27. Lebih Tampan

54 8 0
                                    

27. Lebih Tampan

Asap mengepul di hadapan Arion yang sedang melakukan sesautu. Entah apa yang sedang dilakukan olehnya, Freya tidak tahu. Selain itu, Freya tertarik dengan bangunan yang berisi puluhan ikan hias di dalam akuarium. Ikan hias tersebut bergerak dengan mengibaskan ekor indahnya, berwarna-warni memanjakan mata tidak ubah layaknya bunga-bunga yang tertanam di sini.

"Hmm ... gue paham. Lo pasti takut ketahuan ngerokok sama Ibu, kan?" Freya masuk selangkah ke dalam bangunan. Ia masih takjub dengan puluhan ikan hias. Tidak hanya ikan hias yang menjadi daya tarik utama, melainkan trofi juara dengan motif utama ikan laga hias. "Wow ... selain punya keahlian bikin komik, lo juga suka pelihara cupang hias."

Arion terlihat menutup ember yang sedang ia kerjakan tadi, lalu mengelap tangannya pada selembar kain. Tak ingin Freya menyentuh apa pun di sini, ia menarik tangan Freya untuk keluar. "Ayo keluar, di sini bukan tempat lo."

"Ih, sinis amat?! Tunggu dulu ...." Freya melepaskan tangan Arion. Kini ia lebih mendekat ke salah satu ikan cupang hias yang melebar ekornya hampir setengah bulan.

"Jangan sentuh apa pun." Arion kembali menarik tangan Freya.

Rasanya Arion tidak ingin membiarkan dirinya melihat lebih lama lagi. Pria itu malah mengunci pintu bangunan itu, lalu meminta Freya untuk duduk di salah satu kursi kayu dengan meja dari potongan pohon yang cukup lebar. Sementara itu, Arion meminta izin untuk pergi ke dalam rumah untuk berganti baju. Ia mengatakan tubuhnya penuh keringat dan bau setelah mengerjakan sesautu di dalam bangunan itu.

Sesampainya Arion di hadapan Freya, ia menggeser sekaleng cola dingin pada wanita itu. Masih dengan rokok yang terselip, ia menatap Freya dengan santai.

"Mana pakaian gue?" tanya Arion sembari menyemburkan asap tembakau itu ke arah lain.

"Lo kok bisa ngerokok, sih? Kan enggak sehat."

"Sehat atau enggaknya gue, itu urusan gue. Urus aja kepentingan lo." Ia menadahkan tangannya untuk meminta pakaian. "Mana punya gue?"

Freya mengambil pakaian tersebut di dalam tas yang ia bawa, lalu meletakkannya di atas tadahan tangan Arion. "Gue enggak nyangka lo ngerokok. Padahal, lo kelihatan anak baik-baik dan pendiam."

Mata Arion memicing padanya. "Eh, lo kira ngerokok itu pertanda baik atau enggaknya seseorang? Kyai dengan ilmu agama tinggi juga ada yang ngerokok. Lagian ini uang gue, jangan lo urusi."

"Iya, itu uang lo. Tapi kan dikasih orangtua."

"Lo kira gue jaga di sini enggak digaji?" Ia menunjuk bangunan kayu itu. "Lo kira ikan gue enggak ada uangnya?"

"Pokoknya gue enggak suka cowok ngerokok," tegas Freya.

"Gue enggak maksa lo menyukai gue atau enggak. Lagian, ngapain juga lo ngurusi hidup gue?" Ia melepaskan rokok itu dari bibirnya. "Iya, cowok yang lo sukai itu yang enggak ngerokok, kaya Raka."

"Jangan bawa-bawa nama Raka, dong!"

"Makanya, jangan urusi hidup gue!"

Nada mereka sama-sama meninggi. Tak ada percakapan setelah itu, bahkan memandang pun tidak. Namun, Arion tak sampai hati melihat tamu yang tidak dilayani sebegitu baiknya. Dengan segenap kerendahan hati, Arion membukakan kaleng cola tersebut, lalu menggeserkannya kepada Freya.

"Maaf, nada gue agak tinggi. Makasih udah bawain pakaian gue lagi."

Perlahan, Freya menatap kembali Arion yang sudah membuang puntung rokoknya di bawah tanah. "Iya, maaf juga gue agak lancang."

"Lo sendirian ke sini?" tanya Arion.

"Iya, gue sendirian." Kemudian, ia menoleh pada bangunan kayu itu. "Gue enggak pernah tahu lo punya hobi pelihara ikan."

"Gue hobi pelihara ikan sejak kecil. Hmmm ... lumayan buat gue jual. Harganya juga bersaing. Selain itu, gue juga menangin beberapa kontes ikan. Lumayan, kan?"

Freya tersenyum mendengarnya. Jarang sekali Freya mendengar seorang pria yang memiliki hobi unik. "Hobi gue ternyata enggak ada manfaatnya sama sekali. Gue suka baca komik, nonton anime, dan main game konsol. Hahah ...."

"Lakukan apa yang lo sukai, itu bikin lo bahagia." Arion berdiri dari tempat duduknya. "Lihatlah semua ini, hasil dari hal yang disukai. Gue dan Ibu bahagia punya ini semua."

"Sangat filosofis sekali." Freya melipat tangan. "Ternyata lo seunik ini."

"Iya, gue unik. Lo juga unik. Setiap orang itu unik karena enggak ada yang sama. Barangkali lo sendiri yang belum nemuin keunikan itu," balas Arion.

"Terima kasih, gue simpan kalimat itu di buku harian."

"Jangan cantumin nama gue," balas Arion.

"Kenapa?"

"Gue enggak mau setiap malam lo bakalan ingat nama gue. Lama-lama bisa jadi suka."

Arion membuka kembali kotak rokok tersebut, lalu menyulutnya perlahan. Terdengar bunyi gemeretak cengkeh dan tembakau yang menyeruak berupa percikan-percikan kecil. Bergumul asap di hadapannya setelah mencoba menghembus dengan pelan. Freya memerhatikan setiap detail gerakannya tersebut.

"Gue lebih ingat Raka daripada lo," pungkas Freya.

Tersenyum Arion dengan rokok di bibirnya. "Lo yakin?"

Tanda diduga, pria itu duduk kembali di hadapan Freya. Lurus sorot mata yang tegas itu seakan merasuki pandangan Freya. Baru kali ini ia melihat Arion sebegitu dekat. Dengan jelas ia melihat bahwasanya pupil Arion sedikit berona cokelat.

"Maaf, Raka lebih tampan gue rasa. Lo jangan kepedean." Freya tersenyum dengan ringan.

"Kita lihat saja besok siapa yang lebih tampan," balas Arion yang tak ingin kalah.

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang