46. Dirinya Menunggu?
Tak lekang senyum itu bersisa menyiasati bibir Freya, bahkan dalam gelap kamar yang belum dihidupkan lampunya. Basahnya rambut tidak ia pedulikan, masih menyesap sisa-sisa momen yang ia anggap sebagai kisah romansa itu. Masih terasa mustahil rasanya tangan Freya memeluk Raka sebegitu erat, beralaswajahkan tubuh belakang Raka yang bidang, hingga sentuh tangan Raka yang menempel pada poninya tatkala sampai tadi. Begitu hangat hari yang dingin itu, hingga menyerbakkan ranum sari cinta yang tengah mekar di hati Freya.
Jemarinya menarik catatan harian di bawah bantal. Terlalu bergebu-gebu kali ini hingga tidak ingin menunggu kantuk tiba. Tangan yang setengah bersih berayun pada lembaran baru untuk menuliskan nama pria yang ia cintai itu. Beruntai kisah hari ini, sepenggal momen yang akan ia baca di kemudian hari. Berima setiap kalimatnya, seperti penulis romansa Freya menuliskannya. Setelah akhir catatan itu menggambarkan bagaimana jemari Raka memperbaiki poninya yang berantakan, ia tempelkan buku catatan itu di dada sembari berharap akan adanya momen yang seperti itu kembali.
Mabuk cinta benar adanya, itulah yang dirasakan oleh Freya. Dopamin tengah memuncak di dahinya itu, lalu memikirkan betapa bahagianya apabila selalu bersama Raka. Selepas mandi, ia duduk untuk memberi makan dua ikan maskoki pemberian Arion itu. Andai kata ikan betina itu merupakan dirinya, lalu teman seakuarium itu merupakan Raka, betapa bahagia apabila bisa selalu bersama. Seakan dunia ada dalam satu genggaman, seluruh rintangan akan lebih mudah dilewati.
Pertanyaan lalu timbul, apakah Raka ingin padanya yang biasa-biasa saja? Mungkin Raka bisa mengambil satu hal darinya, yaitu cinta. Namun, apakah itu cukup untuk membuat Raka bahagia? Senyumnya surut tatkala pikiran itu datang, lalu bersambut lembutnya kucing gempal yang menaruh perhatian pada ikan peliharaan Freya. Freya percaya bahwasanya akan ada suatu titik di mana ia tidak akan bisa lagi menahan perasaan, harus diungkapkan karena terlalu lama terkubur di dalam hati.Di sana pula pertaruhan hubungan itu terjadi. Apakah Freya akan bersama Raka atau berhenti untuk mundur menghindarinya, itu tergantung dari jawaban pria itu. Freya belum memastikan itu kapan dan bahkan tidak ada merencakanannya. Bagi Freya, biarkan perasaan ini berjalan sebegitu sederhana, tak ubah layaknya senja yang menaruh perhatian kepada hati yang sepi.
Hari esok begitu ditunggu. Freya bersemangat di hadapan meja sarapan. Mamanya telah tahu kejadian kemarin dan bertanya-tanya apakah anaknya itu telah menyukai Raka. Sudah pantas bagi mamanya jika Freya menaruh hati kepada seorang pria, ia pun begitu ketika masa putih abu-abu bersemayam pada jati diri. Namun, rasa curiga Mama hanya bersambut dengan jawaban bahwasanya mereka hanya sekadar teman. Kebetulan sekali Freya tidak mampu pulang dengan hujan lebat dan Raka berbaik hati mengantarkannya.
Senyum itu pun datang. Freya telah menunggu di depan rumah, sementara mamanya sedang minum teh di depan teras. Gelegar bunyi motor sport Raka terdengar dari kejauhan. Semerbak harum tubuh paginya selalu Freya ingat tatkala pria itu sudah mulai mendekat. Senyum Raka terlontar pada Freya, begitu pula dengan wanita yang tengah minum teh di teras tersebut.
“Kami pergi dulu, Tante,” ucap Raka dengan sembut sembari mencium tangan mama Freya.
“Iya, hati-hati. Jangan ngebut karena pagi begini banyak banget kendaraan.”
“Baik, Tante. Kami bakal hati-hati, kok.” Raka mengangguk. Tidak lama kemudian ia beranjak ke motor.
“Dadah, Mama ... Freya pergi dulu ....” Freya melambaikan tangannya.
Sebelum naik, Freya menatap Raka tatkala pria itu memberikan sebuah helm lucu bermotifkan karakter kartun. Ia tersenyum kecut menyadari bahwasanya ia seperti anak SD yang diantar oleh seorang kakak laki-laki apabila memakai itu.
“Itu punya adik gue. Lebih baik pakai itu daripada kita ditahan sama polisi,” ucap Raka sembari menghidupkan motor.
“Ini lucu banget,” balas Freya.
“Memang lucu, seperti tingkah lo waktu jadi MC. Lo ketara banget lagi gugup waktu itu. Hahahah ....”
“Jangan diingat lagi, Raka!” Freya menepuk lengan Raka.
Tepukan itu pertanda perginya mereka dari rumah Freya. Pagi yang dingin masih menyimpan sisa-sisa romansa kemarin malam. Senyum di bibir Freya diberi cuma-cuma. sementara perlakuan Raka luar biasa lembut padanya. Pagi ini, Freya menjadi satu wanita beruntung yang bisa berboncengan dengan pria sekeren Raka. Ada banyak wanita dalam perbincangan tepi kelas bahwasanya mereka sangat ingin pergi sekolah berdua dengan Raka, lalu berpegangan tangan ketika di parkiran dengan malu-malu. Sesampainya di perpisahan lorong sekolah, lambaian tangan akan memisahkan mereka. Senyum dilemarkan, disimpan hingga bel pulang kembali menyatukan rindu.
Harapan itu memang terlalu jauh, cukuplah Freya sekarang ini di belakang Raka sembari melihat senyum wajah pria itu dari kaca motor.
“Itu Arion, ya?” tanya Arion beberapa saat setelah melewati halte simpang komplek. Motornya tetap melaju, ketika Arion bertanya mengenai itu.
“Apa? Di mana?” tanya Freya.
“Di halte simpang komplek rumah lo?”
Sontak Freya menoleh ke belakang. Fokus matanya tertuju ke arah halte tersebut. Masih terus memastikan itu dirinya, sementara motor Raka tetap melaju ke depan. Tanpa diduga, Freya menepuk pundak Raka untuk menepi. Pria dengan kesendiriannya di halte itu sudah pasti Arion. Freya menyadarinya dari seragam yang ia pakai. Tidak ada satu pun siswa sekolahnya yang pernah menunggu bus di simpang komplek, kecuali ketika Arion menunggu Freya datang. Tidak mungkin Arion sedang tidak menunggunya di sana. Ia tidak pernah duduk di halte simpang komplek karena jurusan bus yang biasa ia naiki selalu langsung menuju sekolah.
“Berhenti ... itu Arion. Dia nungguin gue!” ucap Freya sembari menepuk pundak Raka.
“Oh, ya? Gue kira lo enggak ditungguin sama siapa-siapa. Makanya gue jemput lo pagi ini.”
“Cepet nepi, Raka ....”
“Iya, gue nepi ini ....” Raka menepikan motornya di antara sibuknya jalanan raya di pagi hari yang ramai.
Segera turun Freya dari motor dan membuka helm. “Raka, kayanya lo harus pergi sendiri. Gue sama sekali enggak tahu kalau Arion nungguin gue pagi ini di halte. Tapi, gue enggak bisa ninggalin dia di sana dengan waktu yang lama. Kasian dia kalau terlambat.”
Namun, tangan Raka menahannya. “Tunggu dulu, lo mengabaikan cowok yang udah ngejemput lo pagi-pagi?”
“Bukan masalah itu, gue enggak enak sama Arion. Dia enggak tahu sama sekali kalau gue dijemput sama lo.” Tangan Freya mengikat tali helm ke stang motor Raka. “Maaf, banget yaa ....”
Sentuhan terkahir ke tangan Raka itu mengakhiri kisah romansa yang ia angungkan tadi. Demi Arion yang menunggunya di sana, ia rela tidak melanjutkan perlajanan bersama Raka. Padahal, ia sudah menunggu momen ini sejak tadi malam. Hanya saja, ia tidak tega meninggalkan Arion sendiri di sana. Mengenai alasannya, Freya pun tidak tahu. Ikatan emosional yang ia rasakan terhadap Arion, sama hal dirinya kepada Lani, yaitu persahabatan. Oleh karena itu, ia menganggap Arion penting dalam hidupnya.
Freya pun berlari sembari memanggil nama Arion. Suaranya tidak mampu untuk terlalu keras, kecil kemungkinan pria itu mendengar dari sana. Namun, langkah Freya tertahan seketika ketika Arion bergerak menuju bus yang baru saja berhenti. Hentak langkah kecil Arion yang masuk ke dalam bus, mengakhiri pandangan Freya kepada pria itu.
Terlambat sudah, Freya berpikir bahwasanya ia sudah mengecewakan Arion. Sudah jelas pria itu menunggunya dari sana, entah dari kapan. Gerak denting jam yang hendak menuju jadwal bel masuk memaksanya untuk segera pergi menuju bus.
“Freya ... ayo pergi. Kayanya Arion enggak lagi nungguin lo.” Raka berjalan perlahan mendekati Freya.
Dengan wajah lemah, ia pandangangi Raka. “Enggak, dia nungguin gue. Arion selalu duduk di sana kalau nungguin gue. Karena handphone-nya terlalu jadul dan enggak bisa pasang media sosial, kami enggak bisa berkomunikasi dengan baik. Jadinya, miskomunikasi kaya gini. Seharusnya, gue bilang sama Arion kalau gue pergi sama lo.”
Tangan Raka membelai rambut Freya. “Sudahlah ... dia pasti paham. Arion itu orang yang paling dewasa di antara kita. Dia bukan Karin yang kekanak-kanakan. Mari kita pergi, gerbang bentar lagi tutup.”
“Kalau dia ngambek sama gue, bagaimana?”
“Kalau dia ngambek, bilang sama gue. Oke?” Raka memberikan wajah semangatnya.
Freya pun mengangguk. Kembali ia raih helm lucu itu dari tangan Raka, lalu sama-sama kembali berkendara.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Anantara Rasa
Teen FictionFreya Naomi jatuh cinta kepada Raka Azura sang Wakil Ketua OSIS yang pernah menyelamatkannya ketika Masa Orientasi Sekolah. Cinta itu berlanjut hingga kesukaannya terhadap budaya Jepang membawa Freya mengikuti sebuah club Jepang bernama Club Yatta...