26. Menghela Napas

52 9 0
                                    

26. Menghela Napas

Ada apa dengan yang tadi? Freya berpikir bahwa Arion benar tidak pandai dalam berkomunikasi. Entahlah, ada yang salah dengan pria itu. Tak abis pikir Arion menganggapnya sedang menguntit, sungguh dugaan yang tidak berdasarkan. Padahal, satu-satunya jalan menuju ke rumah hanyalah jalan yang sedang dilewati. Tidak mungkin dirinya memutar sejauh mungkin untuk menghindari Arion. Meskipun begitu, Freya tetap berpikir positif bahwasanya pantas Arion beranggapan dirinya sedang menguntiti pria itu karena sepeda yang dikayuh lambat sekali, tepat beberapa meter di belakang Arion. Seharusnya bisa saja tadi Freya melewati Arion begitu saja. Tetapi, ia terlalu segan untuk memotong jalan pria itu. Rasanya, lebih baik menunggu Arion naik ke halte dan bertegur sapa sebentar, lalu barulah dirinya melaju untuk pulang.

Sudahlah ... Freya tidak ingin memikirkannya lagi. Barangkali Arion sedang dalam mood yang rendah tadi. Kali ini, ia harus menepati janji yang telah diucapkan kepada Arion untuk mengantarkan sweater dan celananya. Sudah sedemikian bersih dan harum dibuat oleh Freya sebagai tanda terima kasih kepada Arion. Ia berharap bersih dan harumnya tidak hilang selama seminggu karena Arion telah menyelamatkannya dari rasa malu saat itu.

“Mama, Freya ngantarin pakaian temen ke rumahnya, ya ....” Freya menghampiri Mama yang sedang duduk di meja makan.

“Teman yang mana? Malam-malam begini?” tanya Mama.

Freya mengangguk. Sebenarnya, ia sedikit ragu untuk meminta izin pergi di malam hari. Namun, janji tetaplah janji, harus ditepati malam ini.

“Arion ... anak kelas billingual. Dia kemarin minjamin celana dan sweater waktu Freya lagi kegiatan keputrian. Soalnya, baju dan celana Freya basah semua karena kepeleset di kamar mandi.”

Dahi Mama mengernyit karena ragu. Ia tak rela untuk membiarkan anak gadisnya pergi di malam hari tanpa teman.

“Apa enggak bisa besok? Besok kan masih bisa,” balas Mama.

Pliss, Ma ... bolehin, ya? Soalnya udah dari minggu kemarin enggak dibalikin dan dia bilang kembaliin malam ini. Rumah dia deket, kok.”

Mama mengangguk perlahan. Ia mulai curiga dengan anaknya yang meminta izin pergi di malam hari.

“Hmm ... Mama tahu. Kamu punya pacar, kan? Pacar kamu yang Arion itu? Kalian pasti mau pergi jalan.”

“Ih .... Mama ... Freya enggak punya―”

“Kenalin sama Mama, dong.”

Tangan Mama mengelus rambut Freya. Tak terasa Freya sudah beranjak gadis. Padahal, ia rasa baru kemarin dirinya menggendong seorang bayi, lalu menyanyikannya dengan sebuah syair sebelum tidur.

“Mama, Arion itu bukan pacar Freya. Mama jangan berpikiran aneh.”

“Ya sudah .... hati-hati kamu di jalan.” Tangan Mama menggapai tangan Freya untuk ditempelkan di dahi anaknya itu. “Jangan pulang kemalaman, ya.”

Freya tersenyum. “Iya, Mama. Makasih udah ngizinin.”

Seandainya Freya bisa mengendari mobil dan sepeda motor, pasti sudah jauh dirinya berpergian di kota ini. Namun, selama ini ia hanya bisa mengendari sepeda kayuh. Setidaknya, kendaraan sederhana itu sudah cukup mengantarkannya pulang dan pergi sekolah. Terkadang, benda itu juga beperan dalam bakti kepada orang tua, di kala ia diminta untuk membeli sayuran ke warung. Bahkan, sepeda ini lebih bermanfaat daripada mobil yang hanya bisa diam di dalam garasi. Tak ada satu pun orang di rumah yang bisa mengendarainya, kecuali Papa. Papa pun selalu keluar kota sehingga mobil pun jarang keluar dari garasi.

Resiko mereka dengan  kendaraan mobilitas rendah, Freya pun memerlukan waktu menuju ke toko bunga Ibu Kartika. Ia pilih jalan yang sedikit ramai dan terang agar membuang jauh-jauh perasaan takutnya. Jujur, ia jarang sekali keluar malam. Tak ada teman yang mengajaknya keluar malam, kecuali meminta izin untuk buat tugas ke rumah Lani. Selebihnya, ia selalu memilih di kamar dengan fasilitas game konsol yang selalu dibelikan oleh Papa. Freya rasa, ia lebih nyaman bermain di kamar daripada keluyuran dengan teman di malam hari.

Setitik keringat jauh menyucur hingga berakhir pada dahi. Napasnya bergerak cepat ketika melihat warna-warni bunga kertas di hadapan toko bunga itu. Selaras dengan nama pohon bunga kertas, nama toko Ibu Kartika merupakan nama latin dari pohon tersebut, yaitu bougenville. Toko bunga tutup, meskipun masih menyala karena ada yang di dalamnya. Siapa lagi kalau bukan Arion, sang penjaga toko dan kebun bunga milik mamanya sendiri di malam hari.

Berkali-kali Freya menelepon pria itu, tetapi tak ada satu pun yang bisa membuatnya berbicara dengan Arion. Ia ingin Arion segera ke hadapannya untuk mengambil pakaianya kembali. Tidak mungkin rasanya ia menyelonong masuk tanpa minta izin. Ia berusaha memanggil nama Arion dengan keras, tetapi hanya anjing peliharan warga lain yang menyahut. Tak ingin menunggu lama, Freya akhirnya membuka sendiri gerbang toko.

Sembari memanggil nama Arion, ia berjalan ke belakang di mana waktu itu ia masuk. Kebun bunga sebelah kanan tak menunjukkan ada siapa-siapa. Rumah pun terkunci tatkala Freya tarik gagang pintnya. Freya pun menoleh ke kebun belakang, terdapat sebuah bangunan kayu kecil seperti gudang yang menyala. Freya kembali memanggil nama Arion, tetapi tak ada satu pun yang menyahut. Dengan keyakinan Arion sedang ada di dalam sana, Freya pun mencoba berjalan ke bangunan kayu kecil itu.

Jalan setapak kebun tak gelap, ada lampu yang meneranginya. Tetapi, Freya tetap takut apabila ada ular yang melintas nanti. Sungguh tempat ini hampir seperti hutan karena rimbun oleh bunga-bunga berdaun hijau. Dari jendela bangunan itu, terlihat bayang-bayang seseorang yang tengah bergerak di dalamnya.

“Ternyata elo di sana ....”

Pintu bangunan kayu itu tersingkap lehar. Terlihat seseorang tengah berjongkok di hadapan puluhan akuarium kecil. Freya heran tempat apa ini. Namun, lebih terkejut lagi ketika pria itu menoleh ke belakang dengan sebatang rokok di bibirnya.

“Ibu!” Arion menarik langsung rokok di bibirnya dan menyembunyikan di bagian tubuh.

“Ibu? Gue ini Freya .... Lo dipanggil dari tadi malah enggak denger.”

Freya memerengkan wajahnya. Pantas saja Arion tidak mendengar panggilan dari Freya. Telinganya tersumbat oleh earphone yang dipasang untuk mendengarkan lagu.

“Tunggu dulu, lo ngerokok?”

Arion menghela napas panjang, Ia mengira wanita itu merupakan ibunya yang datang tiba-tiba di malam hari. Kembali ia selipkan rokok itu di bibir, lalu berbalik untuk melanjutkan pekerjaannya. “Kenapa emangnya kalau gue ngerokok? Haduhh ... gue kira lo itu Ibu. Hampir copot jantung gue, sumpah!”

Tangannya mengelus dada karena bisa bernapas dengan lega. Sementara wanita itu diam berdiri tanpa rasa bersalah.

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang