71. Pecah Terburai

49 8 0
                                    

71. Pecah Terburai

Kemenangan mungkin saja menjadi hal yang mutlak, sehingga banyak orang menderita kekecewaan ketika realita tidak turut menyertai. Sekeras apa pun hati mengatakan jika kalah maka tidak ada apa-apa, tetap saja di bagian kecil hati ini berteriak jika kemenangan merupakan sebuah kemultakan. Dan bagaimana mengenai kemutlakan itu sendiri? Apakah ia suatu yang pasti didapat? Atau didapatkan dengan sebuah kepastian? Hanya satu kemultakan di dunia ini, yaitu ketidakmutlakan itu sendiri. Tidak ada satu pun subtansi yang pasti akan langsung terjadi, sebagaimana harapan yang telah menghadapinya.

Jika Raka mengeluh mengenai prestasi yang tidak sesuai harapan, Arion berlaku berbalik. Senyum tulus seakan tidak menyimpan rasa kecewa bermain tatkala mereka memegang piala juara tiga, yang berarti mereka tidak menjadi yang pertama. Kalah dengan yang lebih pemula? Bagi Arion itu hal yang biasa. Tidak harus pula menjadi permasalahan yang besar karena baginya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk itu, tidak dilihat dari berapa lama dirinya bermain dalam dunia komik. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya, bukan hanya pengalaman.

Setidaknya, mereka harus berbangga hati ketika Karin berteriak di samping Arion.

“Kita juara pertama!” Karin memegang bahu kanan Arion setelah panitia menyebut nama mereka.

“Karin? Lo juara!” Raka membalikkan tubuhnya.

Freya yang sedari tadi berdebar hati, kini bisa berlega diri karena pada akhirnya club mereka bisa menggema sebagai juara pertama. Ia mengenggam kedua tangan Karin yang dingin itu, lalu mereka berpelukan bersamaan dengan Zeta dari belakang.

“Karin ... gue bangga banget sama lo.”

Terdengar panitia meminta sang juara untuk berdiri di panggung. Raka sontak mendorong Karin dan Raka untuk segera melangkah ke sana. Namun, Arion kembali mundur karena tidak mau.

“Karin saja, gue tadi udah naik,” balas Arion.

“Arion ... ayo ke sana. Ini hak lo juga,” balas Karin mengajak.

Ia menggeleng. “Enggak, lo aja yang naik.”

“Arion ... lo itu juara pertama ....” Freya menggenggam tangannya.

“Lo butuh pendamping di sini karena bentar lagi lo bakalan dipanggil juga, kan?” Arion mengingatkan mengenai pengumuman juara lomba cosplay karakter anime tersebut.

“Ah, anak itu ... sudahlah Karin ... lo sendiri aja yang ke sana,” sambung Adit.

Dengan mata menatap sinis, ia beralih ke depan karena tidak berhasil membujuk Arion untuk bersama-sama di sana. Freya tidak tahu mengapa Arion enggan mendampingi Karin, padahal Freya mempersilahkan hal tersebut. Ia objektif dan tidak akan cemburu. Rasa percaya kepada Arion telah menyibakkan pemikiran negatifnya terhadap Karin, begitu pula harapnya Arion kepadanya sendiri.

Bangga sekali melihat teman satu club meneriakkan nama mereka sebagai tanda terima kasih. Wanita yang selalu berapi-api itu tampak begitu bahagia di atas sana dengan piala yang hampir tingginya setengah tubuh Karin sendiri. Sepatah kata singkat yang Karin ucap menyematkan jika ia bangga dengan teman-temannya yang selalu mendampingi selama latihan, terutama pria yang tidak ingin naik ke panggung itu. Arion sudah mengiringi suara merdunya dengan apik. Keahlian bergitarnya tidak diragukan lagi sudah menyempurnakan penampilannya tadi.

Piala besar itu pun sampai di tengah-tengah mereka. Ada dua piala yang menjadi hak milik kali ini. Di kala teman-teman yang lain berbincang satu sama lain membahas piala tersebut, ada satu orang yang tak bersuara sedikit pun karena pikirannya tertuju kepada pengumuman selanjutnya, yaitu Freya sendiri. Ia gugup menghadapi suara panitia yang akan menyebutkan namanya, bisa jadi ia tidak masuk ke dalam tiga besar hingga pulang dengan tangan hampa. Ia ingin sekali membincangkan piala tersebut, sebagaimana Karin sekarang.

Namun, semakin panitia penyebut juara berbicara, tiada angin yang menghantarkan penggalan nama itu padanya. Hampa nominasi juara tanpa namanya sedikit pun, hingga satu per satu pemilik posisi naik ke atas panggung. Freya pun tercengang, seperti tiada satu pun orang yang ada di sekitarnya. Bahkan, suara riuh yang ada di sana seakan terpendam oleh hatinya yang kecewa. Tangannya sedari tadi mengepal, tak sanggup lagi bergerak hingga terkulai sebagaimana daun kering yang jatuh ke bawah.

Arion menempelkan kepala Freya ke pundaknya.

“Hey, tampil ke atas panggung itu pun sudah sebuah prestasi. Jangan bersedih hati, masih banyak event yang bakalan lo ikuti. Tersenyumlah ....” Arion membelai rambut terikat Freya.

“Tapi ... tapi kan gue enggak menang,” balas Freya dengan nada rendah. Matanya masih tertuju ke panggung yang tanpa dirinya itu.

Raka, Zeta, Karin, dan bahkan Adit mengerumuni Freya yang tengah berdiri terpaku.

“Kami bangga sama lo yang udah mau ikutan event ini. Enggak juara pun enggak apa-apa. Bukannya itu yang gue katakan sebelumnya, kan?”

Karin membalas kalimat Freya itu dengan menggenggam kedua tangan Freya. “Iya, lo paling cantik hari ini. Panitia kali aja salah menyebutkan nama. Tapi, itu bukanlah hal yang harus dipikirkan.”

“Freya, kita udah dapet dua piala hari ini. Beri kesempatan yang lain buat dapat posisi itu. Ya, kan?” Zeta mengelus tubuh belakang Freya. “Jangan dipikirin banget. Kegagalan itu perlu ....”

“Gue berharap banget menang karena gue pengen buat kalian bangga. Tapi―” Freya menatap Adit yang memotong kalimatnya.

“Lo pilih makanan apa yang bakalan dibeli buat ngerayain malam ini. Gue yang bayar dan lo yang paling banyak dapat bagian. Oke?” Adit tersenyum.

Seluruh teman menatap Adit yang berani mengatakan hal tersebut. Canda dan rayu Adit berhasil membuat Freya tersenyum. Ia berusaha untuk berpikir positif mengenai ketidakberhasilannya mendapatkan posisi. Jika posisi juara tidak bisa didapatkan, bukankah berdiri di panggung itu sudah menjadi kebanggaan? Mengingat, tidak semua orang yang dapat tampil seperti itu. Jangankan berbicara, berdiri saja mungkin sudah bergemetaran dengan seluruh pasang mata yang memandang.

“Makasih ya teman-teman atas dukungannya ....” Freya tersenyum perlahan. “Gue pengen ayam goreng.”

“Sesederhana itu permintaan lo?” tanya Arion.

Ia memandang Arion. “Karena lo suka ayam goreng.”

Adit menepuk tangannya. “Oke, kita ada di rumah gue malam ini. Ibu gue juga pengen kenalan sama teman-teman gue. Dia bosan ngelihat temen-temen gue yang berandalan. Kalian anak-anak yang baik.”

Rencana mereka akan cemerlang malam ini. Adit berbaik hati untuk mentraktir makan mereka semua.

Keberhasilan malam ini dibayar oleh Adit sendiri. Ia berbaik hati merayakan kemenangan di rumahnya sendiri, dengan makanan pilihan dari Freya. Oleh karena itu, mereka singgah sebentar di restoran cepat saji terdekat dan membeli paket makanan yang akan dinikmati malam ini. Senang memiliki kedekatan dengan teman-teman baru, lalu mengajak mereka ke rumahnya sendiri. Ibunya pasti akan senang melihat Adit yang membawa teman-teman baru. Selama ini, ibunya hanya tahu teman-teman Adit sesama anggota band dan yang paling terlihat baik hanyalah Arion. Baginya, anggota Club Yatta merupakan orang-orang baik, tidak seperti teman yang selama ini sedikit berandalan.

Halaman samping rumah Adit menjadi tempat bergumul yang asyik. Sepetak halaman rumput itu digerai karpet lembut, lalu bunyi dari air mancur pada kolam memberikan kesan damai. Makanan dihidang tepat di tengah-tengah mereka, bahkan Adit lebih dahulu mengambil bagian yang paling besar. Ibunya pun turut bangga melihat dua piala yang berdiri di atas teras. Pikirnya, Adit turut andil di dalam piala tersebut, padahal kenyataannya sama sekali tidak. Adit hanya tidak sengaja diajak oleh Arion untuk hadir dan melihat sendiri bagaimana Freya tampil di panggung.

Puji dan syukur bersemat dalam doa yang mereka ucap. Malam yang syahdu ini pun damai dengan perasaan bahagia mereka masing-masing, terutama Freya yang sudah meninggalkan kekecewannya tersebut. Makanan dinikmati satu per satu hingga tak ada yang tersisa. Karin berbaik hati bernyanyi di hadapan mereka untuk malam ini. Sedangkan Adit turut menghangatkan suasana dengan candaan ringat, bahkan mampu membuat Arion yang dingin itu tertawa. Mereka sungguh merayakan malam ini dengan penuh suka cita.

Penghujung malam pun tiba. Raka menutup perayaan malam ini dengan kalimat singkat yang menyatakan jika ia bangga sekali dengan teman-temannya itu. Ia tidak sabar memberitahukan Kepala Sekolah mengenai hal ini dan mereka akan tampil di upacara senin depan.

Apalagi suasana class meeting setelah ujian dan rencana kemah yang menambah suka cita mereka nanti. Kepala Sekolah pasti akan berbesar hati memberika penghargaan tambahan untuk mereka semua.

Satu per satu teman pun pulang, terutama Freya yang baru saja membantu ibunya Adit membersihkan peralatan makan.

“Mau gue antar?” tanya Adit di depan rumah.

“Enggak perlu, ini semua udah cukup.” Freya tersenyum dengan ramah. Namun, ia teringat Arion pada saat itu juga. Ia tidak jadi berbalik diri dan malah mendekati Adit. “Kak Adit, boleh anterin gue ke toko bunga Bougenville?”

“Oh, ya? Boleh, kok. Mobil gue masih bisa keluar. Emangnya kenapa?” tanya Adit.

“Sebenarnya, semenjak dua minggu ini gue belajar bikin kupluk rajut. Maksud gue, sebagai hadiah Arion yang juara. Gue lihat, mata Arion sering kelilipan rambut karena rambutnya panjang banget.”

Wajah Adit berubah kecut. “Enggak adil kalau Adit dibuatin, terus gue enggak. Gue enggak mau anterin.”

Freya maju selangkah kembali. “Gue bisa bikinin satu lagi kok buat Kakak. Gue janji. Kalau enggak dikasih hari ini sama Arion, momennya bakalan enggak kerasa. Jadi―”

“Mari, masuk ke mobil.” Adit membuka kembali gerbang pagarnya. “Jangan lupa bikin gue juga, ya? Awas kalau enggak.”

“Iya, Kak. Gue pasti bikinin satu lagi. Satu minggu selesai, kok.” Freya tersenyum senang.

Sebelumnya, Arion sudah pulang bersama Raka karena Raka sendiri memaksanya untuk ikut ke dalam mobil. Padahal, Arion sudah berkeras hati untuk pulang sendirian menggunakan bus malam, meskipun jadwal operasional bus sebentar lagi akan berakhir.

Berangkat Freya dan Adit menuju toko bunga bougenvile.  Mereka terkejut melihat gerbang toko bunga terbuka di malam seperti ini, sebagaimana yang Freya tahu jika gerbang itu selalu tertutup karena tidak ingin ada orang yang tidak berkepentingan masuk ke dalam. Jauh di samping rumah terlihat sebuah mobil warna merah yang terparkir. Adit berkata jika itu mobil Karin karena ia ingat persis ketika di rumah tadi. Semetara itu, Freya pun mengakui hal yang sama.

Setelah parkir di luar tanpa memasukkan mobil, Freya turun sendirian tanpa ditemani oleh Adit. Pria itu lebih memilih menunggu di dalam mobil sembari menikmati sebatang rokok. Sedari tadi ia menahan itu karena segan di tengah-tengah anak Club Yatta dan terlebih lagi di rumah. Ia biarkan Freya melangkah sendirian untuk memberikan kupluk rajut dan merayakan keberhasilan kecil itu bersama Arion.

Beberapa menit menghisap rokok, Adit dibuat memalingkah wajah ketika melihat Freya yang berlari sembari menitikkan air mata. Ia sontak membuka pintu dan menahan tubuh Freya yang memaksa untuk masuk ke mobil.

“Freya kenapa? Apa yang terjadi?” Ia menahan tubuh Freya. Sementara pandangannya tertuju kepada Arion yang baru saja berhenti langkahnya dari mengejar Freya.

Freya menggelengkan wajah. “Enggak, gue mau pulang sekarang aja, Kak.”

Tanpa diduga, Freya telah melihat Karin yang memeluk Arion dengan mesra. Tiada menolak dari gestur tubuh Arion itu, terlebih lagi diiringi oleh penuhnya senyum dari Karin. Bagaikan keramik yang baru saja jatuh terburai, begitulah hati Freya tatkala memandangnya dengan mata bergetar.

***







Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang