70. Sederhana Hatinya

53 7 0
                                    

70. Sederhana Hatinya

Malam datang berganti dengan gelap yang bergantung di langit. Cahaya lampu jalanan bersambut terang di sisi trotoar jalanan komplek. Hening sekali komplek ini dari kendaraan yang lewat, sehingga bising tidak terdengar sedikit pun. Lebih banyak suara anjing tetangga yang menyalak atau kucing jalanan yang mengeong meminta makan. Dari balik cahaya pancaran lampu teras, Freya menunggu Adit yang datang untuk menjemputnya. Ia sudah meminta Arion untuk itu, tetapi pria dingin itu memilih pergi menggunakan bus. Terlalu konservatif sekali dirinya. Padahal sudah ada kemajuan yang disebut sebagai kendaraan pribadi.

“Ah, anak itu. Sama pacar saja masih seperti itu,” tanggap Adit ketika datang menjemput.

Freya hanya mengangkat bahu. Ia sudah paham pola perilaku Arion yang seperti itu. Arion selalu memiliki keinginan sendiri yang tidak akan bisa diganggu oleh orang lain. Jika berkata keinginannya untuk kembali ke club dikarenakan oleh Raka yang memohon, maka persepsi itu salah. Arion sendiri yang memilih kembali, bukan orang lain. Motifnya saja yang tidak diketahui oleh Freya. Hanya Arion saja yang tahu mengenai hal tersebut.

Di antara sekian banyak teman yang akan datang, ternyata Arion  yang lebih dahulu tiba. Arion ditemukan sedang duduk sendiri di parkiran sembari menikmati kopi kalengan dan sebatang rokok, tepat di belakang sebuah mobil. Terang wajahnya yang dibelai cahaya lampu parkiran, menyiratkan senyum yang mengarah kepada Adit dan Freya. Sesampainya di sana, Arion berterima kasih banyak kepada Adit yang sudah membawa Freya dari rumah.

“Lo boleh pulang,” ucap Arion setelah berterima kasih.

Berkat kalimat itu, Adit langsung memerengkan wajah. “Wow, seperti itu lo bicara senior yang baru aja nolongin lo.”

“Kita hanya terpaut beberapa bulan, lo aja yang lebih cepat masuk sekolah.”

Adit memandang kepada Freya. “Lihatlah ... dia memang kaya gini.”

Tangan Freya menyasar pinggang Arion untuk mencubitnya. Terdengar erangan pedih yang dirasakan oleh pria itu. “Arion, enggak boleh kaya gitu. Kak Adit udah baik hati ngejemput gue. Dan lo lebih milih naik bus.”

“Naik bus lebih hemat dan enggak nimbulin kemacetan. Ya, kan?” Arion mengacak rambut Freya. Lalu, ia melangkah lebih dahulu. ”Mari ke depan panggung. Ada band lokal yang bakalan manggung.”

Begitlah Arion dengan kesederhanaan kata yang terkadang menusuk para pendengarnya. Ia seperti tidak peduli dengan orang lain, hanya memedulikan diri sendiri. Dari sikap dinginnya yang menyasar setiap orang, terkadang terselipkan rasa peduli yang tidak bisa secara gamblang Arion ucapkan. Contohnya, belaian tangan dan perlakuan manjanya kepada Freya sudah membuktikan hal tersebut. Meksipun begitu, Freya sudah senang bisa berbagi romantisme sederhana.

Raka, Karin, dan Zeta datang kemudian, tatkala Adit meloncat-loncat di depan panggung menikmati musik pop Jepang yang dibawakan. Hanya Arion yang tidak merasakan eufora malam ini. Sementara Raka yang baru datang saja seketika memegang bahu Adit sembari melakukan gerakan yang sama. Nikmatnya musik malam ini sungguh membawa para pendengar untuk menggerakkan tubuh.

“Arion ... lo enggak ikut kaya mereka berdua?” tanya Freya tepat di telinga Arion karena bisingnya suara.

“Setiap orang punya caranya masing-masing buat nikmatin musik.” Arion tersenyum. “Jiwa gue sedang loncat-loncat di sini.”

“Lo itu aneh, tapi menarik.”

“Ya, gue aneh tapi lo suka.” Arion menggenggam tangan Freya dengan erat, seakan tidak ingin lepas di kala lampu-lampu sorot silih berganti bergerak.

Hati bergetar dengan sentuhan tangan itu, memberikan Freya ruang untuk menyemarakkan hati yang sedang ranum berbunga. Berbalik nuansa bising ini teredam oleh momen mereka berdua. Lebih tenang dan syahdu di tengah euforia musik pop Jepang yang semarak. Mereka seakan sebagian kecil ombak laut yang diam, di kala gulungan dahsyat nan bergerak begitu kencang. Tenang dibawa tangan Arion yang tergenggam, hingga tidak sengaja jatuh tumpuan kepala Freya pada pundaknya.

“Lo udah suka sama gue?” tanya Freya.

“Belum ... gue masih sama aja seperti dulu.”

“Udah, enggak apa-apa. Perlahan kita bakalan ngerasain hal yang sama.”

Arion memandang Freya.

“Setidaknya tujuan awal kita udah terwujud, kita berhasil buat ngelupain mereka berdua.”

“Iya, gue senang menyadari hal itu. Masa lalu kita udah tutup buku, bukan?”

“Enggak ada masa lalu yang tutup buku. Lembaran baru bakal terus terbuka. Contohnya tangan gue yang megangin tangan lo, bakalan jadi masa lalu. Begitulah seterusnya,” balas Arion dengan beranalogi.

“Lo cocok jadi penulis.”

Arion mengangguk. “Lo insipirasi terbesarnya.”

Semakin Freya erat tangan Arion sepanjang musik berlangsung. Ia seakan tidak sadar tujuannya ke mari untuk mengetahui pengumuman juara, kecuali hanya untuk berdua dengan Arion. Sementara itu, mereka yang lain sedang antusias menonton penampilan-penampilan yang ada di panggung. Hilir acara pun berlangsung hingga malam menuntun bulan semakin terang. Panggung berubah menjadi tempat yang penuh berdebarkan. Mulai panitia menyiapkan piala yang berjejer untuk diberikan.

Pengumuman sebentar lagi diberitahu. Pembawa acara sedikit memberikan guyonan mengenai siapa saja yang akan membawa pulang piala-piala tersebut. Tentu saja setiap hati di sini berharap dirinyalah yang akan dapat, atau pun pihak yang ia sokong untuk juara. Tidak terkecuali Raka yang di sana berdiri diam melihat kilauan jejeran piala. Mereka pun berkumpul dalam satu titik, saling mendoakan satu sama lain agar membawa pulang sebuah penghargaan.

Pengumuman dimulai dengan pembacaan juara komik yang sudah mendapatkan kesimpulan. Dimulai dari juara tiga yang setiap orang berharap untuk tidak mendapatkannya. Kenapa? Karena setiap orang memilih untuk menjadi yang terbaik.

“JUARA TIGA ADALAH DARI CLUB YATTA, SMA SWARNA DWIPA!” teriak panitia di atas panggung.

Kami pun saling menatap satu sama lain. Raka yang paling ekspresif menyoroti Arion. Sementara itu, Arion tersenyum pelan menyadari posisi mereka kali ini. Harapan mendapatkan kontrak penerbitan sudah gugur. Mereka telah gagal mendapatkan posisi terbaik.

“Juara tiga lebih baik daripada enggak dapat apa pun,” ucap Arion sembari menggandeng Raka menuju atas panggung.

Begitu sederhana hatinya menyikapi hal ini.

***












Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang