65. Mengembalikan

44 6 0
                                    

65. Mengembalikan

Sungguh, Arion tidak bisa sedikit pun berubah niat apabila tidak dari dirinya sendiri. Meskipun Freya bermohon di malam mereka makan berdua, tetap saja Freya tidak berpetik sedikit pun. Tekadnya sudah bulat, berjalan dengan diri sendiri lebih baik daripada bergabung dengan orang yang angkuh. Ia tidak menyesali jika pernah ambil bagian dari club Yatta karena ada seseorang yang spesial di sana, yaitu Freya sendiri. Jika dirinya tidak bergabung, impian kekasihnya tersebut untuk membangun club tentu saja pupus dengan sia-sia.

Sikap Arion ini tentu saja membayangi anggota club, terutama oleh Karin sendiri. Ia cemas tidak akan mendapatkan podium pertama karena perpaduan iringan gitar Arion sangat menjadikan penampilannya sempurna. Karin memang bisa bermain gitar, tetapi tidak bisa sehandal Arion. Pria itu bisa memainkan melodi sulit yang terkadang tidak mampu oleh pegitar lainnya. Oleh karena itu, dengan adanya Arion begitu membuahkan nilai tambah.

Ujian tengah diusahakan dengan sebaik mungkin. Seluruh murid dengan penuh kebosanan menunggu hari terakhir ujian agar bisa lekas bebas dari seluruh beban. Bagi murid-murid cerdas, tentu saja ujian bukanlah sebuah masalah karena akan dilewati dengan baik. Teruntuk para pemalas, mereka punya banyak cara untuk menjalani proses ujian dengan segala kecerdikan. Namun, ada juga murid-murid pencemas yang melaluinya penuh beban, dada yang berdebar-debar di masa penantian nilai raport.

Ya, semua itu dinamika yang biasa di sekolah. Jangan terlalu idealis berharap seluruh murid belajar dengan sungguh-sungguh, tentu ada yang menyeleweng dari kewajibannya dan lebih berharap kepada keberuntungan. Tidak terkecuali bagi Raka. Ia benar adanya belajar di malam sebelum ujian, hanya saja ia terlalu bertaruh kepada keberuntungan. Tidak peduli ia belajar sebanyak apa pun, apabila keberuntungan tidak menjamahnya, tentu nilai buruk akan didapati. Nilai di raport itu sifatnya kolaborasi dari berbagai aspek, terkadang subjektifitas seorang guru ada di dalamnya.

Ketenangan itu perlu, oleh karena itu Raka menarik Karin untuk menikmati senja bersama. Ia risih mendengar kabar jika Karin belajar seharian untuk ujian yang masih berlangsung tiga hari lagi. Rasanya, tidak hanya Karin saja karena Freya dan Zeta turut mengabari hal yang sama. Tidak ingin Karin menyuntuk dengan segudang buku hapalan, Raka menjemput paksa Karin di kediamannya dan membawa gadis itu keluar.

Cahaya senja merambat di kaca depan mobil yang gelap. Angin dibiarkan masuk di kiri dan kanan karena udara segar lebih baik daripada udara mobil yang berpendingin udara. Daun kering yang jatuh seperti slowmotion peneduh jiwa, lalu suara gesekan daun di pohon menjadi harmoni untuk ketenangan hati. Terpakir mobil Raka sedikit berjarak dari tepian lapangan bola, sementara di tengah lapangan itu tengah bertanding club bola lokal. Sorak gembira para supporter menarik senyum Raka, tetapi tidak dengan wanita di sampingnya. Padahal, minuman dingin yang nikmat itu biasa selalu membuat mood-nya membaik dan suasana tenang seperti ini selalu Karin tunggu untuk mereka berdua.

Tangan Raka membelai rambut Karin yang terikat. “Karin, apa sih yang lo pikirin?”

“Ujian akan berakir tidak hari lagi dan perlombaan kita dilaksanakan dua hari kemudian. Meskipun Arion sudah keluar, komik kalian berhasil diselesaikan. Gue enggak ragu dengan jalan ceritanya karena Zeta sendiri yang ngerancang. Sedangkan gue, gue enggak yakin bisa tampil dengan sempurna tanpa Arion.”

Raka menghela napas panjang. Karin masih memikirkan hal tersebut. Ia sama sekali tidak tahu berbuat apa jika berurusan dengan pria yang satu itu. Sungguh benar-benar buntu apabila Arion sudah berkehendak sendiri. Anak itu keras kepala bukan main, selalu menjunjung tinggi individualisme miliknya.

“Lo pasti bisa. Gue enggak ada nuntut lo buat menang karena apa pun hasilnya, kami bakalan menerima, kok. Kita bisa ikut di perlombaan itu saja sudah sebuah prestasi,” balas Raka.

Ia memandang wajak Raka. “Jika kalian enggak menuntun gue menang, maka gue sendiri yang menuntut diri gue buat menang. Kemenangan adalah rencana yang mutlak bagi gue dalam berlomba.”

“Jangan terlalu perfeksionis, Karin. Semuanya ada konsekuensinya dan lo harus bisa menerima itu.”

Karin memicingkan mata.

“Menerima? Bukannya ini semua ini gara-gara lo?”

Tidak mampu Raka menjawab pertanyaan itu. Ia sudah berhasil mematahkan argumennya dalam satu kalimat pertanyaan yang singkat. Benar, semua ini merupakan ulah dirinya yang terlalu mementingkan ego daripada logika dalam waktu bersamaan. Kemarahannya terlalu membuncah karena ketidaksukaannya terhadap Arion.

Raka sudah menduga-duga jika tujuan pria itu masuk ke dalam club merupakan untuk mengambil hati Karin kembali. Ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi begitu saja, hingga selalu mengawasi antara Arion dan Karin.

“Kenapa harus gue? Gue udah berusaha minta maaf dan Arion saja yang terlalu kekanak-kanakan.”

“Kenapa lo sebenci itu sama Arion?” tanya Karin untuk meminta kejujuran.

“Karena lo pacar gue dan dia adalah mantannya lo. Satu alasan dia masuk ke club ialah buat berusaha ngedeketin lo lagi, Karin. Gue tahu karena gue juga cowok dan tahu isi otaknya dia.” Raka menyentuh keningnya kemudian. Masalah ini terlalu pelik apabila diperdebatkan.

Kedua tangan Karin menyentuh wajah Raka. Dirinyalah wanita yang seberuntung ini untuk bisa melihat wajah pria paling populer di sekolah dengan jarak paling dekat. Ketika seluruh gadis di sekolah menginginkan waktu berduaan dengan Raka yang keren itu, Karin sudah mendapatkannya sejak dahulu. Cinta mereka saling bersambut, bersatu untuk membentuk kebersamaan.

“Gue hanya cinta sama lo dan enggak gue biarin Arion ngedeketin gue lagi. Gue enggak mau jatuh di lobang yang sama ketika dia lebih milih orang lain daripada gue.”

Raka menggeleng pelan. “Apa gue sejahat itu, Karin?”

“Maksud lo?” tanya Karin balik.

“Dasarnya, gue yang ngerebut lo dari Arion. Sebenarnya, kitalah yang berselingkuh.”

“Enggak ... dia pantas mendapatkan hal itu.” Tangan Karin lepas dari wajah Raka. “Tapi, gue berharap dia kembali. Hubungan gue dan dia hanya sebatas teman dan gue jernih memandang hubungan. Jika teman, ya teman ....”

“Sebegitunya lo pengen Arion balik?” tanya Raka.

Karin mengangguk. “Iya, hanya dia yang bisa membawa kepastian podium juara satu buat club kita. Gue yakin banget dengan adanya Arion, gue bakalan menang.”

“Baiklah ... gue bakalan ngajakin dia lagi buat masuk,” pungkas Raka.

***


Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang