Pagi hari namun mentari sudah terik sekali. Terlihat sibuk Doyoung mengeluarkan koper-koper itu dari bagasi mobil.
Di depannya sudah ada dua wanita yang tersenyum menyambutnya.
"Aku seneng banget akhirnya bisa tinggal sama Bunda," ujar Rendra menginterupsi.
Nara mengelus rambut putranya. "Bunda juga Ren seneng bisa rasain hidup utuh lagi sama keluarga kita."
Doyoung tersenyum memandangi istri dan anak-anaknya.
Banyak moment yang mereka lewati bersama. Rasa-rasanya dirinya memang pantas dicaci maki karena menyia-nyiakan kebahagiaan yang sebenarnya ada di rumah.
Untuk apa ia pergi bukannya berjuang menaklukkan hati Naya, saat itu.
Sayangnya waktu tidak bisa diulang.
"Ayo masuk Mas." Nara tersenyum simpul pada suaminya itu.
Masuk ke dalam rumah. Semua masih sama, tak banyak yang berubah. Kenangan demi kenangan itu terukir indah pada ingatan Doyoung.
Bahkan bayang-bayang masa saat mereka berdua, maupun bermain berempat dengan si kecil Naya dan Juno masih hangat dalam ingatan. Doyoung pecundang, dia cuma menginginkan sesuatu sesuai yang ia benar-benar ingin lakukan. Tidak pernah meminta persetujuan dari istrinya lebih dulu.
Nara pikir kepergian Doyoung saat itu memang cuma sebentar sehingga ia tidak begitu mengkhawatirkan.
"Kamar Rendra di mana?" tanya Rendra.
"Sebelah gue aja. Yuk gue anterin," balas Naya ramah.
Naya sebenarnya belum terlalu ingat kalau ia ternyata mempunyai adik kandung. Namun, sebaiknya tidak menolak kehadiran adiknya saat ini. Karena Naya cuma tahu hanya Juno lah adik angkatnya.
Sepeninggalan dua anak itu maka di ruang tengah itu Nara dan Doyoung saling membisu.
Nara memerhatikan sang suami beserta koper yang ia bawa. Sementara pria itu masih menscan dengan detail penjuru rumah mereka.
"Kamu mau tidur di mana Mas? Kamar di sini masih banyak," ujarnya.
Lamunan Doyoung pun buyar. Senyumnya mendadak luntur mendengar pernyataan itu. Hatinya sakit, namun pun telah tertampar keadaan.
Nara mana mungkin menerimanya dengan instan.
Bahkan untuk tidur bersama pasti sudah tidak sudi.
"Terserah Nar di kamar mana aja," jawab pria itu ikhlas.
Nara mengangguk paham. "Kamar situ aja yah, gede kok kamarnya."
Kamar nomor dua pada bagian lantai dasar itu. Doyoung ingat kalau kamar itu biasanya akan ditempati oleh tamu penting. Misalnya seperti orang tua mereka yang sesekali datang untuk menginap.
"Iya Nara." Doyoung berjalan ke sana.
Malam hari. Ada kecanggungan yang tentu mereka rasakan.
Doyoung sudah terbiasa berteman dengan sepi meskipun ada Narendra bersamanya tak menjamin akan ada tawa setiap hari. Tapi kini pun tawanya belum mampu hadir sekalipun keluarganya sudah bersama-sama kembali.
Keluar dari kamar Doyoung menemukan Rendra yang sedang meratapi wadah makanan Keren-kucing Rendra, yang sudah kosong. Anak itu berdecak kesal.
"Pantes ya lo dari kemarin ngintilin gue mulu ternyata makanan lo habis? Kenapa gak bilang sih?" Narendra menepuk jidatnya keras. "Oh iya lo kan kucing mana bisa ngomong ya. Paling ngeong pas laper sama mau berak doang. Maaf ya, Bro."
Ayahnya cuma terkekeh.
Rendra yang menyadari kehadirannya cuma diam.
Masih kesal karena semalam Doyoung tak mengajaknya ke rumah sakit sehingga ia tidak tahu obrolan apa saja yang dibahas, tahu-tahu sudah satu atap lagi seperti ini bersama bundanya.
"Emang diizinin Bunda bawa kucing?" Doyoung ingin menakuti putranya.
Rendra mendelik. "Gak boleh Yah? Kan cuma kucing. Lagian nanti aku kok yang urus Keren sendiri. Janji gak akan repotin Bunda."
Tapi ayahnya malahan mengangkat bahu acuh.
"Lo makan yang banyak Ren biar gemuk. Jangan kayak gue deh. Udah kecil, kurus lagi." Rendra mengajak kucingnya bicara.
"Ren kamu senang bisa tinggal sama Bunda sama Kakak?" tanya Doyoung.
"Senang banget. Aku mau juga rasain kasih sayang seorang ibu," kata anak itu.
Obrolan keduanya bertambah ramai saat Nara datang.
Tiba-tiba Nara kelihatan panik.
Ia merasa bersalah membiarkan dua pria itu belum ada makan malam.
"Maaf yah Bunda habis handle beberapa pekerjaan jadi lupa buat makan malam. Sebentar Bunda masak dulu," katanya terlihat grasa grusu sendiri.
Doyoung menahan lengan wanita itu agar tetap tenang.
"Kita pesan aja ya makan malamnya," cetusnya.
"Maaf yah." Nara benar-benar merasa bersalah.
Karena belum sempat masak makan malam terpaksa memakai layanan makanan siap saji. Mereka memesan ayam goreng.
"Bun aku bawa kucing gak apa apa kan? Tapi kucingnya baik kok." Rendra sejak tadi cuma mengkhawatirkan nasib kucingnya.
Nara tergelak. Lucu sekali anaknya itu. "Iya gak papa lah Ren. Bunda juga suka kucing kok."
Fyuh, syukurlah.
Sementara Rendra berusaha mengakrabkan diri dengan ibunya.
Doyoung malah terkesan takut-takut mendekati sang putri.
"Naya, Ayah boleh ngobrol sama kamu kan?" tanyanya hati-hati.
Jawaban anak itu mengangguk tapi wajahnya dingin.
"Kamu udah kuliah kan?"
Lagi-lagi Naya mengangguk.
"Fakultas apa Nak?"
"Kedokteran. Udah? Aku masuk ya, ngantuk."
Semua orang yang di meja makan itu terhenyak melihat kepergian Naya.
Tampak malu namun pasti, Nara meraih tangan suaminya untuk digenggam.
"Gak papa Mas pelan-pelan aja yah, Naya belum terbiasa nerima kamu kali. Nanti terus bujuk dia supaya kalian dekat," jelasnya.
Doyoung tersenyum.
Usai makan malam keluarga kecil itu pun memutuskan istirahat.
Tapi Rendra dibuat terkejut saat secara tidak sengaja mendapatkan keadaan di mana ayah dan ibunya tidak masuk di kamar yang sama.
Mereka tidur terpisah?
Hatinya memanas. Ia harus bisa mengembalikan keluarga ini menjadi harmonis.
Ya, tujuan Rendra cuma satu. Dia ingin keluarganya kembali utuh. Rendra belum merasakan kasih sayang dari orang tuanya secara penuh selayaknya anak-anak pada umumnya.
Vote comment!!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Fierce Prince✔ [END]
Fanfiction[ SUDAH TAMAT ] Dia memang ketus dan galak, namun bukankah sifatnya yang susah ditaklukkan justru membuatmu makin penasaran? Doyoung fanfiction 2020 Cover: @cindy_muffin