67. Dia Ada Di Sini

48 8 0
                                    

67. Dia Ada Di Sini

Mengakui merupakan hal yang bijak. Bagaimana kesalahan harus diakui, bagaimana kekalahan harus dimaklumi, begitu pula cinta yang harus pula dimengerti. Pengakuan itu butuh kejujuran sebagaimana hati yang dasarnya putih, akan terus mengungkap kebenaran. Rasa yang berkelabu itu bukanlah barang mutlak berdiam diri. Ia tetap meronta dari pikiran bawah sadar, mendobrak inti kesadaran untuk keluar. Tatkala semuanya sudah diungkap, biarkan realitas yang mengambil peran. Apakah sesuatu akan berbuah bahagia atau pun sebaliknya.

Berbahagia bukan pula mutlak untuk didapati. Maka, kita semua harus sadar sebuah subtansi di dalam dunia ini, tidak semua hal yang merupakan kemutlakan. Tidakpastian merupakan sebuah kepastian di dalam realitas. Jika cinta sudah diungkap, jangan pernah sesekali untuk menerka ujung karena hal tersebut akan membuat seseorang untuk berdiam diri. Biarkan hukum air berlaku, mengalir seperti adanya. Air bebas bergerak ke ujung jurang atau pun kolam pemandian gadis-gadis berbaik hati. Manusia tidak punya kuasa mengenai hal tersebut.

Freya pun sadar. Sudah ia lewati titik itu, ia berhasil melupakan Raka. Titik rasanya kita berpindah sebagaimana tujuan yang sudah berubah, yaitu untuk menyukai Arion. Ia tidak lagi harus merenggut patah hati akibat dinamika perasaan yang ia lihat dengan matanya sendiri, yaitu Raka tidak pernah memandangnya sebagai kedekatan hati. Ia hanyalah mereka-mereka yang tidak dianggap, diasingkan dari perasaan keintiman, hanya seorang figuran. Lambat rasanya Freya menyadari itu karena perasaannya sudah buta. Padahal, sejak dahulu sudah ia rasakan hingga berkali-kali air mata jatuh menanggung rasa pilu.

Dilema tidak lagi bermain kepada Freya. Bukankah ia sudah memiliki seorang kekasih yang memahami dirinya? Tidak perlu lagi bimbang, ataupun keabu-abuan masa depan. Arion merupakan kepastian itu sendiri. Beruntung bagi dirinya memiliki Arion yang menganggapnya sebagai kekasih yang utuh. Padahal, ia sama sekali belum memiliki rasa dan masih berusaha melupakan Karin. Namun, Freya percaya akan sebuah janji yang pernah mereka ucap. Mereka sama-sama satu tujuan, mencintai satu sama lain.

Ia tatap langit yang penuh doa itu. Awan putih menantinya untuk keluar dengan cemerlang. Beban sudah dilewati dan menunggu beban-beban yang lain. Ujian semester sudah dilewati dengan segala usaha untuk belajar. Cemas tetap ada, mengingat ia sangat memperhatikan nilainya sebagai seorang murid. Tidak ia pungkiri bahwasanya Freya sangat menginginkan mendapat nilai yang terbaik, meskipun ia rasa kemampuannya tidak seperti murid peringkat atas di sekolahnya. Jika menelisik kepada Arion, ia jauh berbeda dari pria yang tanpa belajar semalam pun tetap bisa keluar dengan tersenyum sehabis jadwal ujian.

Entahlah dengan pria itu. Freya rasa ia baru bertemu dengan seseorang yang diam-diam, ternyata menyimpan segala potensi yang bisa digunakan. Bayangkan saja, Arion selalu mengabari diri sedang keluar sendirian tanpa ingin belajar di malam hari. Terkadang, ia bergabung dengan Dinda yang belajar di sebuah cafe, meskipun ia tidak sama sekali memegang buku satu pun, hanya pergi duduk dan merokok. Keesokan harinya, di kala Freya mengeluh mengenai butir soal yang rumit, Arion malah bisa membahasnya kembali dengan cemerlang.

Itu pula yang membuat Freya kagum dengan sikap dinginnya itu. Dari balik diam itu, ia memiliki wawasan luas dan sifat lembut kepada seorang wanita. Ia tidak pernah memikirkan wanita sebagai objek, sebagaimana pria kebanyakan yang memandang wanita dari fisik. Freya yang merasa tidak secantik wanita lainnya, selalu dianggap spesial oleh Arion sendiri. Arion pandai memperlakukan wanita dan memahaminya sekaligus.

Secarik pesan singkat bersemayam di ponsel milik Freya. Ucapan semangat itu bersemat nama Arion di sebelah atasnya. Tanpa simbol emoticon sebuah pun―hanya berakhiran tanda titik yang tegas―Arion memberikan semangat kepada Freya yang akan mengikuti perlombaan. Ia tahu, Arion begitu memperhatikannya dengan caranya yang unik itu. Jika orang yang tidak paham, pasti akan menganggap sebagai ucapan formalitas. Bayangkan saja, Arion tidak pernah memberikan emoticon sekali pun. Alasan itu didukung oleh ponsel Arion yang hanya berupa ponsel kuno. Rasanya, pria itu pun malas merangkai emoticon dengan manual dengan serangkaian tanda baca yang disatukan.

Mobil jemputan datang. Raka tersenyum dibalik kaca mobil. Tidak ada satu pun orang yang ia bawa, Freya rasa rumahnya merupakan tempat pertama yang ia kunjungi. Pria itu keluar, kemudian membukakan pintu untuk Freya.

"Kostumnya sudah dibawa?” tanya Raka. “Hmm ... Karin sama Zeta udah duluan. Rumah mereka terlalu jauh buat gue ngejemput.”

Freya menunjuk pada terasnya. Ada sebuah tas yang mencuat sedikit ujung pedang imitasi sebagai properti nantinya. “Di sana ... semuanya udah siap. Termasuk gue sendiri.”

“Syukurlah ... lo harus siap mental juga. Di sana bakalan banyak sekolah yang menjadi saingan lo. Dan malamnya, langsung diumumin pemenang. Hari ini kita akan membawa piala.”

“Gue menantikan hal tersebut,” balas Freya.

Berangkat mereka menuju ke universitas yang menjadi tempat penyelanggaraan perlombaan. Perlombaan diadakan tepatnya di Fakultas Bahasa dan Seni. Tentu saja event budaya Jepang ini diselenggarakan oleh Jurusan Sastra Jepang. Nuansa budaya Jepang terlihat mulai dari mereka memasuki gerbang universitas di mana banyak spanduk-spanduk, bendera, serta mereka yang berpakaian cosplay berjalan menuju tujuan. Pohonan rindang yang menyejukkan dihiasi oleh lampion-lampion berhuruf sastra Jepang. Mata Freya tertuju kepada satu titik keramaian, di mana musik instrumental Jepang menggema ke seluruh penjuru. Setelah mereka turun dari mobil, barulah mereka bergabung ke keramaian tersebut.

Karin dan Zeta menunggu di tepat di bawa torii, sebuah gerbang kuil yang berwarna merah. Para mahasiswa telah kreatif membangun landmark tersebut dengan kayu sederhana yang dicat sedemikian rupa. Kesederhanaan itu pula yang membawa kental suasana di sini. Freya seakan kembali ke masa kecil, di mana dirinya untuk pertama kali berkunjung ke sebuah festival di Negara Jepang waktu itu.

“Lomba tinggal tiga puluh menit lagi. Pembukaan acara udah digelar tadi,” ucap Karin sembari melihat jam tangan. Lalu, ia memandang kepada Freya. “Sepertinya lo harus siap-siap di-make up sama Zeta. Peralatan make up semuanya ada di mobil gue.”

“Katanya lomba cosplay dan musik akustik diadakan satu waktu, ya?” tanya Raka.

“Gue tanya ke panitia begitu. Lomba cosplay di dalam aula fakultas. Sedangkan akustik ada di panggung utama. Kayanya mereka ngejar waktu biar selesai sore. Kalau satu waktu dan memakai satu panggung, bakalan selesai besok.”

Raka mengehela napas. “Kayanya, kita harus mencar. Satu di dalam gedung, satu di luar. Takutnya, nanti salah satu dari kita dipanggil buat tampil dan kita enggak ada di sana.”

“Iya, terutama buat Karin dan Freya. Mereka harus stay di bawah pentas tampil.” Zeta menyetujuinya.

“Oke, deh ... silahkan percantik Freya semaksimal mungkin.” Raka menunjuk Freya. “Gue enggak mau peserta gue ada sedikit tampilannya yang kurang.”

Zeta tersenyum. “Tenang ... gue ahlinya untuk itu.”

Freya digiring ke dalam mobil Karin. Ia berganti kostum yang sudah dibawa sebelumnya. Terlebih lagi mobil Karin yang terbilang besar dan memiliki kaca yang gelap, Zeta lebih leluasa memperhatikan detail tampilan dari temannya tersebut. Tangannya yang gemulai itu mulai merias wajah Freya semaksimal mungkin. Ia tidak ingin ada satu pun hal yang tertinggal, hingga membuat tampilan Freya menjadi tidak maksimal. Namun, bagi Freya ia tidak ragu dengan kemampuan dari Zeta. Wanita yang lebih pendiam dari dirinya itu sudah terbiasa memegang alat make up.

Zeta menggela napas. Ia berikan sentuhan terakhir dengan parfum milik Karin. “Dengan ini, bahkan panitia bakalan jatuh cinta dengan lo.”

“Apa gue secantik itu?” tanya Freya penasaran.

Tangan Zeta menggerakkan cermin di hadapan wajah Freya. Sungguh, sentuhan tangan dari Zeta menciptakan tampilan Freya yang begitu berbeda dari sebelumnya. Berseri-seri Freya melihat dirinya yang begitu memesona, menarik perhatian dirinya untuk menyentuh wajah segera.

“Sudah gue bilang, lo itu cantik. Kulit lo eksotis, tidak seperti Karin yang putih pucat. Wajah lo terawat dan tubuh lo terbilang bagus.”

“Hmm ... terkadang gue enggak pernah memikirkan hal itu.”

Zeta tersenyum. “Kita wanita enggak pernah merasa puas, selalu ada yang kurang. Lihatlah Karin, sudah berapa banyak ia membeli benda-benda perawatan yang mahal, tetapi tetap aja ada yang kurang baginya. Gue pun begitu, walaupun enggak separah dia. Itu semua biasa karena kita wanita.”

“Andai aja Arion di sini. Dia pasti bakalan senang.”

“Hey, ada apa itu? Lo rindu sama Arion?” tanya Zeta.

“Bukan apa-apa, kok. Maksud gue, andai aja kita semua di sini lengkap. Pasti bakalan seru.”

“Arion ... entahlah, sulit ditebak. Gue yang sekelas sama dia dua tahun ini enggak terlalu paham dengan dia.”

Freya sentuh tangan Zeta. “Terima kasih atas riasannya.”

Tanpa diduga, Zeta memeluk Freya dengan lembut. “Gue berharap lo menang. Bawalah piala kedua untuk kita.”

“Gue pasti bakalan ngebawa itu,” pungkas Freya dengan penuh harapan.

Tiga puluh menit menjelang perlombaan merupakan bukanlah waktu yang panjang. Freya Dibawa oleh Raka menuju tenda tertutup yang merupakan tempat kontestan menunggu. Tenda besar ini terdapat sekat di bagian tepinya, sehingga para kontestan bisa bersiap diri seperti memperbaiki kostum atau pun merias diri. Karena Freya sudah siap dari awal, ia dan Raka hanya duduk di jejeran kursi. Di sanalah mereka melihat cosplayer lain dengan beragam kostum, menunggu nama mereka dipanggil satu per satu. Freya masuk ke dalam kategori cosplay wanita, sehingga matanya tertuju pada setiap wanita yang berkostum itu. Terlihat cantik dan menarik, tetapi ia berusaha mungkin untuk tidak membandingkan dengan diri sendiri.

Perlombaan pun dimulai. Satu per satu peserta dipanggil ke panggung untuk memperlihatkan kebolehannya menirukan karakter tertentu. Semakin banyak peserta yang maju, semakin berdebar-debar detak jantung Freya karena selalu mengira namanyalah yang ada di selanjutnya. Setiap kali nama yang dipanggil bukan miliknya, maka berhela napas panjang wanita itu. Ternyata tidak hanya Freya yang merasakan hal tersebut. Raka pun mengakui jika dirinya merasakan hal yang sama.
Panas memuncak di siang hari ini. Raka berinisiatif menghidupkan kisap portable milik Karin dan ia arahkan kepada Freya agar tidak berkeringat . Meskipun dia sendiri kepanasan, Raka tetap tidak ingin Freya turut merasakannya. Perlakuan Raka tersebut membuat Freya.

“Lo apa enggak risih di sini?” tanya Freya pada Raka yang bersedia hati membagi kipas hanya untuknya.

“Lebih baik lo melihat Karin tampil, atau ngelihat gue dari luar sana.”

“Karin enggak perlu dikawani pun ia sudah terbiasa dengan mental kompetisi. Sedangkan lo, lo masih baru dan butuh pendamping mental di sini.” Ia mengarahkan kipas itu sejenak ke kepalanya. “Salah satunya ini, lo enggak capek-capek megang kipas gara-gara gue. Enak banget, kan?”

“Iya, deh ... terima kasih banyak.”

Seketika mereka saling memandang dalam detik yang singkat. Nama Freya dipanggil di atas panggung. Gilirannya sudah menanti untuk mendapatkan sebuah prestasi. Asa yang berpanggil di hati Freya berteriak untuk terus bergerak. Tanpa berpetik sedikit pun, Freya berdiri melangkah menuju tangga, diikuti oleh Raka di belakangnya. Namun, sebelum Freya menginjak tangga, Raka menahan tangannya.

“Ingat ... lo yang terbaik,” ucap Raka dengan penuh harap.

Senyum Freya melingkar. Mengangguk Freya kepada pria itu. Ia hela napasnya dengan panjang, tangannya mengepal karena semangat. Bersemaraklah tepuk tangan penonton di bawah sana ketika pembawa acara kembali meneriakkan nama Freya. Freya membuka mata, seluruh pasang mata tengah tertuju kepada dirinya. Ia teriakkan di dalam dirinya sebagaimana ucapan Raka tadi, lo yang terbaik!

Dari puluhan orang yang melihatnya dari sana, tertuju satu titik pandangan Freya hingga ia tak bisa mengalihkan mata. Riuh suasana seakan meredup dalam satu waktu. Di sana ada tenangnya wajah Adit yang memandang dari kejauhan sembari melipat tangan. Di sampingnya berdiri teduh sorot mata yang dingin itu, berjarak belasan meter darinya, masih terasa aura dingin yang merasuk ke dalam pandangnya. Tak ubah layaknya sejuk senandung angin di bawah pohon rindang, Arion melambai sembari tersenyum dari sana.

Arion ada di sini ....

Freya melambaikan tangan di atas panggung, ditafsirkan bahwasanya ia sedang melakukannya untuk para penonton. Namun, hanya satu tujuannya kali ini, yaitu pria di antara puluhan pria yang sedang menatapnya. Arion telah datang untuk melihatnya bertampil.

***


Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang