9. Cantik

132 15 3
                                    

9. Cantik


Di antara beribu cinta yang gue sematkan di dalam doa, selalu terselipkan namanya.

Momen tadi malam masih menyimpan pesona tersendiri. Tidak ada pagi yang lebih baik daripada kelopak matanya yang mengerjap mentari kali ini. Terasa hangat ketika menyelinap dalam gelapnya pupil mata. Helaan napasnya lebih santun dari biasanya di tengah langkah kaki yang menapaki jalan berembun. Beban-beban seakan hanya menjadi figuran, terbang terburai tidak lagi mengerumuni pikiran. Kira-kira setengah perjalanan yang ia lalui dihabiskan hanya untuk tersenyum, mengenang betapa bahagia dirinya tadi malam. Garis wajahnya begitu padu, menyesap kata-kata lembut Raka yang masih ia simpan dalam ingatan.

Riang langkahnya membawa ke sebuah halte yang sudah ia ikatkan janji bersama Arion. Setengah tidak percaya, sorot matanya menangkap pria bermata sipit dengan tas ransel bewarna biru yang selalu ia bawa. Pria itu benar-benar datang membawakan sepeda yang telah ia pinjam sehari yang lalu. Di kedua telinganya terpasang headset yang seakan membuatnya tidak peduli dengan lingkungan sekitar.

“Arion,” panggil Freya.

Pria itu tidak menoleh. Telinga yang disumbat musik, tidak dapat lagi menangkap panggilan dari Freya.

“Hey … lo udah lama di sini?” Freya menepuk pundaknya.

Satu ciri khas dari pria itu, selalu tidak ada ekspresi berarti yang ia tunjukkan. Bahkan, secuil senyum pun tidak tampak. Matanya datar menangkap Freya yang sedari tadi menyambutnya dengan senyuman. Ia lepaskan headset yang dikenakan, lalu turun dari sepeda Freya.

“Sudah tiga puluh menit yang lalu.”
Freya terkejut. Cukup lama pria itu menunggu. Bahkan, di kala jam segitu Freya masih bertahan di dalam kamarnya.

“Ngapain lo di sini tiga puluh menit yang lalu? Kita masuk sekolah setengah jam lagi,” balas Freya.

“Ternyata, bersepeda itu lebih menyenangkan, ya?” Arion menyerahkan sepeda itu kepada Freya tanpa menjawap pertanyaan yang telah diajukan.

“Hmm … bagi gue sih biasa aja. Soalnya udah terbiasa,” balas Freya.

“Setiap orang selalu tertarik dengan ketidakbiasaan.”

Mata Freya memicing. Kaku sekali kalimat anak itu di pagi hari ini.

“Lo itu selalu kaku begini, ya?” tanya Freya.

“Entahlah.” Arion mengangkat bahu.

“Gue enggak pandai berbasa-basi.”
Freya menyimpul senyum. Ia sentuh bahu Arion.

“Banyak hal yang menarik dari lo,” balas Freya.

“Gue pergi dulu.” Ia menunduk dan langsung melangkah ke halte.

Begitu mudahnya pria itu berpamit diri. Sepatah kata yang ia ucapkan cukup memuaskan hatinya untuk meminta izin pergi. Sosok Arion menjelma tidak ubah layaknya semilir agin yang mudah berpindah tempat, tanpa ada beban dan tekanan untuk bergerak. Freya hanya menatapnya dari bawah halte sembari memegangi kedua stang sepeda. Ia masih memandangi Arion yang meninggalkannya. Kemudian, Freya dibuat menghindar berkat sebuah bus yang datang menghampiri halte.

“Sama gue aja, Arion.” Freya memandang kepada pria itu.

Langkah Arion terhenti tatkala ia mulai bergerak masuk ke dalam bus.

“Makasih, lain kali aja.”

Arion menghilang masuk ke dalam bus. Menyisakan sisa-sisa pandang yang sedari tadi Freya pertahankan dalam satu sorot. Ia mengerjap, pria itu bergerak di salah satu bangku yang masih bisa ia lihat dari luar. Gerak tangannya begitu khas kepada seseorang yang sudah lebih dahulu berada di sana. Mata Freya dengan jelas melihat bulir senyum yang dipancarkan darinya. Bukan kepada dirinya, namun kepada seorang wanita berseragam SMA yang tengah duduk bersamanya.

Pacar Arion?

Angin terpaan mobil menerpa rambut Freya yang tergerai. Pemandangan unik itu sekilas menyadarkan dirinya bahwa setiap hati selalu menyimpan nama. Tidak peduli ranah hati yang dimasuki, meski pun dirinya yang pendiam sekali pun. Freya pun tersenyum, ternyata Arion mempunyai seseorang yang dekat dengannya.

Benar, Tak pernah hati benar-benar dalam keadaan kosong. Kekosongan itu selalu berada dalam sekat-sekat  yang menyadarkan kita bahwa hidup ini akan selalu bergantung kepada cinta. Begitu pula dirinya, sudah lama hati itu menyimpan sepenggal nama yang terukir sedemikian rupa. Raka, pria tak bercelah mengikat perasaan Freya hingga ke sudut rindu. Erat rengkuh ikatan perasaan itu terkadang menyakitkan, tetapi di waktu bersamaan menjadi candu. Ya benar, cinta itu candu bagi para penikmatnya. Tak ubah layaknya heroin yang menyakitkan tubuh, tetapi di sisi lain membuat seseorang melayang, hilang dalam kebahagiaan.

Sekolah menyimpan ceritanya sendiri hari ini. Karin memerhatikan setiap detail wajah Freya yang tengah dirias oleh Zeta. Gadis yang jarang sekali bersolek itu ternyata menyimpan tangan yang lihai meliak-liukkan riasan di wajah seseorang. Goresan garis tangannya tersimpul sebuah bakat lain dari Zeta. Sedari tadi, Freya terkagum-kagum ketika menatap wajahnya dari cermin rias. Bibirnya yang merah merona, kelopak matanya yang berkilau riasan, serta matanya yang bening berkat terpasangnya lensa kontak membuat Freya bergeming. Ia tampak cantik berkemilau.

Satu hal yang membuatnya jatuh hati ialah tatkala Raka melakukan hal yang sama. Pria itu duduk di sampingnya sembari memainkan alat rias yang sama sekali tidak ia ketahui. Pria mana yang tahu persis nama setiap alat rias, termasuk Raka.

“Kamu perawatan wajah, ya?” tanya Zeta.

Freya sontak menggeleng. Ia bukanlah wanita yang selalu menghabiskan waktu untuk berhias diri.

“Biasa aja, kok. Paling cuci muka dan maskeran beberapa hari sekali,” balas Freya.

Tangan Zeta membuat sentuhan terakhir di bibir Freya. Lalu, membuat sanggul pada rambutnya persis seperti wanita tradisional Jepang. Seperti sudah biasa, Zeta sungguh lihai dalam membuat sanggul.

“Wajah lo itu enggak terlalu putih, namun enggak terlalu gelap. Sempurna dan cerah. Betul kan Karin?” Wajahnya menoleh kepada Karin.

Karin mengangguk. Ia dekatkan wajahnya kepada Freya. “Benar, lo yang jarang perawatan malah enggak ada jerawat. Gue nih lihat, selalu ada jerawat tiap minggu.

“Kecantikan alami,” sambung Raka.

Freya tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang memanas. Matanya tak sanggup menatap Raka yang memujinya. Ia biarkan pria itu tersenyum tanpa sedikit pun Freya balas.

“Tolong pasangin kimono-nya,” pinta Zeta kepada Karin.

“Oke, giliran gue.”

Karin membawa ke cermin besar di aula seni ini. Ia melebarkan tangan Freya untuk memasukkan Kimono. Kimono harus dalam keadaaan yang seimbang kiri dan kananya agar waktu diikat akan terlihat simetris. Setelah terpasang sempurna, tangan lihai Karin begitu lihai mengikatkan kain pengikat yang disimpulkan seperti pita di bagian belakang tubuhnya.

Anggun sempurna Freya yang berusaha memutar di depan cermin. Seluruh teman-temannya berdecak kagum akan karya ini. Tekad sudah bulat, ia akan membawa sebuah kemenangan untuk perlombaan itu.

“Berdiri di sana. Lalu berjalan perlahan ke sini dengan anggun,” ucap Raka.

Freya mengiyakan permintaan tersebut. Ia angkat tangannya se-dada dan melangkah maju bak seorang model yang tengah memperagakan. Berbinar wajahnya berkat sorot kagum Raka yang berbangga akan keanggunan Freya.

“Bagaimana?” tanya Freya.

Amazing … hanya itu,” balas Raka.

Bagaimana hati tak bisa berdetak berkat decak puji yang disampaikan itu. Freya bertanya pada hati menuju Tuhan yang menciptakan rasa ini. Akankah ia akan bertemu dengan titik singgung perasaan, saling bersentuhan untuk mengucap janji untuk bersama. Ruang dan waktu akan terasa bersatu dalam satu momen yang diciptakan hanya untuk berdua. Freya berkali-kali mengucapkan doa itu tiap sorot wajahnya tertuju kepada Raka.
Kilatan kamera ponsel menandakan bahwa Raka sedang memotretnya dari sana.

“Lihatlah besok, lo bakalan terkenal.”

“Semoga saja. Gue berharap juga.”

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang