48. Bolehkah?

45 6 0
                                    

48. Bolehkah?

Pemikiran negatif itu membenarkan ia tidak pantas untuk dekat dengan Raka dan Arion. Mereka lebih pantas bergaul dengan orang-orang seperti Vioni yang cantik itu. Ia tetap berteman dengan tanpa siapa-siapa, cukup seorang Lani yang pengertian.

Tangis pun masih bersisa dengan sembab matanya di kelas, hingga Lani curiga.

“Mata lo merah kaya enggak tidur satu malam.”

“Gue terlambat bangun, jadi cuma cuci muka. Masih ngantuk banget,” balas Freya tanpa menoleh.

Lani melebarkan tangannya ke pundak Freya. “Tenang aja, lo bukan satu-satunya cewek yang enggak mandi di sekolah ini. Bukan berarti gue enggak mandi, ya? Hahaha ....”

Kesedihannya masih terasa ketika menjalani proses belajar. Fokusnya hilang seperti asap yang disapu oleh angin, hilang tidak bersisa. Yang masih bertahan ialah perasaan negatif yang merundunginya sedari tadi. Begitu sulit ia ceritakan kepada Lani karena ia takut Lani gegabah dan malah ikut camput terhadap Vioni. Ia tidak ingin Lani melakukan hal itu.

Sewaktu jam istirahat, pergilah Freya ke tempat yang paling privat di sekolah ini. Arion pernah berkata jika langit di sana memberikan ketenangan hati untuk bercerita kepada diri sendiri. Keyakinan itu mengantarkan Freya ke atap sekolah di mana hanya Arion murid yang bisa membukanya. Entah ia ada di sana atau tidak, yang pasti pintu itu bisa terbuka dengan tangan Freya. Hanya saja, tidak ada Arion berdiri di sana. Yang ada hanyalah cahaya langit yang terang dengan semerbak harum segarnya hari yang mulai beranjak siang.

Cukup lama Freya berdiri di sana sembari menikmati langit. Ia lipat tangannya di atas pambatas rooftop, lalu ia putar musik yang tenang melalui headset. Ia biarkan angin membawa masalahnya berlalu begitu saja. Ketenangan pun perlahan ia dapati dengan hanya berdiri di sana.

“Freya!” panggil seseorang.

Samar-samar dari telingat yang tertempel headset, terdengar suara seseorang memanggil dirinya. Setelah itu, bunyi hentak pintu yang tertutup pun berbunyi. Freya menoleh dengan cepat, didapati Arion tengah berdiri di sana dengan sebuah kotak bekal di tangan.

“Arion ... gue kira lo enggak ke sini,” balas Freya sembari melepas headset-nya.

“Gue kira lo yang enggak bakalan pernah ke sini. Lo biasanya pergi sama Lani kalau jam istirahat.”

“Lo bawa bekal ke sekolah?”

Arion mengangkat bekal sekolahnya tersebut. “Setiap hari gue bawa bekal. Bukannya gue enggak ada uang buat ke kantin, gue udah terbiasa sejak kecil. Lo mau?”

Tidak ragu untuk mengiyakan tawaran Arion itu. Sarapan tadi pagi tidak lagi mampu untuk mengganjal perutnya. Kantin terlalu jauh di bawah sana dan harus menuruni empat lantai. Belum lagi menunggu pesanan datang, bisa-bisa bel masuk sudah berbunyi. Duduk Arion dan Freya di lantai rooftop. Di hadapan mereka sudah terbuka kotak bekal yang tersusun rapi buatan Arion. Rasa kagum pun terucap ketika melihat seorang pria serapi ini membuat bekal. Bahkan, Arion lebih rapi daripada dirinya.

“Wow, bekal lo kaya bekal ala-ala Jepang gitu. Rapi banget.” Freya menyentuh lauk pauk di dalamnya dengan ujung garpu. Terdapat telur gulung, ayam suir-suir, tomat, dan sayuran lainnya yang disusun begitu apik. “Kayanya lo lebih feminim dari yang gue kira.”

“Jangan banyak omong, makan aja ...,” jawab Arion dengan sinis, “Oh iya, jangan larang gue ngerokok di sini karena lo ada di tempat gue. Oke?”

“Iya ... asalkan jangan bawa gue kalau lo ketahuan.”

Makanan dihabiskan dengan nikmat. Ternyata makan satu berdua dengan bekal seperti ini nikmat sekali. Porsi yang didapat memang lebih sedikit―Freya melebihkannya untuk Arion sebagai yang punya―tetapi seakan sudah mampu mengisi perut hingga nanti sore. Berucap terima kasih Freya kepada Arion yang telah berbaik hati untuk berbagi. Namun, Arion membalasnya dengan semburan asap tembakau yang sampai hingga ke hidung.

“Tumben ke sini ....” Arion menghembuskan asapnya.

“Enggak ada ... gue pengen aja ke sini.” Freya teringat oleh Arion yang menunggunya tadi pagi. “Lo tadi pagi nungguin gue di halte?”

Diam Arion menanggapi pertanyaan itu. “Gue memang duduk di sana. Bukan berarti gue nungguin lo. Jangan kepedean dulu. Gue nunggu Dinda yang enggak sempat satu bus sama gue.”

“Oh, begitu ... gue lihat lo di sana sewaktu gue pergi sama Raka.”

“Oh, ya? Lo pergi sama Raka ke sekolah?” Arion tertarik dengan kalimat tersebut. “Wow ... itu kemajuan yang baik ....”

Freya tersenyum sembari mengangguk. “Iya, kemarin sore juga dia ngantarin gue hujan-hujan. Karena sepeda gue ditinggalin di sekolah, makanya Raka ngejemput gue tadi pagi.”

Tersenyum senang Arion mendengarnya. Ia turut bahagia ketika mendengar harapan Freya untuk pergi sekolah bersama Raka akhirnya terwujud. “Gue turut senang dengerin itu. Ingat ... itu bisa jadi kesempatan buat lo deket sama Raka ....”

Seketika Wajah Freya turun.

“Hmm ... tapi ... sebenarnya gue cocok enggak sama Raka? Gue agak minder gitu. Tadi pagi gue pakai riasan buat ketemu sama Raka, terus gue hapus lagi di sekolah gara-gara ngerasa enggak cocok aja sama gue.”

Mata Arion memicing. Ia ketuk dahi Freya. “Cantik itu tergantung di sini, pola pikir lo. Kalau lo ngerasa diri lo cantik, berarti lo cantik. Siapa lagi yang menganggap diri cantik, kecuali diri sendiri. Tapi, menurut gue lo cantik apa adanya, kok. Bukan berarti lo enggak harus pakai riasan. Maksud gue, enggak pakai riasan aja lo cantik, apalagi pakai riasan.”

“Benarkah?” tanya Freya.

“Iya, menurut gue begitu sebagai laki-laki yang menatap seorang perempuan. Hey ... berhentilah menganggap diri itu rendah. Lo bisa cantik dari Karin, dari Vioni, atau siapalah itu. Oke?”

“Makasih ....” Seketika Freya mencabut rokok yang ada di bibir Arion, lalu mematahkannya dengan sengaja. Bergegas Freya berlari dengan cepat menuju pintu rooftop. “Terima kasih atas makanannya. Gue bakal ingat terus kalimat lo!”

“Dasar anak―” Kesal Arion itu terhenti ketika Freya hilang dengan menutup pintu.

Sungguh kesal sekali Arion berkat Freya yang mematahkan rokok di bibirya. Namun, ia tidak bisa menghindari bibirnya yang melingkarkan senyum. Benar, ia menunggu Freya tadi pagi karena cemas kepada wanita itu. Ia sudah menebak bahwasanya Freya akan berhujan-hujanan sore kemarin untuk pulang. Jelas pula dilihatnya Raka sedang berboncengan dengan Freya tatkaka melintasi halte. Hanya saja, Arion berpura-pura tidak menyadarinya.

Gue ikut senang, Freya, ucap Arion di dalam hati.

Kalimat yang diucapkan oleh Arion menjadi penyemangat bagi Freya. Ia lebih cemerlang memerhatikan pelajaran seharian penuh. Freya merasa perlu menghargai diri sendiri, tak perlu memerhatikan komentar negatif orang lain terhadapnya. Lani pun turut heran dengan temannya itu. Tadi pagi, Lani melihat Freya seakan tidak ingin hidup, mati pun tidak mau. Sedangkan siang ini seakan ada hantu euforia yang merasukinya. Semangat itu pun bertahan hingga pulang sekolah. Dengan penuh senyuman Freya mengambil sepeda dan berniat akan melaju cepat di jalanan raya.

Tepat ketika Freya membuka gembok sepedanya, seseorang mendekati dirinya.

“Hey, nama gue Adit ... yang tadi pagi nyelamatin lo dari cewek itu.”

Freya mendongak ke atas. Senior yang biasa dipanggil 'Kak Adit' itu tengah berdiri menjulurkan tangan untuk berkenalan. Namun, ia tidak terlalu suka apabila ada seseorang yang tidak dikenal langsung secara gamblang percaya diri seperti itu. Tanpa permisi sedikit pun, pria langsung menyebutkan nama.

Tidak ia sambut tangan Adit. Freya hanya tersenyum ringan. “Makasih, Kak Adit. Tadi pagi itu jangan diingat lagi, ya? Memalukan soalnya.”

“Iya ... lain kali hati-hati dan melawanlah sedikit.”

Freya naik ke atas sepedanya. “Iya, Kak. Sekali lagi makasih banget udah nyelamatin aku.”

“Ngomong-ngomong, nama lo―”

“Gue pergi dulu, Kak ....” Freya langsung melenggang dengan sepedanya.

Ia perhatikan terus di belakang agar memastikan senior itu tidak mengikutinya. Dengan cepat ia bergegas untuk menghindarinya agar tenang ketika pulang. Aneh sekali baginya ada seseorang yang memperkenalkan diri seperti itu. Lega napas Freya ketika sampai di jalanan raya. Di depan sana merupakan halte simpang sekolah yang biasa dijadikan tempat Arion menunggu bus. Hanya saja, pria itu tidak ada di sana, bisa jadi sudah pergi duluan.

Suara motor yang berisik terdengar mendekat dari belakang. Tatkala ia menoleh ke belakang, tampak seorang pria dengan jaket jeans sedang mengendarai motor tua modifikasi. Tidak terlalu ia hiraukan karena Freya fokus dengan jalan di depan.

“Tunggu ....!” panggilnya.

Sontak Freya mengerem sepeda. Ia terhenti di tepi jalan, sementara pria itu bergerak lambat di depannya. Ia turun dengan membuka helm tanpa kaca itu. Tampak senior bernama Adit itu tengah melangkah padanya.

“Ini punya lo?” Ia menjulurkan tangannya. Terlihat gantungan kunci karakter anime yang Freya beli sewaktu liburan ke Jepang. “Nama gue Adit. Lo belum memperkenalkan nama lo.”

Tangan Freya merasakan gantungan kunci itu tidak lagi berada pada tasnya. Sudah pasti benda itu tercecer di jalan dan tidak sengaja dipungut oleh pria itu. Mau tidak mau, Freya menggapai tangan senior yang ada di hapannya.

“Nama gue Freya. Ini punya gue, kan?”

“Iya, ini punya lo. Tadi pagi kececer waktu lo lagi lari dari gue.”

Freya mengambil gantungan kunci tersebut. Sudah dua kali hilang. Pertama kali diselamatkan oleh Arion dan kini diselamatkan oleh Kak Adit.

“Ini memang sering hilang. Makasih sekali lagi.”

“Oke, gue terima ucapannya. Sekarang, boleh gue minta nomor handphone lo?”

Apa?

***


Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang