33. Menikmati Cinta

53 7 0
                                    

33. Menikmati Cinta

Pertanyaan itu menghentak dirinya karena diajukan secara tiba-tiba.

“Kenapa lo tanya itu?”

“Ya, gue penasaran ... kenapa lo suka sama dia dan kenapa cewek lain di luar sana juga suka sama Raka. Apa suka lo itu sama dengan mereka? Gue enggak tahu, makanya gue bertanya. Seperti yang lo tahu, Raka itu populer, tampan, loyal kepada teman, anak orang kaya mungkin, hmmm ... apalagi ya ... oh, sosialnya bagus di sekolah.”

Freya tersenyum mendengar itu. Teringat olehnya bagaimana dirinya bisa menyukai Raka. Dirinya tak pernah memikirkan Raka apakah dirnya populer, kaya, anak organisasi, atau apalah itu, yang terpenting Raka merupakan orang sebagaiman ia pertama kali bertemu. Tak peduli baginya faktor-faktor luar tersebut, ia hanya melihat Raka sebagaimana dasarnya seorang pria.

“Raka, cowok yang pertama kali bikin gue jatuh cinta di sekolah. Dia cowok pertama yang memberanikan diri buat membantu gue, padahal dirinya sendiri juga dalam resiko. Di kala semua orang populer di sekolah ini, cuma Raka yang tahu dan pernah nyebutin nama gue. Dia sempurna bagi gue yang apa adanya,” balas Freya dengan pelan.

“Wow, itu menyentuh banget. Bagaimana kalau Raka ke cewek lain? Lo tahu dia didekati banyak cewek atau cewek ngedekatin dia.”

Freya menggeleng. “Gue enggak peduli karena gue udah biasa. Memang, gue miris juga terhadap diri gue, kenapa gue enggak secantik cewek-cewek itu hingga bisa mengenal Raka lebih dekat. Tapi, itu enggak masalah. Cinta tetap aja cinta meski gue bertepuk sebelah tangan.”

“Jangan merasa rendah begitu. Lo dengar kata ibu gue, kan? Lo cantik, kok. Buktinya, banyak cowok yang muji lo waktu jadi cosplay di sekolah. Tubuh lo bagus, rambut lo panjang, kali aja kulit lo sedikit lebih gelap dari gue, tapi lo manis.” Arion tersenyum padanya sesaat. “Dari semua itu yang paling penting adalah attitude. Lo cewek yang baik, enggak macam-macam.”

Terdiam Freya mendengar pujian itu dari Arion. Benarkah ia memandang dirinya serendah itu? Padahal ada setidaknya satu orang yang berpikir bahwasanya dirinya memiliki kelebihan. Dalam titik ini Freya seketika merasa berdosa dengan diri sendri karena tak terlalu menghargai apa yang telah diberikan oleh Tuhan. Setiap dirinya memandang ke cermin, selalu terselip perasaan tidak puas. Apakah itu tubuhnya yang melebar, kulitnya yang sedikit gelap, atau jerawat yang tumbuh karena masa remaja, padahal ada sisi kelebihan yang tak sampai ia cerna di dalam hatinya.

“Entahlah ... hmmm ... wow, lo muji gue. Terima kasih banget.” Freya memandang ke bawah tanah.

“Kayanya lo benar, gue memandang diri gue rendah.”

“Enggak, Freya. Lo itu enggak rendah, setiap orang itu sama derajatnya. Dunia itu enggak pernah salah memandang lo, terkadang lo sendiri yang salah memandang dunia. Coba ubah sudut pandang lo sedikit.”
Freya tersenyum mendengar itu.

“Dari mana lo bisa bicara kaya gini?”

“Gue baca buku Psikologi. Hahah ... cowok keren seperti itu kan bicaranya?”

“Hey, jangan bilang kaya gitu lagi ... jadi jijik gue. Hahah ....” Freya melipat tangannya di atas meja. “Lalu, bagaimana perasaan lo sama Karin? Dia cewek yang cerewet.”

Telujuk Arion mengarah padanya. “Hmmm ... Karin memang cerewet. Gue suka sama dia karena dia menakjubkan. Punya suara bagus, suka baca komik, lumayan cantik, dan yang paling penting adalah dia wanita.”

“Hahaha ... enggak mungkin juga lo suka sama cowok, kan?”

“Hahah ... iya. Gue cowok yang kurang bisa ngedeketin cewek, kalau enggak cewek itu sendiri yang ngedeketin gue. Jujur, gue bukanlah kaya cowok yang diluar sana, maksudnya bisa ngedeketin cewek dengan nge-chat atau ngajakin jalan. Gue butuh tempat yang bisa ngehubungin gue sama dia, oleh karena itu gue masuk ke club ini.”

“Sepertinya motivasi lo masuk karena ada Karin. Tapi, itu enggak masalah karena lo dibutuhin sebagai penggambar komik di majalan bulanan sekolah.”

“Enggak juga, gue juga ada motivasi buat ngembangin minat gue di komik.” Ia menggeleng. Setelah itu, wajahnya maju untuk menatap Freya lebih jelas lagi. “Freya, bagaimana kalau Raka udah ada yang punya, atau suatu hari nanti dia punya pacar?”

Senyum yang ia ikuti dari alur bibir Arion seketika luntur. Entah bagaimana ia membayangkan hancurnya hati tatkala mendengar berita itu suatu hari ini.

Masih belum gue pikirin, gue masih menikmati cinta gue yang bertepuk sebelah tangan, ucap Freya di dalam hati.

Tepat ia menarik napas untuk mengalihkan pembicaraan menjadi sebuah candaan, matanya beralih kepada tiga orang yang baru datang. Raka, Karin, dan Zeta melambaikan tangan kepada mereka yang sedang berhadap-hadapan.

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang