42. Kesal

44 8 0
                                    

42. Kesal

Pertanyaan itu menghantam batinnya untuk menjawab begitu jujur. Bukanlah Arion yang ingin ia jadikan sebagai pendamping,  melainkan pria yang sedang menggaduh pandangannya dengan segala tatapan berkarisma.

“Enggak ... bagaimana lo bisa nyimpulin kalau kami pacaran?!”

“Hmm ... kalian pulang bareng, sering bertemu, sepedaan berdua, dan kelihatan akrab.”

Andai saja Raka tahu bahwasanya Freya menyukai dirinya, sudah pasti Raka tidak akan melibatkan pertanyaan itu. Namu, rasanya mustahil bagi Freya membagi cerita perasaannya itu sekarang. Bahkan, Freya belum terlintas berpikir untuk melakukan hal itu. Cukuplah perasaan ini berdiri sebagaimana awalnya dan sebagaimana pantasnya.

“Memang, kami sering barengan. Dia selalu ngikutin gue dan gue seneng diikutin dia. Arion juga orang yang baik sebagai teman, meskipun orang menganggapnya pendiam banget,” balas Freya.

“Lo seneng diikutin sama dia? Berarti lo suka dia, dong?”

“Raka ... gue enggak suka sama dia. Berhenti beranggapan kalau gue suka sama dia, oke?”

Raka mengangguk paham sembari membersihkan ujung bibirnya menggunakan selembar serbet kantin. Ia sudah selesai dengan makanan di mangkuk, sementara Freya masih belum. Sendoknya terlalu kecil untuk menghabiskan makanan sebagaimana Raka lakukan.

“Kalau kalian beneran pacaran, gue enggak ngelarang juga, kok.”

Ia memerengkan wajah. “Ngapain juga lo ngelarang gue?”

“Eh, maksud gue gini ... sebagai ketua club, gue enggak ngurusin masalah privasi seseorang. Arion paling sensitif jika ada yang mencela atau menganggu privasinya.”

Mengenai hal privasi, Freya mengingat satu hal dari Arion. Masih segar diingatan ketika Arion mengambil sebatang rokok di atap sekolah sebelum Freya memeluknya sebagai tanda terima kasih. Ia pernah mengatakan bahwasanya ia tidak suka jika hal privasinya diganggu oleh orang lain. Entah wajahnya selalu serius, atau saat itu ia benar-benar serius, kalimat itu terdengar tegas untuk memberitahukannya kepada Freya.

“Hmm ... sepertinya betul. Gue masih belum tahu banyak tentang Arion. Tapi, Arion sebetulnya mudah diajak bicara, cuma mungkin dengan orang-orang tertentu aja.”

“Hmm ... orang tertentu itu termasuk lo sendiri? Menarik ...,” pancing Raka.

Freya menepuk tangan Raka yang tertelungkup di atas meja. “Hey, udah gue bilang kan gue enggak ada apa-apa sama dia.”

“Baiklah ....” Wajah Raka turun sembari menghela napas panjang. “Sebenarnya gue pengen cerita sama lo terkait tentang club. Mungkin, gue cuma baru bisa sama lo aja. Gue belum siap cerita sama yang lain. Entahlah, mungkin juga salah gue .....”

Turun pandangan Raka yang lemah itu. Titik terendah Raka yang pernah ia lihat selama ini terletak di hadapan Freya sendiri. Terlalu berat ia menanggu beban club demi eksistensi dan kenyamanan diri kami sendiri. Raka sebenarnya tidak terlalu memiliki partner yang cukup kuat untuk mendampinginya, oleh karena itu ia memasang punggung sendiri untuk membentengi mereka semua agar bisa terus bertahan.

Tidak tahu kekuatan apa yang menggerakkan tangan Freya hingga menyentuh telungkup tangan Raka yang dingin. Berharap tangan kecilnya itu bisa memberikan secercah semangat, meskipun masih belum berarti apa-apa, kecuali sebagai teman biasa. Berkat saran dari Freya, Raka pun bersedia untuk membertahukan semuanya kepada anggota club. Sehabis bel berbunyi, mereka diminta untuk berkumpul di ruangan club. Terduduk lemah Raka di kursi kerjanya itu di hadapan para anggota yang selalu ia banggakan. Selembar surat bergesek di atas meja. Masih belum diceritakan hal tersebut, Raka membiarkan Karin untuk membacakannya kepada yang lain. Belum sempat Karin berucap, ia menutup mulutnya tanda tidak percaya.

“Kita harus pindah ke kamar mandi perempuan lama yang ada di gedung ini. Di sana kan udah lama dijadiin gudang dan kita diminta untuk bersiap-siap pindah selama dua hari ini.”

“Kenapa kita pindah ke sana?! Lo tahu itu kan bekas kamar mandi?!” tegas Karin kepadanya.

Raka sudah menebak perbedatan ini pasti akan terjadi, terutama dari mulut Karin yang keras kepala itu.

“Ini bukan pertama kali sekre ada di bekas kamar mandi. Sebelum jadi gudang, anak basket juga pernah makai ruangan itu sebelum pindah ke gedung yang baru. Lubang closet-nya udah dicabut dan disemen. Hanya saja, lantainya masih lantai lama. Kita bisa ngebersihinnya sampai kinclong.”

“Bukan masalah kita bisa ngebersihinnya atau enggak, tapi kenapa kita harus pindah ke sana? Padahal, ruangan ini udah kita pakai semenjak awal rencana bikin club!”

Raka pandang setiap wajah anggota club-nya itu, mengandung ekspresi kekecewaan. Ia sudah mempersiapkan batin untuk menerima perasaaan itu, salah satunya semenjak saran dari Freya untuk mengatakan semuanya dengan sebaik-baiknya perkataan.

“Maaf, kali aja ada di kesalahan gue yang lambat untuk nyari minimal anggota. Anak Cheers ternyata mendapatkan hak untuk ruangan ini karena mereka udah minta sejak lama, hanya aja gue terlalu kuat buat ngerebutnya. Karena kita terlalu lama ngumpulin anggota dan anggota kita dikit banget, bahkan hanya jumlah minimal, Kepala Sekolah memilih anak cheers ngejadiin ruangan ini sebagai tempat mereka. Selama ini, anak cheers hanya berkumpul di ruangan seni, barang-barang mereka bahkan ada di sana.”

“Gue enggak bisa nerima ini, gue harus bicara sama Kepala Sekolah! Mentang-mentang mereka selalu diagungkan sekolah, kita bisa digeser gitu aja―” Kalimat Karin dipotong oleh Raka sendiri.

“Enggak, lo enggak bakalan berhasil. Gue udah ngelakuin hal itu lebih dahulu dan bahkan dikeluarkan paksa dari ruangannya. Jangan memperkeruh suasana.”

Arion terlihat menggeser tubuh Freya yang menghalanginya. “Rak, lo bilang anak cheers, kan? Siapa yang mengurusi hal itu?”

“Setiap urusan seperti ini pasti diurusi oleh ketua,” balas Raka.

“Siapa ketuanya?!” tanya Arion.

“Orang lama, lo pasti kenal.”

Tak ada jawaban dari Arion. Ia langsung berbalik diri dan mengambil tas untuk disandang. Freya memanggilnya untuk bertanya ingin pergi ke mana, tetapi Arion tetap diam sebagaimana sifat aslinya itu. Larangan Raka untuk tak mengerjar Arion diindahkan oleh Freya, padahal Freya sudah sampai di ujung pintu.

Tidak ada tempat lain bagi Arion untuk bertuju, kecuali seseorang yang ingin mencari gara-gara dengannya. Ia sudah tahu persis jawaban dari wanita itu untuk menyerang Freya. Kecemburuannya terhadap Freya sudah membuatnya gila, bahkan menyerebet kepada anggota lain.

Pasti ini ulah lo, Vioni! Arion menggenggam tangannya dengan kuat.

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang