61

1.3K 124 26
                                    

Naya sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, tetapi anak perempuan itu belum sadarkan diri. Kondisinya masih terus butuh pantauan sejauh ini. Di ruangan itu sedari tadi Doyoung tak meninggalkan putrinya. Doyoung menggenggam erat tangan Naya meskipun tahu jika nanti anak itu kembali membuka matanya dia akan langsung menepis tangan ayahnya itu.

Ia masih sangat membencinya. Jika nanti Naya bangun, hanya satu hal yang ingin Doyoung lakukan. Doyoung ingin mengatakan bahwa dia sangat merindukan putri kecilnya itu.

Doyoung masih sangat menyayangi Naya meskipun anak itu sudah membencinya sejak kecil.

"Maafin Ayah Naya. Ayah sudah sangat jahat pada kamu, Adik kamu, dan Bundamu. Ayah gagal," kata Doyoung menatap sendu Naya yang terbaring lemah di ranjangnya. Hati Doyoung pedih mengetahui bahwa Naya selama ini hidupnya tak mudah untuk dijalani. Yang Doyoung ketahui dari Juno kalau Naya memang sudah seringkali ingin mengakhiri hidupnya karena bipolar disorder yang dia punya.

"Ayah janji akan lindungi Naya mulai sekarang, Ayah akan terus pantau Naya. Sekali lagi maafin Ayah ya, Nak." Laki-laki itu hanya punya waktu sedikit untuk menjenguk putrinya.

Perlahan jari-jemari Naya bergerak sendiri seiring dengan matanya yang hendak terbuka walau masih berat.

Doyoung yang menyadari hal itu seketika jantungnya kembali berdebar. Harus siap menerima apabila Naya memarahinya.

"Ayah..."

Suara Naya terdengar lirih di balik masker oksigen itu. Tangannya bergerak aktif mencari tangan Doyoung untuk dipegang.

Tapi Doyoung mendengarnya. Dia langsung panik. Harus pergi dari tempat itu sekarang juga.

"Maaf mengganggu kamu, Ayah pergi sekarang."

Naya membuka masker oksigen yang dipakai secepat mungkin yang terasa risih untuknya dan dia mencekal lengan Doyoung agar tidak pergi meninggalkannya.

Pria itu sama sekali tidak berani untuk menoleh. Dia takut. Takut kalau anaknya itu murka mengetahui dia menampakkan dirinya lagi setelah sekian lama menghilang.

"Ayah mau pergi kemana? Ayah jangan pergi lagi! Naya kangen banget sama Ayah!" Bukan suara Naya 19 tahun yang Doyoung dengar, tetapi Naya 10 tahun yang lalu yang saat ini sedang merengek di hadapannya. Air mata Doyoung jatuh bebas. Suara anak sulungnya itu masih saja menggemaskan untuk didengar dan satu yang Doyoung inginkan sekarang ialah memeluknya.

Doyoung berbalik badan. Cepat-cepat mengecup kening anaknya itu. Dia juga sangat merindukannya.

Naya tak marah, melainkan senyumnya muncul dari wajahnya itu. Tatapan teduh Naya entah kenapa mengingatkan si tuan pada wajah istrinya.

"Ayah harus pergi. Maafin Ayah ya." Doyoung berusaha melepaskan tangan Naya yang menggenggamnya.

Naya menggeleng. "Ayah gak boleh pergi. Naya mau main lagi sama Ayah, Naya kangen sama Ayah sama Adek."

"Adek kamu di sini juga nanti Ayah panggilin. Ayah pergi dulu ya, Nak. Hope you feeling better soon." Dia mengecup punggung tangan anaknya. Setelahnya Doyoung serius untuk beranjak pergi dari ruangan Naya.

Naya tak bisa melakukan apapun selain menangis. Dia sangat merindukan ayahnya tapi laki-laki itu seakan sudah jauh sekali dari pandangannya. Kepala Naya kembali berdenyut yang membuatnya sampai meringis menahan sakit.

Pintu ruang kamar sakit itu dibuka dari luar saat Doyoung baru akan membukanya. Netranya langsung bertemu dengan mata orang yang masih mengisi ruang kosong di hatinya. Nara ada di hadapannya sekarang.

"Makasih udah datang Mas. Mas, kamu gak mau pulang ke rumah kita?" tawar Nara meski yakin tidak yakin.

Doyoung membeku dibuatnya karena penuturan barusan.

"Loh Yah mau kemana?" Itu suara Narendra yang berbicara. Dia mencegah ayahnya yang terlihat hendak pergi.

"Ayo kita pulang. Kakak kamu udah sadar, dia butuh waktu untuk istirahat, kita jangan ganggu dia dulu, Ren!" pinta Doyoung.

"Nggak! Aku mau di sini, aku mau sama Bunda, aku mau rawat Kakak juga." Rendra bersikeras tak ingin pulang. "Ayo pulang ke rumah yang sama kayak Bunda sama kakak."

Doyoung berdecak.

"Lihat kaki kamu! Kamu juga butuh istirahat, Nak." Sebisa mungkin ayah dari dua orang anak itu tak menaikkan nada bicaranya. Doyoung bukan tipikal ayah yang kasar pada anak-anaknya.

Rendra melirik ke arah dalam ruangan. Dia melihat jelas Nara sedang mendekap erat Naya yang menangis. Sementara tangan Naya tampak terangkat ke atas seakan ingin meraih sesuatu di depannya.

"Aku gak mau jauh lagi dari Bunda. Udah Ayah pulang duluan aja sana," kata Rendra.

Mata dua laki-laki itu beradu tajam seiring dengan kegiatan Doyoung yang menutup pintu kamar Naya lumayan kencang. Sedikit kesal dengan cara anak laki-laki itu yang berani membalas tatapannya. Rendra nggak pernah melawan ayahnya. Dia dididik jadi anak yang sangat menjunjung nilai sopan dan santun.

"Nanti kamu juga bakal disuruh pulang." Doyoung menggenggam erat pergelangan tangan Rendra, menyeret anak itu untuk ikut pulang bersamanya.

Di dalam mobil hanya hening yang menyapa. Doyoung fokus pada kegiatan menyetirnya. Meski tak bisa dihindari jika pikirannya masih mengingat jelas bagaimana dia bisa melihat wajah Nara dan Naya lagi setelah sekian lama. Hal itu cukup membahagiakan.

"Gak mungkin lah. Aku mau tinggal sama Bunda, Ayah juga harus ikut," pinta Rendra kembali bicara. "Pinggirin mobilnya aku mau turun, mau balik ke rumah sakit."

"Rendra cukup!!" bentak Doyoung.

Anaknya terdiam. Cuma menghembuskan nafas kasar.

Sampai di rumah Doyoung merasa benar-benar hampa dan kalut.

Ponselnya berdering.

Langsung menerima panggilan telepon itu yang berasal dari nomor tidak dikenal.

"Keadaan Naya kritis lagi Mas. Kamu ke sini ya."

Maka cepat-cepat pria itu segera menuju rumah sakit tempat Naya dirawat.

Nara sudah menangis tak henti-hentinya.

Dokter mengatakan kalau kondisi putrinya semakin memburuk.

Melihat kedatangan Doyoung maka wanita itu langsung menghambur ke dalam pelukannya.

"Naya, Mas. Anak kita kritis lagi."

"Maafin aku Nar ini semua salahku."

Nara berdiri tegak. Ia meraih pipi suaminya. Menatapnya lekat meski sorot sendu tercetak jelas

"Kamu pulang ke rumah kita ya Mas. Mungkin kalau Naya tahu kamu tinggal sama kami ini bisa membantunya untuk pelan-pelan sembuh. Setidaknya aku udah gak mau lihat Naya mencoba bunuh diri lagi dan lagi."

Pedih mendengar keadaan Naya yang menjadikan kebiasaannya ialah malah mau mengakhirinya hidupnya sendiri.

Doyoung memeluk erat Nara, membiarkannya menangis dalam dekapannya itu.

"Iya Nar, aku akan mencoba untuk membuat hidup Naya lebih baik lagi. Aku akan kasih figur ayah yang baik untuk dia, buat Rendra juga pastinya."













Note : sebenarnya Fierce prince terdapat season 2, part ini ialah ending di season 1-nya. Tapi aku memutuskan untuk menggabungkan keduanya di satu buku ini yah.

So keep enjoy

Don't forget give me vote and comment 🤗

Fierce Prince✔  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang