45. Badai Yang Dingin

47 7 0
                                    

45. Badai Yang Dingin

Ruangan spesial itu kini Freya masuki. Sungguh berbeda dengan ruangan mereka. Meja-meja kerja lengkap dengan segala fasilitas yang ada. Ada pula seperti ruangan tamu dengan sofa untuk menyambut tamu dari luar. Senyamannya ruangan, inilah ruangan paling nyaman yang pernah ia masuki di sekoalah ini. Pantas saja ada banyak orang yang ingin bergabung dengan OSIS. Selain mendapatkan banyak teman dan aktivitas, mereka bisa tenang melakukan program dengan fasilitas yang memadai.

Raka berdiri di depan kompor portable, lalu mengeluarkan dua mie instan dari laci di bawahnya. Tak tega melihat Raka memasak untuknya, ia segera mengambil alih kompor itu.

“Biar gue yang masak, lebih baik lo duduk aja di sini,” ucap Freya.

“Wah, kok begitu? Kan gue yang ngajak ke sini.” Raka perhatikan tatapan Freya yang sedikit memaksa. “Hmm ... baiklah. Tapi, gue bakalan berdiri di sini.”

“Oke, Tuan ....” Freya tersenyum ringan.

“Wah, cocok sekali ... Hahaha ....”

Cekatan Freya memasukkan bahan satu per satu. Percaya diri Freya untuk menambahkan sediki sayuran yang tersedia di laci. Dengan segenap ucapan cinta dalam setiap adukan tangannya, Freya tuangkan doa-doa agar Raka selalu bahagia, meskipun dirinya tidak pernah menjadi pendampingnya. Dua mangkuk mie instan itu kini tersajikan di atas meja tempat mereka makan berdua. Senang rasanya tatkala Raka memuji makanan buatan Freya, meskipun hanya sekadar mie instan.

“Hmm ... kenyang ... makasih buat makananya, Freya.”

Freya menyejajarkan piring dan garpu di atas mangkuknya. “Lo yang ngajak gue ke sini, kan? Harusnya gue yang berterima kasih.”

“Untuk pemula, lo cukup pandai memasak.”

“Hey, ini cuma mie instan. Semua orang bisa masak ini, bahkan anak kecil sekali pun. Ada-ada aja. Jadi, bagaimana naskah yang ditulis Zeta?”

“Sudah siap, gue dan Arion tinggal ngegambar. Konsep ceritanya unik, Arion suka banget.”

“Oh, ya? Arion suka. Tumben dia suka dengan pendapat orang lain.”

“Hahah ... baru sadar kalau itu aneh buat Arion?” Raka berpangku tangan di atas meja. “Anak itu misterius banget. Tapi gue suka karena pandainya banyak. Lebih baik diam daripada banyak bicara dan enggak bisa apa-apa.”

“Jadi, kira-kira kapan selesai gambarnya?”

“Sebenarnya bisa dua minggu sebelum event dimulai, tapi kita enggak bisa mastiin kapan. Kira-kira bentuk komiknya kurang lebih kaya sinopsis novel, tapi dalam bentuk gambar. Konsep cerita paling unik dan gambar yang menarik, itulah yang dijadiin penilaian. Lo bisa bayangin karya kami berjejer di toko buku?”

“Gue menunggu itu, Raka. Kalian pasti bisa, gue yakin dengan hal itu.”

“Makasih ... lo ini orang yang semangat ya.” Tangan Raka menempel pada kepala Freya, lalu mengusapnya perlahan. Ia sadari bahwasa pipi wanita itu memerah. “Mau melakukan hal gila?”

“Hal gila?”

“Sekarang udah jam enam. Kalau mau menunggu hujan, kita bisa tidur di sini. Sebaiknya kita tembus aja hujannya.”

“Ih, lo gila? Lo mau basah-basahan?”

Raka mengangguk. “Kalau udah jam segini, lebih baik gue nembus hujan daripada nunggu. Gue bisa aja ngelakuin sendiri, tapi lo bakalan tinggal di sini.”

“Jangan tinggalin gue!” balas Freya, “Di sekolah serem!”

“Hahah ... kan lo tahu sekolah kita gimana kalau malam. Jadi lo mau nembus hujan? Sepeda lo enggak bakalan hilang di sini, kok. Besok pagi kalau lo enggak ada kendaraan, gue bisa jemput.”

Dijemput Raka? Mimpi apa ini?!

“Ya sudah ... ayo menembus hujan,” pungkas Freya. 

Permintaan Raka diiyakan oleh Freya. Ia tinggalkan sepeda itu di sekolah dan berharap tidak hilang esok pagi. Benar juga menurut Raka rasanya, siapa juga yang ingin masuk ke sekolah dengan gerbang digembok. Kini, dengan naungan bentar jaket Raka di atas kepala, Freya berlari di samping pria itu. Hujan yang ditembus memanglah dingin, tetapi hangatnya perlakuan pria itu menjadi suasana baru yang belum pernah Freya dapatkan sebelumnya. Langkah mereka saling berayun dalam ritme yang sama, menerang genangan air dengan meloncat berdua.

Freya naik ke atas motor Raka. Sentuh tangan Raka seketika bersemayam pada Freya. Raka menaruh tangan Freya tepat di pinggangnya.

“Gue bukannya mau modus, tapi alangkah baiknya lo berpegangan erat sama gue karena gue mau sedikit lebih kencang. Oke?”

“Iya, Raka ... hati-hati!”

Lingkar tangan Freya perlahan memeluk tubuh Raka dari belakang. Tubuh mereka saling tak berbatas ketika cinta bertabuh di hujan badai yang dingin.

***


Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang