43. Lo suka Karin?

52 8 0
                                    

43. Lo suka Karin?

Ada satu titik di mana seseorang tidak harus melawan, melainkan cara terbaik adalah menghindar. Idealisme Raka yang selalu memperjuangkan hak-hak temannya tersendat, ia harus merelakan tempat itu dan pindah ke tempat yang sebetulnya tidak cukup layak. Raka tahu tempat itu terbengkalai dengan serangga kotor dan atap menghitam. Namun, ia sudah di titik akhir usaha. Cukup perdebatan hingga Kepala Sekolah sampai meninggikan kepadanya. Mungkin, sudah sampai di puncak kemuakan bagi Kepala Sekolah karena harus menuruti perlawanannya tersebut. Ia berharap teman di club, menyadari hal tersebut.

Berbeda dengan Arion, ia sebenarnya tidak peduli apakah club itu memiliki tempat atau tidak. Namun, ia tahu semua ini ada dalangnya. Ia membenci ketika masalah pribadi berdampak luas kepada seluruh orang. Baginya, itu mengangguk hak privasinya sebagai manusia. Seharusnya, wanita itu tidak mencampuri urusan dengki hatinya. Cukup di luar dan tidak menganggui orang yang tidak berurusan. Oleh karena itu, kemuakannya dengan Raka yang berbicara dan keinginannya untuk bertemu dengan Vioni, membuat Arion meninggalkan ruangan.

Benar saja, wanita itu tertawa sombong ketika Arion tiba di hadapannya.

“Itu karena dia udah berani berurusan dengan gue,” balas Vioni dengan santai. “Lagian, kami udah minta ruangan itu sejak lama. Hanya saja, Raka menghalangi kami ke sana. Dasar club baru yang enggak tahu diri.”

“Lo kira dengan begini gue bakalan suka sama lo?” Arion menggeleng. “Ingat satu hal, lo bukanlah tipe gue. Jadi, berhentilah menyukai gue karena itu menganggu.”

“Lo suka sama dia, kan? Karena itu lo melindungi cewek jelek kaya dia! Lo sampah, Arion!” Vioni berdiri dari meja kantin. Sementara itu, teman-temannya yang lain hanya kaku terduduk melihat mereka berdua berdebat.

“Lo enggak perlu tahu siapa yang gue suka, itu bukan urusan lo. Jangan pernah berharap dengan gue, ingat itu! Satu hal lagi, jangan pernah menyentuh Freya. Sekali lo nyentuh Freya lagi, gue enggak peduli dengan seluruh anak basket yang selalu ngelindungi lo itu.”

“Iya! Gue enggak bakalan berharap sama lo lagi! Lo bakalan nyesal, Arion,” balas Vioni dengan tegas.

“Untuk apa gue menyesali hal yang enggak gue inginkan? Berhentilah berimajinasi seolah-oleh gue mau sama lo.” Arion berbalik melangkah pergi dari mereka.

Sudah cukup senja kali ini membuat jantungnya terbakar emosi. Sudah sedari dulu dirinya ingin menghindar dari wanita itu. Mengganggu sekali disukai oleh orang populer seperti dirinya. Ia sulit memiliki hal privasi yang bisa dinikmati sendiri. Setiap hal yang ia lakukan, wanita itu selalu ingin tahu. Arion benci setiap bunyi klakson mobil yang bergemuruh di depan rumah untuk menjemput dirinya, padahal Arion lebih suka berjalan kaki dan menikmati romantisme bus kota yang berisik itu. Hal mendasar dari semuanya ialah Vioni hanya menilai dirinya dari fisik, tidak pernah sebagai diri individu sebagai manusia.

Jelas sudah semuanya, mereka harus bersiap-siap untuk pindah. Seminggu ini digunakan untuk membersihkan bekas WC perempuan itu. Riuh isi hati Freya tatkala melihat anak cheers memindahkan barang-barang mereka ke sana. Padahal, setiap pagi Freya selalu membersihkan ruangan itu dengan penuh kerelaan hati. Kini, mereka sudahi cerita mengenai ruangan lama. Mereka harus memindahkan barang-barang mereka, termasuk lemari besar yang merupakan miliki keluarga Karin. Freya rasa, itulah barang termahal yang mereka memiliki. Namun, barang yang paling berharga ialah piala juara tiga ketika dirinya mendapatkan peringkat pada event cosplay di kala itu. Freya patut berbangga hati ketika mengangkatnya di hadapan anak cheers yang berkumpul di ruangan.
Beruntung Freya memiliki teman-teman yang rajin, terutama dua orang pria yang pandai. Setelah seluruh perabotan rusak dan telah rusah kini dipindahkan ke gudang belakang sekolah. Sekat-sekat antara bilik closet dibuka satu per satu hingga ruangan ini semakin lapang.

Beruntung pula pindah ke sini karena mereka mendapatkan satu kamar mandi yang masih bisa digunakan. Hanya saja, ruangan ini memiliki aura dingin karena bekas WC dan sudah lama sekali tidak digunakan. Dindingnya sudah bernoda cokelat dan berlumut. Langit-langit ruangan sudah ada yang bolong dan menghitam. Kotoran kalelawar dan tikus banyak berserakan di lantai. Itu semua merupakan hal yang harus mereka bereskan.

Rasanya, akan lebih dari dua hari membersih semua ini. Hari sabtu dan Minggu yang libur digunakan untuk bersih-bersih. Ide dari Raka disambut baik oleh teman-temannya, terutama Freya yang begitu bersemangat

“Nanti roll-nya dicelupin pada cat dan tempelkan ke dinding seperti ini. Gerakin aja ke atas dan ke bawah sampai seluruh bagian dinding kena cat dengan rata.” Arion memberikan tutorial bagaimana mengecat dinding dengan baik kepada Freya. Ia senang Freya paham dengan cepat. “Setelah dicelupin, tunggu catnya turun dari roll biar catnya enggak bertumpuk di dinding. Satu lagi, hati-hati biar enggak kena baju. Jangan nempel juga lantai karena bakalan susah ngehapusnya.”

“Baik, Boss!” Freya memberi hormat kepadanya. “Gue rasa ini hal yang mudah.”

Arion mengangguk. Segera ia kembali dengan kegiatan pertukangan bersama Raka yang sudah ada di atas langit-langit, duduk di pembatas dinding dengan tangan memegang minuman bersoda. Langit-langit sudah dibuka semuanya, oleh karena itu mereka harus memasangnya dengan triplek baru. Sementara itu, yang lain sedang sibuk di bawah mengecat, kecuali Karin yang bermain gitar. Wanita itu memang pembersih, tangannya enggan kotor selayaknya Freya dan Zeta. Namun, seluruh dana untuk renovasi dan pembelian perabotan baru merupakan dari dana Karin.

“Hey, jangan ngerokok di sini!” Raka menatap ke Arion yang menghisap rokok di loteng.  Tangannya berpegang sebuah palu untuk memasang paku pada triplek.

“Jangan ajari gue, urusi aja pekerjaan lo. Asapnya enggak bakalan ke bawah karena asap itu naik ke atas.”

“Hmm ... lo ini memang enggak suka dibilangin, ya.” Raka kembai melanjutkan pekerjaannya. Hentak suara benturan palu dan paku mendominasi di ruangan ini. “Lo apain Vioni?”

“Cuma dibilangin jangan sampai ngeganggu gue dan club ini. Lo tahu sebenarnya itu gara-gara dia?”

Raka mengangguk. “Benar ... karena dia ketua cheers dan mereka terlalu rakus untuk tempat berkumpul. Padahal, tempat mereka ada di aula seni. Kali aja karena anggota mereka banyak, jadi harus ada ruangan khusus gitu.”

“Dia memang menyebalkan, selalu suka dengan siapa saja yang dianggapnya menarik. Setelah itu, dia mencari pria yang lebih menarik lagi. Cewek tipe apa itu!”

“Hahaha ... sebenarnya bukan karena itu, kan? Dia benci sama Freya karena Freya dekat sama lo.”

Kalimat itu membuat Arion berhenti dari pekerjaanya. Ia cabut rokok dari bibirnya itu. “Jangan bicara tentang sesuatu yang enggak lo tahu dengan baik.”

“Lo suka sama dia?” tanya Raka.

“Apa lo suka Karin?” tanya balik Arion.

Tidak ada jawaban dari masing-masing pertanyaan tersebut. Mereka diam satu sama lain dengan tatapan lurus yang tegas. Ada satu hal yang mereka simpulan dari sorot itu, bahwasanya masing-masing dari mereka saling menyimpan rasa ingin tahu. Namun, Arion dan Raka melepas pertegangan sementara itu ketika sebuah botol melayang ke atas.

“Woi, anak bandel ... jangan ngerokok di sini!” Karin bertegak pinggang.
Menyadari hal tersebut, Freya pun menatap ke atas. Dia mengikuti aksi Karin yang melempar Arion. “Udah gue bilang kan jangan ngerokok di sekolah!”

Raka tertawa mendengar itu. Ia tatap Arion kemudian. “Perempuan selalu memegang aturan.”

Kalah suara, jemari Arion mematikan ujung tembakaunya dengan berat hati.

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang