6. Direndahkan

149 14 0
                                    

6. Direndahkan


Senja keesokan hari menyambut dengan terang benderan mentari yang mulai condong ke barat. Cerahnya langit begitu kontras, langit-langit tak malu menampakkan dirinya yang indah. Ranum senja bersemayam di udara, memasuki ranah pernapasan yang butuh kesegaran. Semua berbahagia, dering tanda pulang sekolah berbunyi baru saja. Tersenyum bibir yang sedari tadi masam berkat seluruh materi yang membuat otak tak lagi berjalan. Ribuan murid mulai berbondong-bondong untuk pulang. Gerak langkah mereka seremak menuju gerbang sekolah yang sudah dibuka sedari tadi.

Brosur promosi club Jepang Yatta Raka bagi kepada setiap anggota club. Semua berkewajiban untuk menghabiskan semuanya untuk diberikan kepada para murid yang lewat. Tidak hanya itu, Raka juga memaksa para anggota agar sedikit berbincang mengenai hal-hal yang akan dilakukan oleh club mereka. Hal itu demi menarik perhatian para murid untuk bergabung.

“Tumben anak itu mau terang-terangan begini,” ucap Karin kepada Freya. Mereka berdua berdekatan saat membagikan brosur.

“Maksud lo Karin?” tanya Freya.

“Entah lah, dia enggak mau aja club ini naik gara-gara nama dia yang populer. Padahal kan kita bisa aja jadiin dia promotor buat club kita,” balas Karin.

“Haha ternyata begitu. Siapa sih yang enggak kenal Raka di sekolah ini.”

Karin tersenyu. “Tampan, anak organisasi, pandai berbicara, mudah bergaul, dan keren pastinya.”

“Idaman semua wanita, ya?”

“Haha … menurut lo?”

Gerak ekspresi wajahnya tak bisa kuhindarkan demi menyembunyikan rasa gugupku. Karin menggerakkan lenganku pertanda ia ingin mendengarkan sebuah jawaban. Aku tidak menjawab, hanya menggeleng tidak pasti. Di dalam hatinya ia begitu ingin berteriak menyetujui pernyataannya tersebut.

Seorang wanita menatap kepadaku tatkala ia menarik brosur dari tangan Freya. Bahkan, Freya belum sempat memberikan brosur itu padanya. Tepat beberapa langkah ke depan, terlihat lembar brosur tersebut melayang jatuh ke bawah. Tercampak menghantam debu-debu tanah yang membuat mata terasa hina. Itu harga diri, kenapa dirinya menyampakkan brosur itu begitu saja? Orang-orang yang tidak sempat menyadarinya menapaki brosur itu hingga berjejak. Lekas Freya mengambil brosur tersebut untuk kembali memberikannya kepada wanita tersebut.

“Kak, brosurnya jatuh,” ucap Freya dengan nada selembut-lembutnya.

Bukan maaf yang diterima, wanita tersebut malah memandang sinis kepada Freya.

“Sengaja,” balasnya singkat.

Perkataan tersebut membuat Freya menaikkan alis. Terasa menghantam kalimat itu menusuk batinnya.

Terlalu kuat sorot mata itu bersanding dengan tingkahnya yang sinis. Tak ada yang bisa Freya perbuat, dirinya selalu lemah. Yang ada, Freya hanya terdiam sembari mencerna kalimat yang tak masuk ke dalam logika. Ada yang salah dengan wanita tersebut.

“Apa?” tanya Freya. Ia tahu jika wanita itu merupakan anak satu angkatan dengannya. Perempuan yang menjadi fokus utama ketika penampilan cheers digelar. Seorang kapten cheers yang selalu digandrungi oleh para pria di sekolah.

“Iya, gue sengaja.” Vioni melipat tangan di dada.

Ekspresi tersebut semakin mencekam Freya tatkala teman-teman Vioni turut memandang sinis kepadanya. Di dalam hati, Freya bertanya-tanya mengapa mereka begitu mudahnya mengatakan hal itu? Ia selama ini ia tidak pernah ada salah kepada mereka. Jangankan ada salah perbuatan, kenal secara personal saja tidak. Tidak mungkin Freya dengan mudah berkenalan dengan orang-orang populer seperti mereka.

Harga dirinya semakin naik menyadari bahwa yang ia lakukan ini merupakan hal yang benar. Freya hanya ingin mengajak orang-orang untuk bergabung dengan club barunya tersbeut. Tangan Freya melipat brosur tersebut dan langsung menaruhnya di dalam saku perempuan itu.

“Berani-beraninya lo?” Vioni membuang brosur itu kembali. Ia mendorong Freya ke depan. “Lo ya yang namanya Freya itu? Lo harus sadar diri, ya!”

“Maksud lo apa berkata seperti itu?” tanya Freya dengan keras.

Suara Freya mengundang perhatian yang lain. Telinga Raka dibuat berdiri oleh sinyal ancaman yang ia tangkap dari anggotanya. Karin dan Zeta saling berpegangan tangan karena cemas.

“Lo itu sadar diri. Bukan siapa-siapa, sok dekat sama Arion.”

Freya membuang wajah sesaat. Begitu sakit hanya tatkala dikatakan seperti itu. Serasa tak pantas dirinya dibegitukan, begitu pula tak pantas dirinya untuk dekat dengan Arion. Momen hanya datang secara tidak sengaja, menyentuh dirinya dalam realita. Tidak ada terbesit di dalam hatinya untuk mendekati pria itu. Ia tahu, beberapa hari itu namanya menjadi pembicaraan tatkala ia pergi dan pulang bersama Arion. Namun, semua itu bukanlah keinginanya. Semua mengalir begitu saja, pertemuan yang terjadi mengantarkan mereka untuk menapaki jalan trotoar berdua.

“Gue enggak ada sekali pun berniat buat mendekati Arion. Lo harus tahu itu!”

Vioni setengah tersenyum, matanya menatap datar untuk mengentak mental dari Freya.

“Anak kuper yang enggak tahu diri! Sekali lagi gue lihat wajah lo, jangan harap lo bisa tenang di sekolah ini,” ancam Vioni, lalu ia berbalik arah untuk pergi.

Merasa direndahkan, Freya meremukkan kertas brosur tersebut. Dengan segenap keberanian yang ia punya serta melupakan status Vioni di sekolah ini, Freya melempar brosur yang diremukkan itu tepat ke kepala Vioni. Sontak hal tersebut membuat Vioni naik pitam. Ia balikkan langkahnya ke arah Freya. Tangannya mengambil ancang-ancang untuk mendorong.

Belum sempat tangan Vioni menyentuh Freya, seorang pria datang menahan serangan tersebut.

“Vioni, sudahlah. Pergi dari sini.”

Freya menatap otot tubuh Arion membelakangi dirinya. Wangi parfumnya yang khas begitu lekat tercium. Suaranya yang rendah dan berat itu membuatnya bergeming. Bergetar dirinya setelah menyadari bahwasanya ia sedang diselamatkan, padahal tangan Freya sedikit lagi menghantamnya. Seseorang datang menolongnya tatkala ia merasa terancam. Melindungi dirinya yang sedari tadi berharap untuk dibela.

“Lo lebih milih dia?” tanya Vioni.

“Bukan masalah milih-memilih. Ini masalah siapa yang sudah bertindak berlebihan,” balas Arion.

“Oke, kalau itu mau lo. Kali ini ia lolos,” ancam Vioni sekali lagi.

Mata Freya berkaca-kaca karena takut dengan ancaman perempuan itu. Mungkin saja akan terjadi hal yang tidak-tidak kepada dirinya di suatu hari nanti. Helaan napasnya berat tatkala menata Vioni pergi bersama teman-temannya. Ia begitu takut dan cemas.

Arion berbalik menatapnya.

“Terima─” Kalimat Freya terpotong.

“Jangan berterima kasih.”

Hanya sepatah kata itu yang ia ucapkan sebelum ia melangkah pergi.

Tidak lama kemudian air mata Freya tumpah. Ia butuh seseorang untuk menumpahkannya. Menarik cemas dan sedih di dalam hati, menaikkan harga diri yang sempat direndahkan.

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang