69

947 92 5
                                    

Rendra meremat kertas yang menampakkan tulisan lulus super besar itu lalu membuang ke dalam tong sampah. Dia mencampakkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Menatap langit-langit kamar dengan helaan nafas yang panjang, jelas seperti mulai putus asa akan semuanya.

Hari terus berjalan namun Rendra semakin tak kuasa untuk menghadapinya.

Keluarganya terlihat semakin harmonis. Tapi ada kala di mana Rendra menyadari jika dia seperti diasingkan.

Hari ini dia lulus dengan nilai tertinggi di sekolah SMP-nya. Alih-alih langsung memberi kabar gembira ini kepada ayah dan bundanya, Rendra malah memilih untuk mengurung diri lagi di dalam kamar.

Percuma pun dia bicara karena atensi orang-orang rumah hanya sekejap tertuju pada dirinya.

Rendra terlonjak dari posisi tidur. Dia duduk di depan komputer saat baru ingat akan satu hal.

"You are not needed, Rendra. Lo lebih baik pergi dari sini." Mata dan tangannya semakin cepat bergerak menatap layar di depan.

Sebenarnya ini memang masuk ke dalam daftar keinginannya. Rendra sampai sudah pernah berdiskusi dengan Doyoung jika hal ini haruslah tergapai.

Rendra mau menetap di Beijing untuk fokus pada studinya.

Setelah beberapa gambar sekolah menengah terbaik yang ada di China keluar dari mesin print Rendra bergegas keluar kamar. Rendra tidak ingin semakin larut dalam posisi yang merugikan dirinya sendiri.

Dia jadi minim mendapatkan kasih sayang semenjak semua orang tengah antusias menyambut calon adiknya.

"Adek pulang sekolah ganti bajunya dulu dong."

Otomatis pandangan Rendra turun menatap badannya. Berdecak kesal baru ingat sampai tak melepas seragamnya dengan baju rumah.

"Lupa, aku ganti baju dulu deh." Rendra tampak ogah-ogahan. "Bun, btw Ayah di rumah?"

"Nggak dong Ren ini masih jam 2 siang masa dia udah pulang kerja? Kenapa emangnya? Kangen?" kata Nara yang sedang berada di dapur karena sedang menyiapkan makan siang untuk Rendra yang baru pulang sekolah.

"Ada yang mau aku omongin, ini penting. Bun, boleh suruh Ayah pulang sekarang?" pinta Rendra.

Nara mengernyit bingung. "Tumben banget kamu nyariin Ayah kayak gini. Mau ngomongin apa sih? Mending makan siang dulu deh ya."

Rendra menggelengkan kepalanya. Dia gak selera makan.

"Pokoknya suruh Ayah pulang aku mau diskusiin masa depan aku ke kalian berdua." Rendra menaiki tangga cepat kembali ke kamar.

Rendra bukan tipikal seorang anak yang terlambat pulang ke rumah begitu jam belajar di sekolah habis. Dia juga jarang ikut teman-temannya nongkrong. Makanya kalau siang seperti ini cuma Rendra dan ibunya yang ada di rumah.

"Mas, Rendra kangen kamu nih. Pulang gih."

Kata Nara di telepon yang sudah terhubung pada suaminya.

Ada-ada saja, kangen katanya.

Padahal mungkin nanti dia yang akan nangis-nangis begitu tahu akan ditinggal pergi jauh oleh putranya itu.

Sekitar butuh waktu setengah jam saja untuk Doyoung sampai di rumah.

"Kenapa sih Bun kok Ayah disuruh pulang tiba-tiba?" Doyoung mengecup pipi istrinya yang sudah berdiri di ambang pintu menyambutnya.

Nara mengangkat bahu. "Nggak tau deh, Mas. Rendra bilang ada yang mau dia omongin ke kamu tuh."

"Astaga." Doyoung melepas jas kerja yang menempel di badan.

Fierce Prince✔  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang