50. Selamat Malam
Wajah Freya memandang tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. Pria itu hanya tersenyum dengan bersandar di daun pintu, lalu menatapnya yang sedang kaku berdiri.
“Akhirnya lo datang juga ke rumah gue. Ini buat gue, kan? Terima kasih.”Kak Adit tersenyum sembari mengambil alih wadah yang berisikan semur ayam itu. Lalu, dirinya menoleh ke dalam rumah.
“Ibu, Freya udah datang bawa semurnya.”
Tidak lama kemudian, suara tante Mira pun terdengar oleh Freya. “Oh, ya? Disuruh masuklah dia. Masa' anak gadis ditinggalin di luar ....”
Kembali Kak Adit tersenyum kepada Freya. “Sepertinya lo disuruh masuk.”
“Jadi, ini maksud Kakak buat minta ID LINE gue?” tanya Freya dengan datar.
“Beberapa waktu yang lalu mama lo nunjukin foto lo sama kami. Gue ingat kalau lo itu adalah junior gue di sekolah. Makanya, gue penasaran sama lo.” Kak Adit mengangguk. “Lo enggak suka gue minta―”
“Kita bicaranya di dalam aja.” Freya langsung memasuki rumah.
Wangi rumah baru begitu terasa tatkla Freya duduk di ruang tamu. Hanya Adit dan Freya yang ada di sana, sementara Tante Mira masih membuat teh hangat di dapur. Pembicaraan hangat pun terjadi ketika mereka bertiga sudah berkumpul. Tante Mira memuji Freya yang cantik seperti mamanya sewaktu muda. Tidak terasa, bayi yang dulu sama-sama mereka timang berdua, kini duduk berhadapan satu sama lain. Tentu saja Freya dan Adit tidak akan pernah mengingat bahwasanya mereka pernah dipertemukan di masa lamau. Baru kali ini momen kembali mempertemukan mereka.
Setengah jam mendengar cerita dari Tante Mira mengenai mamanya ketika gadis dan bualan Adit yang terkadang tidak masuk akal, Freya undur pamit karena harus mengerjakan beberapa tugas sekolah. Tante Mira meminta Adit untuk mengantarkannya pulang sampai ke rumah karena malam sudah terlalu gelap untuk seorang gadis sepertinya. Berjalanlah mereka perlahan ke arah jalan pulang, saling beriringan di redupnya lampu jalanan.
“Ayah dan Ibu gue baru bercerai sebulan yang lalu. Harta bersama seluruhnya dijual dan Ibu memilih beli rumah baru untuk kami berdua. Jadi, begitu ....”
“Oh, maaf gue enggak tahu soal itu, Kak.”
“Enggak apa-apa, sih. Gue senang ditanyain.” Adit menoleh untuk tersenyum. “Gue butuh teman baru aja di komplek ini, makanya gue ajak kenalan lo, mumpung dua orangtua kita saling kenal. Hmm ... ternyata dunia sesempit ini. Orang yang dulu gue teriaki, ternyata punya hubungan dekat.”
“Hahaha ... gue juga enggak nyangka Kak kalau waktu bayi kita sering main bareng.”
“Ngomong-ngomong, lo ada masalah apa sama Vioni?” Adit berusaha memberanikan diri untuk menanyakan hal tersebut. Ia cukup prihatin dengan apa yang ditimpa oleh Freya. “Namanya Vioni, kan? Cantik dan tubuhnya sexy kalau gue lihat. Bukan berarti dia tipe gue, tapi dia cukup populer di geng gue.”
“Dasar cowok! Selalu aja mandang cewek dari fisik!” Freya diam sementara. Ia ragu untuk menceritakan masalah ini. Ia tegakkan kepala agar terlihat kuat dengan masalah itu. “Gue temenan sama Arion, hanya temenan. Tapi, Vioni nganggap gue ngerebut Arion dari dia.”
Adit mengangguk paham. Ternyata masalah ini ada sangkut pautnya dengan masalah asmara. Tidak heran jika melihat perempuan bertengkar dengan masalah itu. “Oh, begitu. Kalau lo ada digituin lagi, bilang aja sama gue. Enggak ada yang berani sama gue di sekolah, bilang aja nama Adit.”
Freya tahu jika Adit merupakan senior yang sering mendapatkan masalah di sekolah. Temannya merupakan para berandalan sekitar sekolah yang sering menongkrong di salah satu warung. Sering sekali mereka dipanggil oleh pihak sekolah karena suatu hal yang negatif. Hanya saja, Freya sedikit respect kepada Adit karena belau cukup aktif di sanggar seni sekolah sebagai pemain band. Ia dengar, Adit juga sering tampil di berbagai event musik di kota.
“Gue ngecoba buat nyelesainnya sendiri,” balas Freya.
“Baiklah ... lo harus ngelawan. Jangan diam begitu karena lo punya harga diri.” Adit melihat ke depan karena rumah Freya sudah tampak di sana. “Ngomong-ngomong, kalau kita temenan, bakalan ada yang ngelabrak karena dianggap ngerebut?”
Wajah Freya memandang aneh kepada Adit. Mana mungkin ada yang melakukan itu dan tidak akan berani apabila berurusan dengan Adit. “Lo gila, Kak? Mana ada.”
“Hahah ... lo junior yang berani nyebut gue 'gila'. Ya ... kali aja Raka atau Arion bakal ngehantam gue. Tapi, gue yakin mereka enggak bakalan berani ngelakuin itu.”
Mereka berhenti tepat di muka rumah Freya. Tatap mereka saling bersambung dengan pantulan cahaya jalanan yang redup. Serangga semak bernyanyi mengiringi diam mereka yang sejenak itu. Angin malam bermampir di tengah mereka hingga menggoyangkan poni Freya yang menggantung di atas alis. Adit terenyum padanya, lalu dibalas dengan hal yang sama.
“Terima kasih udah ngantarin, Kak. Gue lumayan takut kalau lewat warung yang banyak laki-lakinya itu.”
Adit mengangguk. Ia lepaskan tangannya dari stang sepeda Freya. “Iya, sama-sama. Good night.”
Lambaian kecil Adit memisahkan tatapan mereka kali ini. Tetap berdiri Freya di sana untuk melepas Adit yang pulang. Dalam hatinya berkata bahwasanya pria itu cukup lembut kepadanya, hanya saja terlalu akrab untuk ukuran yang baru saja berkenalan. Selain itu, Adit juga memiliki wajah yang manis dengan kulit relatif cokelat.
Kok gue mikirin dia, ya? Freya menggelengkan kepala, lalu berbalik membuka gerbang rumah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Anantara Rasa
Teen FictionFreya Naomi jatuh cinta kepada Raka Azura sang Wakil Ketua OSIS yang pernah menyelamatkannya ketika Masa Orientasi Sekolah. Cinta itu berlanjut hingga kesukaannya terhadap budaya Jepang membawa Freya mengikuti sebuah club Jepang bernama Club Yatta...