7. Meminjam Sepeda

144 13 0
                                    

7. Meminjam Sepeda


Jika semua ini hanya sementara, tidak mungkin bagi Freya tetap mempertahankan cinta yang ia pendam. Pendaman rasa yang kadang membuatnya menyadari realita, tak urung mematahkan semangat Freya untuk berusaha bisa ditatap olehnya. Semakin hari semakin tumbuh melalui riak wajah Raka yang selalu menunjuk senyum. Bak kata anak gunung yang tumbuh perlahan, begitulah rasa yang terpupuk di dalam hatinya, tak berhenti mencapai pada puncak yang abu-abu. Tatap mata dalam kerjapan menyiratkan selama ini ia tidak pernah pergi sedetik pun. Akan terus terukir dalam ingatan Freya. Menyambut hari-harinya yang datar dalam seling warna cinta.

Mungkinkah akan berakhir? Freya selalu dihantui oleh pertanyaan itu. Bagaikan menerkam ketakutannya yang sembunyi. Ia tidak ingin rasa ini berakhir. Walaupun suatu saat akan ada ia lontarkan kalimat yang menyatakan bahwa Freya sangat mencintainya. Tersudut di alun-alun realita yang tidak akan pernah Freya sangka, bahwa Raka akan menolak pernyataannya itu. Belum ada sama sekali dalam hidup Freya di mana penolakan seorang pria bersemat padanya. Mungkin hari esok, mungkin lusa, atau suatu hari yang tak akan bisa ia kira. Sementara itu dengan seluruh perasaan yang Freya pendam, ada sekelimut kecilnya hati yang mempersiapkan penolakan itu. Ada realita yang harus diterima dengan hati ikhlas.

Mata Freya ke arah bayang-bayang pria yang tengah menghampiri. Pria tinggi berambut lurus setelinga itu mengulum senyum padanya. Satu hal yang membuat Freya meremukkan roknya menggunakan tangan untuk meredam seberapa gugup dirinya tatkala Raka melakukan itu.

Telunjuk Raka menurunkan komik yang tengah menutupi wajah Freya.

“Lagi sibuk?” tanya Raka.

“Enggak, kok. Gue ….” Freya menutup komik yang sedang ia baca. “Gue enggak sibuk.”

“Kalau nanti sepulang sekolah, juga sibuk?” tanya Raka lagi.

Seingat Freya, ia tidak pernah merasakan sibuk sepulang sekolah. Selalu mengayuh sepeda ke rumah tanpa ada satu pun teman yang ingin mengajaknya menongkrong, seperti murid-murid pada umumnya. Hanya satu tujuan, kalau tidak pekerjaan rumah, setidaknya ia bisa berbaring dengan mesra di atas ranjang.

“Enggak, gue biasanya langsung pulang.”

“Ikut gue, ya?”

Napas Freya terhenti sesaat. Ajakannya seperti mengajaknya untuk mati. Wajah Raka mendekat, Freya menahan matanya untuk tidak tertutup karena gugup.

“Ke mana?” tanya Freya.

“Kita beli pakaian yang bakal lo gunakan untuk fashion show.”

“Oh, ya? di mana?” Freya tidak tahu apakah ada toko yang menjual semacam itu.

“Ikut aja … gue ini tahu segala tempat.” Raka tersenyum. “Tunggu di parkiran mobil, ya … Gue minjam mobil Karin.”

Karin???

Freya tidak tahu menahu hubungan pria itu dengan Karin. Mereka terlihat begitu dekat dan acap kali membuat Freya cemburu akan hal itu. Ia sering berkeinginan untuk menghindar tatkala di dalam suasana kehangatan antara Raka dan Karin. Seakan begitu spesial dan tidak ada batas, walaupun mereka sering berdebat satu sama lain.

“Karin emangnya ke mana?” Freya mencoba menguak fakta.

“Oh dia … hmm … katanya dia sakit. Gue pagi ke rumah dia buat ngejemput Karin. Tiba-tiba gue kepikiran buat membeli keperluan lomba. Jadi, gue pinjam mobil Karin.”

“Oh gitu ya,” balas Freya dengan nada rendah. “Oke deh … nanti gue tunggu di sana.”

“Baiklah.”

Raka tersenyum lalu pergi bersama teman-temannya yang sudah menunggu di ujung pintu.

Di dalam hati Freya masih bertanya-tanya, apakah mereka mempunyai hubungan yang spesial? Ia bukan tidak menyukai, Raka bebas memilih wanita yang mana saja. Siapa benar Freya bisa melarang Raka dekat dengan siapa saja, barangkali Freya hanya mengenal Raka dari luar, tak pernah mendalam. Lebih lagi Freya berpendapat dirinya masih kalah jauh menariknya dari semua wanita yang dekat dengan Raka. Asumsi itu menghentak perasaannya yang masih mengagumi pria itu, walaupun tak pernah ia sampaikan untuk tetap menatap dari jauh.

Di tengah lamunan tunggu yang Freya laksanakan, terselipkan sebuah pemandangan menarik diujung sorot matanya. Arion tiba-tiba mendekat, tetap dengan wajah datar khas pria itu. Berselimutkan teduh wajahnya yang menatap, tidak terelakkan bagi Freya untuk menghadapinya. Padahal, ia yakin jika banyak orang yang akan melihat. Terutama, Vioni yang sangat tidak menyukainya. Yang membuat Freya tertarik ialah pria itu tersenyum kembali.

Berapa kali anak ini tersenyum sehari?

Jika Freya boleh memastikan, anak itu hanya tersenyum dua kali hari ini. Satu di kantin tadi, dan kali ini yang kedua.

“Sepeda lo mana?” tanya Arion tiba-tiba.

Freya mengetuk kakinya di tanah. Ia gugup dilihati oleh orang-orang. “Gue bakalan pergi. Sepeda gue mungkin tinggal di sini.”

“Oh, ya? Pergi ke mana?”

“Itu hmm … sama Raka ada keperluan barang-barang club yang harus dibeli,” balas Freya.

Pria itu mengangguk, lalu menepi karena ada kendaraan yang lewat. Jarak mereka hanya seangin, terlalu dekat untuk mereka yang baru saling mengenal.

“Oh, begitu …. Gue pergi dulu.” Arion menarik tali tasnya. Namun, ia berhenti ketika beru beberapa langkah. “Bagaimana gue pinjam sepeda lo?”

Freya dibuat menoleh. “Lo mau pulang dengan sepeda gue?”

“Ya begitulah … sekarang udah setengah enam sore. Sebentar lagi, gerbang bakalan tutup.”

“Aduh, bagaimana ya … besoknya gue pulang pakai apa, dong?” tanya Freya.

“Gue tunggu di depan simpang komplek rumah lo.”

Bagaimana dia bisa tahu gerbang komplek gue?

Wajah Freya memandang aneh berkat hal itu. Selama ini, tidak banyak yang tahu di mana rumanya. Jika mereka tahu, itu sudah pasti Lani dan beberapa teman kelas yang rumahnay berdekatan.

“Emang lo tahu?” tanya Freya.

Arion menaikkan alis tebalnya. “Bus gue selalu transit di halte gerbang komplek lo. Jadi, lumayan sering ngelihat lo terburu-buru ke sekolah.”

“Janji, ya?”

“Gue janji ….”

Tangan Freya memberikan kunci gembok sepedanya kepada Arion. Tidak ada terima kasih dari bibirnya, ia melongo pergi tanpa basa-basi. Kadang, anak itu tidak pandai untuk berkomunikasi. Terkadang percakapan langsung menuju inti sari, tak pernah berbasa-basi. Namun, selalu dirinya yang mengajak bicara Freya. Begitu pula tatkala Arion melintas, pria itu hanya mengangguk kepada dirinya. Hingga ia menghilang dari peredaran, tidak ada ucapan terima kasih yang terucap.

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang