggosokkan daunnya ke tangan, lalu menciumnya sepanjang jalan. Harum seperti wangi minyak kayu putih yang sering kita pakai.

Ibu Arion tampak berdiri di muka toko sembari tersenyum kepada anaknya yang baru datang. Ia menunjuk ke belakang bangunan tokok, tetapi Arion tidak terlalu mendengar jelas karena motor yang berisik serta suara Ibu yang terlampau kecil. Arion sadar isyarat ibunya tersebut mengarah kepada sebuah mobil warna merah yang terparkir di belakang. Motor pun berhenti di tepi bangunan toko, lalu segera bergerak untuk melihat siapa yang sedang datang.

Sepengalamannya, hanya Freya dan Dinda yang ringan kakinya ke sini. Sudah tahu persis bagi Arion jika Freya akan selalu menunggunya di bangunan kecil tempat ia memelihara Ikan. Sementara Dinda, ia sudah pasti berjongkok di deretan bunga melati sembari menciumi kelopaknya. Namun, tidak ada siapa-siapa yang Arion tampaki. Kosong seperti syahdunya taman eden dengan rimbunan bunga, tanpa ada seseorang pun yang mengusik pemandangan tersebut.

“Hey, cowok es.”

Arion sontak menoleh ke balakang atas, tepat di balkon kamarnya yang terbuat dari kayu itu. Tampaklah wanita dengan mata tajam dan rambut panjang tergerai. Helai demi helai rambutnya bergerak oleh angin yang melintas pada kekosongan cengkarama yang ada. Arion terus terpaku heran menyoroti kelopak mata indah bagai ombak pantai yang bergulung alami itu. Ia melipat tangan di atas pembatas balkon, mempertegas kesan sinis yang tertutup dari dirinya.

“Karin ....” Arion melihat ke kiri dan ke kanan. Tidak yakin bagi dirinya bahwa Karin pergi sendiri. “Lo ngapain ke sini? Dan ... hey, itu kamar gue dan lo masuk begitu aja!”

“Gue pengen ketemu lo, itu aja. Jangan khawatir, Raka enggak ada di sini.”

“Raka? Lo bilang gue ngekhawatirin dia?” tanya Arion. “Segitunya Raka ngelarang lo datang ke gue selain buat urusan club sampah itu.”

“Jangan sebutin club itu sampah. Gue bangun club itu dengan susah payah.”

“Iya, dengan susah payah banget. Dan Raka berhasil ngehancurin marwah club itu dalam satu waktu jadi sampah.”

Karin tersenyum sinis. Ia sebenarnya tidak ingin berdebat, tetapi ingin berbicara dengan akal sehat. Arion bukanlah lawan yang baik untuk berdebat. Pria itu cerdas membolak-balikkan kalimat lawan. “Segitunya lo menyambut tamu?”

Tidak ada pilihan lain selain menjamu tamu yang datang. Arion menghela napas agar tenang, lalu melangkah masuk ke ruangan belakang. Karena tidak ingin anak itu berlama-lama, Arion tidak membuatkan air, melainkan hanya mengambil susu kotak yang selalu disediakan untuknya. Tidak banyak basa-basi, Karin menancapkan sedotan kecil susu itu pada kotaknya.

“Baliklah ke club―” Mulut Karin terbungkam berkat kalimatnya terpotong.

“Bagaimana komiknya?” tanya Arion.

“Raka kerepotan kayanya. Seperti yang lo tahu, untuk menyamai gambar lo, dia butuh berusaha keras. Bahkan, Raka sampai pulang kesorean gara-gara nyelesaiin gambarnya dia. Tadi, dia bilang besok harus siap karena tiga hari lagi harus udah dikirim. Lo tahu kan minggu besok kita udah ujian semester dan event itu ada setelah ujian. Raka pasti enggak ada waktu buat ngegambar karena sibuk belajar.”

“Oh, begitu ... lalu, bagaimana dengan lo buat persiapannya?”

“Oh, begitu? Setelah situasi parah ini dan  lo cuma menanggapi seperti itu?” Karin memandangi Arion.

“Gue enggak peduli dengan pacar lo itu. Dan lo tahu kan orang yang paling kalian puji satu sekolahan, ternyata pandai ngeremehin orang kaya gitu?” tanya Arion balik.

“Arion ... semua orang pasti punya salah! Raka bukan malaikat yang selalu sempurna. Mungkin, di sana sisi buruknya dia,” balas Karin dengan bercampur emosi.

Arion menaikkan alisnya. Pembicaraan ini semakin terdengar menarik baginya sendiri. “Dan gue benci ketika orang dengan sengaja nunjukin keburukannya sama gue. Semua itu pasti ada maksud, sedari dulu dia enggak pernah suka sama gue. Gue dianggap ancaman bagi dirinya sendiri. Padahal, waktu itu harusnya gue yang begitu.”

“Maksud lo?” tanya Karin dengan heran.

“Lo kira gue enggak tahu kalau kalian main di belakang gue dulu? Di saat kita sama-sama, ternyata lo mikirin cowok lain. Dan gue bodohnya masih aja nyimpan rasa suka sama lo saat itu.” Arion tertawa sinis. “Karin, Raka itu punya semuanya. Dia anak orang kaya, terkenal, lumayan pintar, siapa yang enggak suka sama dia? Bahkan, termasuk cewek gue saat itu.”

Air mata Karin tumpah seperti garis yang tiba-tiba mengalir di ujung pipi.

“Lo itu benar-benar―”

“Sampaikan salam gue dengan Raka, gue enggak bakalan masuk lagi ke club itu, meskipun karya gue menang.”

Karin seketika berbalik pergi meninggalkan Arion dengan garis tangis di pipinya. Tak pernah disangka olehnya jika kalimat itu benar-benar perih menusuk di hati, seakan ada ribuan jarum yang tengah menghujam bungkamnya. Maksudnya untuk berbicara baik-baik telah gagal di ujung cengkerama. Arion benar-benar tidak menerima dirinya.

***


Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang