18. Namaku Dipanggil

73 9 0
                                    

18. Namaku Dipanggil

“Freya, lo ngapain?” Arion membenarkan pakaian kimono Freya yang kusut.

Freya terdiam sejenak. “Lo kenapa di sini?”

“Harusnya gue yang bertanya, kenapa lo bisa lari-lari begini? Kalau jatuh bagaimana?” tanya Arion.

“Gue mau ke depan panggung. Raka sudah menunggu di sana,” balas Freya.

Suara seorang perempuan membuat Freya menoleh ke kanan. Wajahnya tersenyum menatap layar kamera digital yang tengah ia pegang. Kemilau wajah tampak cantik dengan rambut panjang tergerai sedikit bergelombang. Matanya bulat berhias alis mata tegas memanjang hingga ke sudut yang rapi. Binar-binar matanya tak terelakkan, ia mendongak melihat Arion seraya tersenyum senang.

“Akhirnya gue dapat foto terbaik malam ini,” ucapnya. Lalu, ia menunjuk Freya. “Lo Freya, kan? Yang satu bus sama Arion waktu itu?”

Mata Freya menyimpulkan ketidaktahuan. Ia mengangkat bahu untuk Freya, mengisyaratkan bahwa ia tidak mengenal wanita itu. Tidak lama kemudian, Arion memutar tubuh Freya ke hadapan wanita itu.

“Kenalin, dia Dinda. Temen gue. Anaknya sedikit gila, jadi jangan heran.”

Cantik banget, puji Freya di dalam hati.

“Gue Dinda.” Dinda menjulurkan tangannya untuk bersalaman. “Pasti lo enggak mengenal gue. Tapi, gue tahu lo. Arion cerita.”

Freya menyipitkan mata kepada Arion. Ternyata diam-diam anak itu membicarakan dirinya kepada Dinda.

“Gue Freya. Satu sekolahan sama Arion. Ngomong-ngomong, Arion cerita apa ke lo?” tanya Freya sembari menyalaminya.

Dinda tertawa sejenak.

“Sepertinya lo berteman dengan orang yang salah. Jangan temenan sama orang kaku kaya dia. Arion cerita kalau ada seorang cewek yang berusaha mendekatinya.”

“Apa?” tanya Freya dengan wajah tidak percaya. “Sejak kapan gue mendekati lo?’

“Sudah gue bilang, dia itu gila,” balas Arion dengan datar. Ia menggeleng kesal berkat penjelasan dari Dinda. “Gue enggak pernah cerita lo ke dia. Tapi, waktu itu gue pernah beri tahu dia kalau kita pergi bareng ke sekolah dengan bus, sewaktu hujan itu.”

“Hahaha … gue bercanda.” Dinda tersenyum, “Ngomong-ngomong lo bagian dari club Jepang Yatta, kan?”

“Iya, gue anggota club-nya.” Freya mengangguk.

Dinda mendorong Arion. “Ajak dia buat masuk ke sana. Dia salah satu komikus terbaik di sekolah kalian, selain Raka.”

“Dinda, gue udah bilang kalau gue lebih suka sendiri,” balas Arion.

Freya tersenyum. “Gue udah pernah coba ajak dia, tapi dia enggak mau.”

“Jangan jadi solo player. Lo harus bergaul sama yang lain. Kadang gue heran, kenapa orang diam kaya lo kok bisa menjadi populer.”

“Dinda, itu mulut disumbat sesekali biar enggak ceplas-ceplos,” balas Arion dengan kesal. Lalu, mata Arion menatap Freya. “Lo mau ke mana lagi?”

“Mungkin gue ke panggung lagi. Raka udah nungguin lama. Dia pasti khawatir,”  ucap Freya.

“Oke, deh … kami pergi dulu, ya.” Arion menarik tangan Dinda. “Semoga beruntung.”

“Iya, thanks!”

Langkah mereka saling berlawanan arah. Angin yang berhembus terpecah dua berkat keterpisahan. Seseorang tengah menunggu di sana, Freya tidak ingin Raka menunggu lebih lama lagi. Raka pasti khawatir dengan ketidakhadirannya di sana. Namun, di tengah langkah jalan yang beralun lambat berkat mengangkat bagian bawah kimono, seseorang menarik tangan Freya untuk berlari. Wangi tubuh Arion tersibak, tangannya mengenggam lengan Freya. Rambutnya yang panjang setelinga bergerak bebas berkat gerakannya, berhaluan paras manis dari wajahnya yang kaku.

“Gue mendengar nama lo dipanggil,” ucap Arion tatkala berlari.

“Apa? Nama gue dipanggil?” tanya Freya sembari berusaha menyamakan gerak laju kaku Arion.

Di belakang sana masih tertinggal Dinda yang tidak henti memotret temannya yang tengah berlari bersama seorang wanita. Seorang wanita yang pernah Arion ceritakan jika bisa membuatnya untuk merengkuh senyum. Namun, Dinda tahu pria itu bukan pria pada umumnya. Ia berbeda tidak seperti biasa. Selalu ada teka-teki yang sangat sulit untuk diuji. Perlu ada kunci untuk membuka tabir rahasia yang ia simpan erat-erat. Tak akan ia beri kunci itu bila tidak dicari. Semuanya akan ada di titik henti, di mana pikiran akan bertanya kepada ketidaktahuan.

Raka di sana terlihat menjulurkan kepala untuk mencari seseorang. Freya yang meminta izin untuk pergi sebentar, tetapi sedari tadi tidak kunjung menampakkan diri. Di ujung penglihatannya, tertera cahaya lampu yang menerangi dua orang yang sedang berlari. Raka tembus kerumunan, ia jemput Freya yang terengah-engah.

“Cepat!” Raka menjemput Freya.

“Gue dipanggil?” tanya Freya dengan napas yang tidak beraturan.

Raka menepuk pundak Arion. “Thanks!”

“Jangan sentuh gue,” balas Arion dengan singkat.

“Sudahlah, lo enggak bakalan ngerti.” Pandangan Raka turun ke bawah. “Gue cuma mau bilang terima kasih karena sudah membawa Freya ke sini dengan cepat.”

Kembali Raka tembus keramaian para pengunjung yang berkerumun sekitaran panggung. Ia hantarkan Freya menuju tangga tanpa sempat mengetahui apa yang sedang terjadi. Freya menyimpan tanda tanya besar pada kemungkinan yang paling sulit, apakah ia akan juara? atau hanya pengisi juara harapan sepuluh besar?

Semuanya terjawab. MC berteriak menyambut Freya yang baru saja naik panggung dengan bantuan Raka.

“Selamat untuk juara ketiga kita!!!!” ucap MC dengan semangat.

Air mata Freya menyucur seiring dengan tepuk tangan yang bergemuruh dari para pengunjung. Ia balikkan tubuhnya ke arah Raka. Rengkuh peluknya begitu sempurna mala mini. Senyum tak betepi melanglah maju ke sudut maksimal. Senang riang wajah tak bisa disembunyikan oleh rasa haru yang menutupi. Terbenam wajah Freya dibalik sesap-sesap air mata di dada Raka. Ia sebut kata cinta yang mengalir dalam hati tanpa sempat tersebut melalui bibir.

Sembari terisak, ia berkata pelan, “Terima kasih sudah menemani gue. Gue akan selalu membuat kalian bahagia.”

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang