39. Derai Tangis

61 8 0
                                    

39. Derai Tangis

Ada banyak hal yang biasa dipertanyakan di dunia ini, termasuk cinta. Bagaimana cinta begitu memengaruhi pikiran orang lain, seakan tidak ada keluh rasa yang ingin dilontarkan kecuali cinta itu sendiri. Rasa cinta pada dasarnya bukan sesuatu yang bisa dipendam karena ia akan selalu hidup dan tersampaikan dengan segala tingkah laku yang sengaja atau tidak sengaja. Bisa jadi ucapan kecil yang berbisik pada sendiri untuk mengatakan bahwasanya diri mencintai orang itu. Api dalam sekam memang gelap ketika dipandang dari luar, tapi percayalah baranya begitu kuat menghantam ingin keluar.

Satu hal lagi yang sering ditanyakan kepada diri sendiri, kenapa cinta harus diutarakan? Mengapa cinta pantang sekali dipendam seperti kata-kata orang bijak di dunia ini. Memang, cinta tetaplah harus diucapkan, tetapi kenapa hal itu bisa menjadi keharusan. Padahal, setiap orang di atas dunia ini memiliki kebebasan untuk memilih apakah cinta itu merupakan hal yang bisa diutarakan atau tidak. Bisa jadi pengakuan hanya menjatuhkan kepada seseorang ke dalam palung patah hati, bergemeretakkan tangis di ujung malam yang sunyi, hingga kosongnya pikiran berkat kepergian hati itu sendiri. Bisa jadi penahanan ucapan rasa itu merupakan hal yang terbaik untuk saat itu, demi keberlangsungan hubungan satu sama lain.

Setidaknya itu yang dirasakan oleh Freya saat ini. Ia belum memiliki alasan moral yang kuat untuk mengucapkan perasaannya pada Raka. Ia memang mencintai pria itu, tetapi untuk apa ia mengucapkannya, itu yang harus Freya cari tahu. Jika mencintai harus memiliki, lalu bagaimana orang-orang yang menjalin hubungan tanpa rasa cinta. Baginya, cinta tak harus memiliki karena jika cinta, cintai sajalah tanpa ada hambatan apa pun. Hati merupakan milik diri sendiri, bukan milik pria itu, bukan miliki orang lain.

Mungkin saja berpacaran bisa dimaklumi sebagai alasan yang kuat. Namun, Freya tak mengerti soal pacar-pacaran seperti teman seangkatannya yang cantik-cantik itu. Lagi pula, Freya ragu Raka ingin berpacaran dengan wanita sepertinya. Setidaknya, Raka pasti memilih wanita yang sejenis dengan Vioni atau Karin yang dikenal banyak orang dan mempunyai selera gaya yang tinggi. Lihatlah, dirinya hanya bersepeda gunung ke sekolah. Pulang sekolah tak ke cafe atau tongkrongan, melainkan ke kamar untuk bermain game konsol. Mungkin saja terlalu kekanak-kanakan bagi orang lain, tetapi itu pula yang bisa dilakukan oleh Freya setiap hari.

Freya berpisah di Lani tepat di kantin ketika istirahat pertama hampir berakhir. Ia segera keluar dari kantin yang ribut itu untuk pergi ke WC sebentar, sementara Lani lebih dulu kembali ke kelas. WC terletak di bagian belakang sekolah, terkadang letih berjalan ke belakang itu karena sekolah yang luas ini. Belum lagi menghindari para lelaki yang selalu menongkrong di depan kelas yang sering menyapanya dengan centil semenjak ia tampil sebagai cosplayer pada saat itu. Terpaksa Freya memutar ke belakang bangunan kelas agar tidak melintasi daerah kekuasaan mereka.

WC tampak di ujung pandangannya. Namun, langkahnya berhenti tatkala hampir melewati batas garis koridor labor komputer. Suara seorang perempuan yang melantun lemah membuat telinga Freya bergerak mengikuti arah suara itu. Ia ayunkan langkah sekali dan menoleh ke kanan, tepat di tepi dinding luar labor komputer. Terdapat seorang pria berdiri tegap di hadapan seorang wanita. Wanita itu menunduk sembari memberikan cokelat dan kertas lipat origami. Freya tidak mampu mengenali pria itu karena dalam posisi membelakangi. Namun, tatkala ia melihat ke sepatunya, jelas sekali merek dan bekas noda terjatuh dari bermain basket waktu itu. Freya tidak mungkin lupa bekas lecet pada sepatunya. Pria itu adalah Raka.

“Raka, gue suka sama lo sejak dulu. Gue udah enggak bisa nahan perasaan gue sama lo,” ucap wanita itu.

Freya tertegun mendengar wanita itu mengemis cinta kepada Raka yang diam seribu bahasa. Tak bisa dipungkiri gadis itu merupakan senior mereka di kelas dua belas, terlihat sekali dari gaya berpakaiannya yang sedikit lebih bebas dari angkatannya. Bahkan, rambutnya tergerai bebas dengan sedikit warna yang diberikan, lalu seragam yang dipotong pas-pas dengan tubuh. Padahal, mereka dilarang untuk melakukan itu.

Tangan Raka akhirnya mengambil cokelat dan kertas origami itu. “Lalu, Kakak mau apa?”

“Berhenti manggil gue dengan sebutan 'Kakak'. Coba sekali aja coba lo manggil gue dengan nama gue sendiri,” balas gadis itu.

“Baiklah,  Sherly ... lalu, dengan cokelat dan kertas ini, lo mau apa?” tanya Raka dengan tenang.

“Kita udah ngelakuin semuanya buat lo. Kita jalan bareng, kita makan bareng, dan bahkan ... lo nyium gue.”

Ucapan itu membuat Freya menutup mulutnya dengan tangan. Matanya bergetar menatap  wanita itu membuat sebuah pengakuan yang mengejutkan. Kecupan bukanlah hal yang dianggap sepele, penuh dengan banyak arti, terutama pada hati.

“Iya, karena gue dulu butuh seseorang yang ngisi kekosongan gue.”

“Apa gue masih bisa ngisi kekosongan itu?”

Raka menggeleng pelan. “Enggak, meskipun kita pernah jalan dan makan bareng. Bukan berarti itu merupakan hal yang spesial, bukan? Lo bisa aja ngelakuin itu dengan teman laki-laki lo yang lain, begitu pula gue.”

“Kenapa, Raka?” Air mata wanita itu turun menggarisi pipinya yang merah padam. “Gue udah ngira lo menganggap gue spesial. Teman-teman gue cuma tahu kalau lo dekat sama gue, bahkan teman seangkatan lo juga. Tapi, kenapa lo enggak bisa nerima cinta gue?”

“Sederhana aja, karena gue udah punya orang yang gue suka. Sebuah hubungan cuma bisa berjalan baik karena saling suka.”

Tak ada kata lain dari kehancuran hati tatkala Raka mengatakan hal tersebut. Keras sekali retak yang bersuara pada perasaannya yang sederhana itu, bahkan tak pernah meminta lebih kepada Raka. Ia hanya sekadar ingin Raka tersenyum padanya, hanya itu. Namun, kenapa pengakuan Raka membuat hati yang rapuh itu merasa semakin gundah gulana? Dunia seakan gelap gulita dalam sesaat, tiada lagi tempat untuknya memandang. Lututnya rapuh untuk menopang tubuh yang bergetar itu, mata pun tak sanggup membentung tangis yang berderai.

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang