15. Untuknya
Ada suatu titik di mana semua kerelaan menjadi satu atas dasar ketidakanggapan yang dirasakan. Semua rasa sepi itu hanya bisa bermain dengan sunyi, tanpa sedikit pun menyentuh hangatnya perasaan cinta. Hingga suatu saat orang-orang akan berpikir untuk pergi, namun sudah terlalu jauh dalam langkah. Lelah untuk kembali, sulit untuk membalikkan diri. Akhirnya, raut wajah itu akan tetap melekat dalam hati yang tak berpijak semestinya.
Setiap hati akan menyimpan nama, begitulah Raka dan Karin, maka samalah dengan dirinya dan Arion. Mungkin saja pernah kosong, tetapi terisi kembali dengan ukiran nama seiring dengan waktu yang berjalan. Rasa suka tumbuh menjadi cinta, cinta dipendam terlalu lama pun berubah menjadi rindu. Rindu itu terus dipupuk untuk terus bersemayam agar rona sensasi romantisme percintaan terus terasa. Namun, tak semua harapan bersanding lurus dengan realita. Acap kali realita menampar diri sendiri agar segera berpaling ke jalan yang berbeda.
Kita sama …
Percakapan tadi itu hanya menyisakan basahnya kelopak mata Freya. Ia masih bisa menahan tangis dalam keadaan mata yang berkaca-kaca. Seakan hentakan rasa yang selama ini ia rasa hanya sekadar debu lalu. Sakit rasanya menjadi orang-orang figuran, tanpa sedikit pun diperhatikan. Namun, pria itu malah tersenyum. Lebih hangat dan semakin hangat seiring gerak laju suara hujan yang menyahut. Pupil matanya yang hitam melebar tanpa beban.
Lo gila, ya?
Hanya itu pertanyaan yang tersisa di dalam hati. Di kala patah hati, pria itu malah tersenyum. Hal yang tidak bisa Freya nalar sama sekali. Pertanyaan itu masih berbayang dari balik kaca mobil miliknya yang lembab. Matanya memandang keluar sedari tadi karena gugup yang ia rasakan. Wajahanya yang terpoles make up cantik tidak sedikit pun Freya puji. Apa salahnya memuji sendiri? Namun, Freya enggan melakukannya. Tak seperti wanita pada umumnya yang langsung mem-posting penampilan terbaru.
Raka, Karin, dan Zeta sejam yang lalu tiba di rumah untuk memasangkan semua perlengkapan yang akan dipakai sewaktu fashion show. Zeta kembali merias wajahnya semenarik mungkin dan memasangkan pakaian Kimono khas Jepang yang kemarin dibeli dengan dana dari Karin. Sementara itu, Mereka berdua izin pergi ke sebuah tempat sehingga terpaksa ia dan Raka pergi dahulu menggunakan mobil milik papa Freya yang sudah lama tidak dipakai.
“Ini mobil Papa lo, kan? Kenapa enggak diantar sama dia aja?” tanya Raka.
Wajah Freya menoleh. “Papa aku itu seorang pegawai di perusahaan Jepang. Jadi, lumayan sering keluar negeri dan keluar kota.”
“Jepang? Oh, kamu pernah ke sana, kan?”
“Hmm … pernah.” Perlahan Freya menarik senyum. “Salah satu alasan gue suka sama hal yang berbau Jepang.”
“Lo tahu kenapa gue suka sama yang jejepangan?”
“Kenapa?” tanya Raka.
“Karena Indonesia pernah dijajah Jepang,” balasnya singkat.
“Lah, apa hubungannya?” Freya memandang dengan tatapan aneh.
“Ada, dong … dulu gue jadi sering baca sejarah dan mencari tahu tentang Negara Jepang. Gue menemukan keunikan di sana, terutama budaya. Akhirnya, gue menemukan passion gue di sana, yaitu Jepang.”
Manga merupakan sebutan komik dalam Bahasa Jepang.
“Ada-ada saja.”
Mereka berbagi tawa di perjalanan yang masih tesisa sekitar limat menit lagi. Tak ada ingatan mengenai kecemburuannya kepada hubungan Karin dan Raka. Hal itu tertutupi berkat suasana yang mengalunkan ombaknya kepada Freya. Raut wajah Raka yang hangat serta wangi tubuh Raka yang memenuhi mobil miliknya akan selalu ingat. Bahwasanya, ada seorang pria sempurna yang pernah satu mobil dengannya. Berkendaraan berdua dalam satu canda dan garis sorot wajah yang saling bertatap. Senyum pun buyar dalam satu momen, tidak terelakkan degupan hati yang meronta-ronta untuk diungkapkan ke langit-langit.
Mobil berhenti di parkiran alun-alun kota yang ramai sesak oleh pengunjung. Hampir seluruh penggemar budaya Jepang di kota akan berkumpul malam ini karena merupakan acara tahunan rutin yang digelar. Jalanan sekitaran alun-alun kota sedikit macet karena kendaraan yang parkir di tepi jalan. Belum lagi penjaja kaki lima yang mampir untuk berjualan.
Detak suara kota mulai beraksi. Lampu-lampu berbagai warna menghipnotis mata pengunjung di setiap sudut alun-alun kota. Wangi malam yang khas semerbak menambah suasana bahagia yang tersimpul di balik wajah riang pengunjung. Genggaman tangan muda-mudi pemuja cinta bermain tatkala melangkah, membuat iri para orang-orang yang masih setiap dengan kesendirian. Mereka berbagi dalam selipan tawa yang beriringan dengan senyum canda percakapan. Berkumpul bersama dengan teman-teman, membiarkan semua beban pikulan yang selama ini tak berhenti menghantam.
Freya memandangi Raka yang membukakan pintu untuknya. Laksana seorang pangeran yang membukakan tirai kereta kuda untuknya yang ingin keluar. Bermanjakan senyum tak bertepi itu, Freya bergeming sesaat berharap menyentuh garis-garis bibir yang kasar itu. Mata tidak ingin beralih, tetap dalam satu sorot pandang yang diam. Memandangi Raka yang tengah menyambutnya di luar mobil.
Sudahkah malam ini menuangkan rindu padanya? Berharap Raka akan memenuhi rindu yang masih bersisa. Salah satu malam tercipta dari anugerah Tuhan yang merasa iba kepada hamba-hamba yang haus akan cinta. Tempat merenung, berjumpa dengan kesimpulan bahwa ia tidak sendiri. Akan selalu ada tempat kepada orang-orang yang menyendiri untuk tidak lagi sendiri. Terutama Freya yang tengah bersanding jalan berdua bersama Raka.
Pria itu enggan menoleh semenjak membukakan pintu untuk Freya. Matanya saja yang mengedar ke seluruh arah seperti mencari seseorang. Tentu saja ia menunggu Karin dan Zeta yang belum menampakkan diri.
“Oh, kita harus ke meja panitia,” ucap Raka.
“Hmm … lo bawa bukti pesertanya, kan?”
Raka tersenyum. “Untuk apa kita ke sini kalau itu tidak dibawa? hahaha ….”
Sebuah tenda kerucut bertuliskan kata panitia membawa langkah mereka untuk ke sana. Terlihat peserta-peserta lain sudah lebih dahulu menyerahkan bukti peserta. Wajah mereka tampak cantik dengan polesan rias yang sempurna. Postur tubuh menawan berbalut anggun helai pakaian Kimono menambah aura kecantikan yang membuat siapa saja bergeming. Freya tetap menegakkan dagu, ia yakin bahwa dirinya tak kalah menarik dari mereka. Terutama semangatnya untuk membuat bangga nama club Jepang yang bawa.
Terlihat pria yang pernah ia jumpai sebelumnya di sebuah toko sourvenir Jepang sewaktu itu. Menangkap kehadiran Raka, pria itu melambaikan tangan. Kacamatanya bergerak tatkala memicing memerhatikan Freya yang tersipu malu di samping Raka. Tangannya bersambut salam dari Raka yang menghampiri, diikuti dengan Freya yang tersenyum.
“Raka, akhirnya lo datang juga.” Sandi menoleh kepada Freya. “Lo yang namanya Freya, kan? Wah, cocok banget dengan kostum lo hari ini.”
“Thanks banget.” Wajah Freya memerah.
“Ini bukti pesertanya. Kapan Freya tampil?” tanya Raka.
“Hmm … sekitar tiga puluh menit lagi.” Kepalanya mendekati Raka. “Peserta hanya sepuluh orang dan langsung di umumkan malam ini pemenangnya.”
“Kok dikit banget?” tanya Raka lagi.
“Entahlah, orang lebih banyak ke lomba manga dan kaligrafi Jepang. Nah, itu berarti kesempatan besar buat raih tiga besar,” balas Sandi.
Tangan Raka merangkul tubuh Freya. Tidak pernah jarak sedekat itu yang pernah menghampiri dirinya. Tubuhnya seketika merasa hangat berkat sentuhan ini.
“Tenang, temen gue ini enggak kalah cantik dan menarik dari peserta yang lain. Dia ini spesial.”
Freya membuang muka. Pria itu pandai sekali membuatnya merasa gugup.
“Raka ….” Suara Freya memelas.
“Haha … lo itu pandai sekali menggombal.” Sandi menepuk pundak Raka. “Kenapa enggak ikut lomba manga? Bukannya lo itu hebat bikin manga?”
Raka menggeleng. “Genre tahun ini enggak membuat gue tertarik. Genrenya fantasy … gue spesialis romance.”
“Iya, terserah lo, deh. Lo itu orangnya sok idealis. Kalau bukan di jalannya, malah enggak mau. Tetap konsisten dengan genre andalannya. Hahaha …”
“Rion ikut?” tanya Raka.
Sebuah nama mencuatkan sebuah pertanyaan di kepada Freya. Rion? Arion?
“Rion?” tanya Freya kepada Raka. “Arion?”
“Hmm … iya dia. Dia itu hobi bikin manga loh,” balas Raka.
Sandi tersenyum. “Tentu aja dia ikut. Dia kan memang suka genre fantasy.”
“Saingan berat tuh sama yang lain,” balas Raka.
“Haha … kayanya iya. Gue tebak, dia pasti menang.” Sandi mengangguk.
“Oke, deh … kami pergi dulu, ya. Sesuai prosedur, nanti gue antar Freya ke belakang panggung lima belas menit lagi.”
Jempol Sandi mengarah kepada Raka. “Oke, gue tunggu.”
Tiga puluh menit Freya menunggu berdua bersama Raka di sebuah taman bunga alun-alun kota. Masih dengan sudut-sudut yang berisi muda-mudi pemadu kasih, bergenggam tangan seakan dunia milik berdua. Freya tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang gugup berkat kehadiran pria di sampingnya. Manja bintang gemintan taburan malam menambah suasana syahdu. Semuanya berakhir tatkala kehadiran Karin dan Zeta dari arah panggung.
“Ayo, itu mereka. kami antar lo ke belakang panggung.” Raka menepuk lengan Freya.
Terlihat lambaian tangan Karin dari kejauhan. Zeta di belakangnya tersenyum sembari memperbaiki letak kacamata yang miring. Setengah berlari, Karin menghampiri Freya seraya memeluk.
“Maaf, banget. Kami lama banget.” Karin dengan erat memeluk Freya. “By the way, lo cantik banget hari ini.”
“Tangan siapa dulu yang make up.” Zeta memuji diri sendiri.
Tanpa diminta, Karin lanjut memeluk Zeta yang bertubuh mungil. Mereka tertawa bersama tatkala Zeta kesakitan berkat pelukan tersebut.
Langkah bersambut menuju belakang panggung yang terang. Tersedia bangku bagi para peserta yang akan menunjukkan kebolehannya melenggok di atas panggung. Pancaran wajah riang bercampur gugup menghiasi senyum paksa yang masing-masing tunjukkan. Begitu pula Freya yang sedikit mengalami kegugupan. Padahal, tadi ia sudah membulatkan tekat untuk mengalahkan peserta lain dengan segala kekurangan yang ia punya. Ia tahu bahwa dirinya tidaklah cantik seperti peserta lain, namun semangatlah yang menopang dagu untuk tetap tegak menampar segala rintangan yang akan dilalui.
Arahan didengar dengan seksama oleh kesepuluh peserta yang berkesempatan untuk menunjukkan pesonanya. Penilaian berupa desain pakaian kimono yang sedang dikenakan dan teknik pemasangan helai kimono yang cukup rumit. Bagaimana seorang peserta menunjukkan pesona tatkala melenggok di atas panggung menjadi salah satu poin yang tidak kalah penting. Gerak tubuh, gestur wajah, serta aura kecantikan harus ditunjukkan secara maksimal jika ingin menjadi juara. Pengetahuan mengenai budaya Jepang akan dipertaruhkan di sana. Semua akan berbicara mengenai pemahamannya tentang Negasa Sakura tersebut. Memang, Freya memiliki cukup pengatahuan tentang hal itu. Satu hal yang patut diperhatikan ialah bagaimana mental berbicara di depan umum. Menatap masing-masing mata yang menyorot pembicara.
Acara dimulai dengan pembukaan oleh MC di panggung. Para peserta berdiri untuk bersiap-siap berjalan dan berbaris menunjukkan eksistensi. Helaan napas Freya melebar, ada satu hal yang ingin ia tunjukkan di sana. Kepercayaan yang ia emban demi sebuah kemenangan. Kemenangan yang akan ditoreh dan melukis senyum riang bahagia di masing-masing bibir atas nama persahabatan.
“Nama saya Freya Naomi, dari club Jepang Yatta!” seru Freya di atas panggung.
Satu orang yang berteriak paling kencang. Bibir Freya melebar, sorot matanya tertuju pada satu titik di sana. Pancaran keindahan dibalik sayup-sayup cahaya lampu yang terang, berbanding dengan binar mata tak bercelah itu.
Raka berteriak paling keras untuknya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Anantara Rasa
Teen FictionFreya Naomi jatuh cinta kepada Raka Azura sang Wakil Ketua OSIS yang pernah menyelamatkannya ketika Masa Orientasi Sekolah. Cinta itu berlanjut hingga kesukaannya terhadap budaya Jepang membawa Freya mengikuti sebuah club Jepang bernama Club Yatta...