54. Tolong Bantu Aku Melupakan

66 9 0
                                    

54. Tolong Bantu Aku Melupakan

Hari yang dilewati jenuh dengan bayang-bayang sisa patah hati hari lalu. Tidak ada satu pun teman untuk bercerita karena memang tidak dapat untuk diceritakan. Semua ini rahasia, termasuk dengan Raka sendiri. Begitulah resiko bagi para pemendam rasa, tak akan ada tempat untuk bercerita. Bisa jadi hanya satu orang tempat untuk mengadu, atau tidak sama sekali. Ingin bercerita kepada Arion, tetapi ia masih menyimpan rasa bersalah atas malam itu. Pesan singkat yang ia kirimkan kepada pria itu, tidak kunjung menerima balasan. Sudah sifat asli Arion yang jarang melihat media sosial.

Sakit demam yang ia rasakan mungkin saja diperparah dengan kondisi letihnya hati. Dua hari demam tidak juga surut, meskipun tidak separah hari di awal. Lani sudah datang menjenguk. Di hari kedua, Karin dan Zeta berbaik hati memberikannya vitamin. Adit semakin sering saja mengantar makanan agar mood-nya kembali. Namun, Arion tidak kunjung tampak. Padahal, ia berharap jika pria itu datang melihatnya. Barangkali ia masih belum tahu lokasi rumah Freya. Satu lagi mengenai Raka, Freya benar-benar tidak berharap pria itu datang.

Kondisi tubuh Freya membaik di hari ketiga. Ia sudah bisa bergerak dengan leluasa tanpa pusing di kepala. Untuk menepati janji dirinya dan Adit, Freya mengabarkan untuk datang ke rumahnya. Sebelumnya, Freya sudah berjanji untuk membuat kue bersama Tante Mira. Freya cepat akrab dengan Tante Mira. Beliau banyak bercerita mengenai masa muda antara dirinya dan mama Freya. Mereka kembali berbincang mengenai Adit, yang semenjak kecil ternyata sudah bertemu dengan Freya.

Membuat kue bukanlah hal baru bagi Freya. Ia sering menghabiskan waktu bersama mamanya untuk membuat kue. Ia sudah paham betul bagaimana takaran setiap bahan sehingga tidak bingung ketika membuat adonan. Bagian yang Freya suka ialah membuat hiasan di atas kue. Ia senang mengkreasikan kue dengan cream bermacam warna.

"Kak Adit suka main musik, Tante?"

Freya sedari tadi mendengar bunyi musik band bergema di lantai dua. Sepertinya ada studio band di sana.

"Iya, dia suka musik semenjak musik. Kalau udah main musik, dia enggak bisa diganggu. Lihat tuh sekarang, dia enggak tahu kamu ada di sini." Tante Mira menunjuk ke atas. "Adit lagi main sama temen satu band-nya. Dia minta satu ruangan didesain buat jadi studio."

Freya mengangguk sembari mengolesi cream kue. "Oh, begitu. Pantes aja Kak Adit suka tampil di sekolah. Dia lumayan punya banyak fans, hahaha ...."

"Hahaha ... tapi, Adit itu susah diatur. Kamu lihat sendiri dia sering dapet masalah. Kalau soal fans, Adit enggak pernah cerita kalau soal cewek." Ia mendekati wajahnya pada Freya. "Satu-satunya cewek yang dia ceritain cuma kamu."

"Ah, Tante bisa-bisa aja," balas Freya sembari tersenyum malu. "Kak Adit pasti banyak ceweknya."

"Mana ada, dia itu pemalu sama cewek. Temen-temennya aja yang sangar, tapi sama cewek takut."

Di tengah senyumnya kepada Tante Mira, seketika teralihkan padangannya kepada sosok pria yang baru turun dari tangga. Freya terkejut, pria yang dua hari ini ia rindukan kabarnya ternyata berada di rumah ini.

Arion ...

Tante Mira menoleh pada Arion.

"Wah, Arion ... kamu pulang duluan?"

Freya dan Arion saling memandang. Tidak ada ekspresi yang berarti dari wajah pria itu.

"Iya, Tante ... ada yang mau Arion lakukan."

Arion sejenak melempar pandangannya pada Freya yang terpaku pada ketidakpercayaan bahwasanya ia ada di sini. Ia hanya menarik alis untuk menyapa, tanpa hela napas untuk mengucap kata.


Tidak mengherankan bagi Freya jika Arion secuek itu. Sudah dibilang, dinginnya melebihi es, tidak peduli apakah orang itu akan berpikiran negatif padanya. Tidak ia balas Arion yang menyapa seperti itu, Freya masih dalam keadaan tidak percaya jika Arion ada di sini. Entah hubungan apa dirinya dengan Adit.

Jikalau ia berteman dengan Adit dan bisa bermain di rumah seniornya ini, sudah dipastikan pergaulan Arion cukup luas dibandingkan realita yang dipahami orang banyak. Mungkin saja, Arion tidak mengumbar kehidupan pribadi yang sebenarnya. Seperti gunung es dengan hampir seluruh tubuhnya ada di bawah permukaan laut, begitulah kehidupan Arion yang belum diketahui oleh Freya.

Arion pun pulang. Rasa penasaran Freya masih bersarang pada pria itu. Kue sudah selesai dibuat oleh Freya dan Tante Mira. Oleh karena itu, ia mendapatkan bagian untuk dibawa pulang. Rasa ingin tahu apa yang dikerjakan Arion di rumah itu, membawa Freya untuk mengayuh sepeda secepatnya ke toko bunga Bougenville. Sembari membawa kue itu dengan hati-hati, Freya tiba di muka toko buku. Keadaan toko sedang sepi, hanya ada sebuah mobil yang terparkir di muka. Satu tujuan yang Freya cari adalah bangunan kayu tua di belakang sana. Freya tahu jika Arion sering mencuri waktu untuk merokok di sana.

"Woi, kenapa ke sini?"

Freya menoleh ke belakang. Tampak wajah datar pria itu menatap padanya, tepat di balkon kamar yang terbuat dari kayu.

"Gue mau mengunjungi lo."

"Naiklah ... gue ada jamu."

Kini, duduk berdua mereka di atas balkon dengan bersila pada lantai kayu. Di hadapan sudah ada jamu jahe buatan Arion dan sepotong kue yang ia berikan kepada pria itu. Senang rasanya bahwa Arion menyendokkan kue ke mulut, lalu mengangguk ketika menyicipi, pertanda tidak ada yang bermasalah mengenai rasa.

"Lo kenapa ada di rumah Kak Adit?"

"Rumah pacar lo itu?" tanya Arion. "Gue gitaris band si Adit."

"Apa lo bilang? Dia bukan pacar gue!" Freya menyicipi jamu jahe. Lidahnya terasa pedas sekarang. "Gue minta maaf karena ninggalin lo di sana. Semuanya udah jelas ... kita benar-benar orang yang harus tetap di belakang."

"Gue minta maaf juga karena enggak ngejenguk lo. Jujur, gue sama terpukulnya dengan lo. Karin udah netapin hati untuk seseorang. Gue sama sekali enggak tahu kalau mereka punya hubungan. Enggak mungkin kalau udah begitu mereka enggak pacaran."

Freya memahami sangat perasaan pada Arion. Mereka sama, merengkuh patah hati di waktu yang bertepatan. Tepat di kala tangan yang tidak terduga itu tergenggam satu sama lain, mereka hanya berupa kepingan-kepingan hati yang terbuang. Mungkin getir lutut Arion yang mengejarnya waktu itu, sama persis seperti Freya rasakan. Hanya saja, ia masih bisa tetap terlihat tenang untuk saat ini.

"Kita sama-sama enggak ada harapan. Cinta kita sama-sama bertepuk sebelah tangan. Jadilah pacar gue, kita lupakan masing-masing dari masalah kita." Freya dengan serius mengatakannya. Entah mengapa, momen membawanya untuk mengungkap itu, meskipun bukan dari perasaannya sendiri. Tidaklah cinta yang membawanya untuk mengungkap keingingan, melainkan kata resah yang masih bertahan di dalam hati.

Tangan Arion berhenti menyuap kue. Ia letakkan sendoknya di atas piring, lalu mengubah posisi duduk yang serius. "Sebutkan alasan yang tepat buat kita pacaran. Kita enggak saling cinta."

Air mata Freya menetes dalam aliran yang kecil. "Memang kita enggak saling cinta, tapi kita bisa saling mengisi kosongnya hati. Kita cuma butuh tempat buat ngelupain perasaan. Kenapa enggak kita coba sampai kita menemukan hati yang baru."

"Lo tahu hubungan itu harus berdasarkan rasa suka?"

Freya mengangguk tegas. Benar, perasaan harus menjadi pondasi dalam hubungan. "Iya, benar. Tapi, gue pengen banget ngelupain cinta pertama gue. Meskipun nanti gue enggak bisa cinta sama lo, setidaknya gue bisa ngelupain Raka."

Tangan Arion menempel pada pipi Freya yang teraliri air mata. "Gue enggak bisa karena lo adalah temen gue. Lo lebih penting daripada seorang pacar. Jika lo butuh gue, gue bakalan selalu ada. Ingat itu ...."

Untuk pertama kalinya, Freya ditolak oleh seorang pria.

***


Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang