62. Maaf
Bel pulang bersambut di senja hari untuk menuntun Freya segera mengayuh sepeda. Lambaian lembut dari seorang pria yang tengah menunggu di halte itu kini ia simpan di dalam ingatan untuk dikenang nanti malam. Ia menolak untuk diantar menuju ke rumah dan lebih memilih menaiki bus sebagaimana ia pergi sebelumnya. Oleh karena itu, bersepeda Freya menuju rumah sendirian, ditemani oleh angin jalanan yang berdebu.
Matahari seakan mengejarnya ketika bergerak. Meskipun bersinar lebih redup, tetapi cahayanya hangat layaknya pagi hari pukul delapan. Wangi senja menyeruak ke hidung Freya sebagai detak penghujung hari yang penuh debu dan asap. Gemincing bunyi mainan kunci pada tasnya bercampur dengan klakson kendaraan yang saling memacu untuk didengar. Freya tetap berhati-hati di tepi jalanan, memberi jalan kepada pengguna jalanan lain yang memakai kendaraan bermesin. Freya menikmati perjalanan senja kali ini, meskipun terpikirkan cara bagaimana mengembalikan Arion ke club kembali.
Melintas hampir di dekat kawasan toko bunga Bougenville, sedikit membuatnya ingin berkunjung ke sana untuk menyapa ibunya Arion. Namun, ia harus segera pulang untuk melakukan tugas harian di rumah yang selalu ia lakukan. Sebelum itu, ia berniat untuk mampir ke sebuah minimarket untuk membeli sejumlah benda yang akan ia stok di kamar. Oleh karena itu, Freya belokkan sebentar sepedanya menuju sebuah minimarket.
Sebagai wanita, tentu saja ia memiliki benda-benda perawatan diri. Freya rasa seluruh wanita pasti punya, meskipun ia tak seperti wanita lain yang memiliki beragam macam benda perawatan diri. Cukup sederhana, tidak perlu membeli benda yang mahal, cukup merk mainstream yang selalu dipakai olehnya. Selain itu, Freya turut membeli minuman yang akan ia nikmati di kamar nantinya.
“Mbak ... ini belanjaan saya―” Freya terpaku pada tangan yang sama-sama menjulur untuk memberikan belanjaan pada kasir.
“Minuman dia biar saya yang bayar, Mbak.” Tangan sebelah Raka meletakkan dua buah mie cup.
“Raka?” Mata Freya melebar berkat Raka yang tiba-tiba berada di sampingnya.
Pria itu masih mengenakan seragam sekolah. Padahal, hampir seharian penuh ini Raka tidak ada di kelas. Memang, Raka merupakan orang yang sibuk di sekolah dengan segala aktivitas organisasinya. Tidak heran bagi Freya jika Raka tidak masuk kelas seharian. Namun, ia masih tidak percaya bertemu dengan Raka di sore hari ini.
“Duduklah sebentar ... gue tunggu di luar,” ucap Raka sembari memberikan sejumlah uang pada kasir. “Itu mie jangan lupa diseduh. Lo pasti lapar kan sore-sore begini.”
Tidak Freya balas, ia hanya mengangguk dengan sedikit membuang wajah. Cukup canggung dengan seluruh hal yang terjadi akhir-akhir ini. Freya segera membayar barang yang ia beli, setelah itu menyeduh mie cup yang Raka berikan. Sementara itu, Raka sudah duduk di meja luar sembari melihat handphone-nya. Melangkah Freya keluar dengan membawa mie cup begitu hati-hati. Disambut oleh Raka dengan senyum tipis dan mempersilahkan Freya untuk duduk di hadapannya. Tanpa basa-basi, Raka segera menikmati mie miliknya dengan suapan pertama yang besar.
“Kok bisa sampai di sini?” tanya Raka.
“Harusnya gue yang tanya begitu sama lo,” balas Freya.
Raka menegapkan tubuhnya. Mie miliknya terlampau pedas sehingga ia segera menyicipi minuman dingin.“Hmm ... itulah enaknya jadi orang-orang kaya gue. Gue bisa izin selama mungkin tanpa dicurigai. Hahaha ... gue lagi malas sekolah. Mending gue pergi main.”
“Hey, mana boleh begitu. Lo berarti menyalahgunakan wewenang.”
“Yang penting gue udah izin. Gue salah di mana? Sekolah enggak bakalan berhenti meskipun gue bolos. Gue sebenarnya juga suka bolos, tapi bedanya gue pakai izin.”
“Parah sih lo ... jadi, bagaimana naskahnya?” tanya Freya.
“Cukup bagus, gue udah kirim softcopy dan hardcopy-nya ke panitia. Tinggal tunggu pengumuman.” Raka menaruh telunjuknya pada dagu. “Gue cukup berterima kasih dengan Arion.”
Mata Freya melebar tatkala Raka menyebut nama pria itu. “Hmm ... dia memang orang yang berbakat. Gue minta maaf karena Arion keluar. Gue merasa bersalah.”
“Kenapa lo yang harus merasa bersalah? Itu bukan salah lo.”
Freya meminta maaf karena pria itu merupakan pacarnya sendiri. Namun, tidak mungkin ia membuka fakta itu di depan Raka. Ini semua masih rahasia, tidak akan boleh satu pun orang yang mengetahuinya.
“Karena gue yang ngebawa Arion ke club.”
“Hey ... sudahlah. Arion selalu punya pilihan. Dia itu sulit diatur, meskipun dia kelihatannya adem-adem aja.”
“Iya, sih. Gue paham dengan hal tersebut.”
“Jadi, bagaimana dengan gerakan andalan lo besok waktu jadi cosplay karakter Asuna?”
Bibir Freya melingkar membentuk untaian senyum. Berdiri telinganya ketika ditanya oleh Raka. Ia sudah tahu persis apa yang akan dilakukan ketika hari perlombaan. Seluruh dialog sudah ia hapal di luar kepala. Masalah kostum dan tata rias, Zeta sudah menjadi jaminan untuk itu.
“Gue udah hapal seluruh gerakan dan dialog. Lo tenang aja,” balas Freya dengan senang hati.
“Semoga lo cantik kaya kemarin.”
Pujian itu bersemat padanya, tepat di senja yang ingin redup ini. Meskipun suara kendaraan bergema di jalanan, kalimat itu seakan berulang-ulang dengan jelas. Entah mengapa eufora ini masih dirasakan olehnya hingga saat ini. Benarkah masih ada rasa yang tertanam di dalam hati? Freya tidak naif, tentu saja bekas ukiran nama Raka di dalam hati masih berbekas, meskipun ingin sekali sesegera mungkin untuk dilupakan. Bergeming dalam tatap yang diam, melihat Raka yang menyendok mie miliknya itu.
Tepat tatkala Freya berkedip, haluan mata Raka berubah ke arah handphone Freya yang berdering pelan di atas meja. Mereka sama-sama satu arah pandangan. Tangan Freya meraihnya untuk melihat siapa gerangan yang tengah berkirim pesan di sore hari ini.
Gue lihat lo lagi sama Raka. Gue enggak suka itu.Tertulis nama Arion di atas pesan singkat itu. Seketika jemarinya berhenti menyentuh layar, berubah dengan tatap mata yang mengedar ke jalanan. Bagaimana pria itu bisa tahu? Apakah ia sempat melihat Freya tengah berdua bersama Raka? Sekelumit pertanyaan itu membuat gaduh di dalam hatinya. Teringat janji bahwasanya mereka akan saling melupakan rasa yang pernah bergema, kini seakan Freya yang mengkhianatinya sendiri.
“Gue harus pergi, makasih banyak mienya.” Freya berdiri dengan cepat.
“Lo mau ke mana?”
“Gue ada urusan mendadak.” Segera Freya beralih menuju sepeda.
Derap ban sepeda Freya melaju menuju rumah Arion. Sudah pasti ia sedang ada di rumah karena pesan singkat yang ia kirim menggunakan media sosial LINE. Handphone milik Arion tidak akan bisa dipasang aplikasi tersebut. Terlalu kuno bagi kehidupan remaja sekarang, hingga Arion harus membuka laptop untuk berkirim pesan melalui internet. Selain itu, Arion hanya akan ada di toko bunga sebelum matahari benar-benar terbenam, tidak mungkin ada dia di sana sekarang.
Tidak ia pedulikan kendaraan yang melaju kendang, hatinya rapuh setelah melihat sepucuk surat daring itu bersemat di layar handphone-nya. Ia ingin sesegera mungkin meminta maaf dan memberi penjalasan untuk klarifikasi. Tidak ada maksud untuk mengkhianati pria itu.
“ARION!” panggil Freya di depan rumah Arion dengan keras.
Hanya senyap angin yang berhembus menjawab panggilan Freya. Kembali Freya sahut namanya dengan kencang, balasan itu pun masih sama. Senyap hati Freya menyadari hal tersebut. Hanya ada dua kemungkinan, ia sudah pergi atau ia tidak ingin bertemu.
Gue benar-benar minta maaf, Arion.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Anantara Rasa
Teen FictionFreya Naomi jatuh cinta kepada Raka Azura sang Wakil Ketua OSIS yang pernah menyelamatkannya ketika Masa Orientasi Sekolah. Cinta itu berlanjut hingga kesukaannya terhadap budaya Jepang membawa Freya mengikuti sebuah club Jepang bernama Club Yatta...