You 91: See You Everyday

1K 85 4
                                    

Gyeonggi-Do

Suara intrumen musik klasik di kamar yang hangat itu perlahan membangunkan Jennie dari tidurnya. Jennie mengerjapkan matanya perlahan, melihat ke sekeliling, mencari tubuh yang didekapnya semalaman. 

Ia duduk diatas tempat tidur dan mendapati Jisoo sedang berdiri menyesap teh hangat di tangannya sambil melihat keluar jendela. Ia masih memakai kemeja bergaris yang sedikit kebesaran di badannya. Perlahan Jennie mendekat dan mendekap Jisoo dari belakang. 

"Chagiya." Jennie menempelkan dagunya ke bahu Jisoo.

"Sudah bangun hm?" Jisoo mengelus jemari Jennie yang melingkar di perutnya.

Jennie balas menggenggam tangan itu erat, kemudian Jisoo berbalik menghadapnya.

"Pagi sekali? Kita masih punya satu jam sebelum berangkat." 

Jisoo menyentuh kepala Jennie dengan lembut, merapikan rambutnya pelan-pelan.

"Satu jam itu cepat berlalunya. Jangan kau buang sia-sia!" Jennie menjawab Jisoo dengan cepat.

"Galak sekali." Jisoo tertawa mendengar jawaban Jennie.

"Satu jam memang cepat berlalu... jika aku bersamamu." sambung Jisoo.

"Jinjja." Jennie mendengus mendengar candaan Jisoo.

"Jinjja. Jangankan satu jam, satu abad saja terasa sebentar sekali. Tapi terasa seperti sepuluh abad tanpamu." Jisoo mengangguk.

"Pantas saja banyak yang menyukaimu ya. Kau pandai membuat orang luluh." 

"Mwo?!" Jisoo tertawa.

Diluar dugaan Jisoo, Jennie  tidak mudah dibuat luluh pagi ini.

"Tapi kan tetap saja kau yang menang?"

Jisoo menatap Jennie, mengusap jemari Jennie dan mengecupnya sambil tersenyum.

"Jangan tersenyum seperti itu!"

Jennie mencubit perut Jisoo.

"Kenapa? Kau tidak tahan?" Jisoo tambah menggodanya.

"Ani!"

"Lalu?" Jisoo mengusap jari manis Jennie yang sudah terpasang cincin sejak Jisoo memberikannya tiga tahun yang lalu.

"Aku mau mandi." Jennie melepaskan kontak matanya dengan Jisoo dan berjalan ke kamar mandi. Ia bisa terlambat bekerja jika menatap mata itu lebih lama. Mata yang membuatnya luluh.

"Baiklah. Nanti sarapan dulu bersamaku sebelum ke studiomu ya!" 

***

"Kau sudah memutuskan kita akan liburan kemana?"

Lisa menatap Chaeyoung yang sedang menyetir di sebelahnya.

"Sudah. Besok kita akan ke... Gyeonggi-Do!"

Teriak Chaeyoung dengan penuh semangat.

"Mwo? Kenapa kesana? Kau ingin melihat Jisoo, ya?"

Chaeyoung rolling eyes mendengar tuduhan kekasihnya yang masih saja pencemburu ini, padahal mereka sudah lama menikah.

"Kau itu kurang apalagi, Nona Lisa? Kau memilikiku seutuhnya, tenang saja! Tidak ada yang bisa menggantikanmu! Tidak akan!"

Chaeyoung menenangkan Lisa dengan berapi-api.

"Mwo? Lalu asisten-asistenmu yang tidak bisa menjaga tangan mereka saat berada di dekatmu itu apa ya?"

"Hehehe." Chaeyoung bingung harus menjawab apa. 

Lisa melempar death-glare-nya pada Chaeyoung.

"Kau ini memang cari mati!" Lisa mencubit pipi Chaeyoung erat-erat.

"Ampun! Nanti saja tunggu aku sampai di kantor!"

***

"Yang itu salah. Nanti dipindahkan ya. Jangan begini!"

Irene sedang memberi pengarahan pada pekerja part-time di depannya.

"Baik." pekerja itu baru hendak melewati Irene.

"Hei! Siapa yang suru dia menyusun barangnya disitu! Hei! Kembalikan kesana!"

Irene menunjuk pekerja di rak paling ujung.

"Aku yang suru. Kenapa?!"

Pekerja yang diteriaki Irene itu menoleh ke belakang, menatap Irene.

"Mwo? Kau? Kenapa kau susun disitu? Itu salah! Pindahkan! Cepat!"

Krystal kira Irene akan malu karena menganggap dirinya pekerja, ternyata Krystal salah. Dia malah diperlakukan dua kali lebih parah dari pekerja part time yang tadi.

"Sudah jadi pemilik minimarket pun masih saja lemah. Ck. Dasar payah."

Seorang nenek melihat mereka dari kaca depan minimarket itu lalu perlahan melanjutkan jalannya.

***

"Sudah mau pulang?"

"Iya. Aku masih ada jadwal." Krystal menjawab Appa-nya dengan datar.

Sebenarnya Krystal malas harus menjumpai Appa-nya di panti jompo ini, malas melihat Appa-nya masih berada dibawah bayang-bayang cinta lamanya, dan ia sendiri sibuk mengurus semua bisnis Appa-nya.

"Baiklah." Appa Krystal mengangguk. 

Krystal memperhatikan rambut Appa-nya sudah memutih, dan keriput di wajah Appa-nya bertambah. Tapi dia sebal dengan tatapan Appa-nya pada wanita yang berdiri di depan sana, yang sedang bercengkerama dengan beberapa orangtua disitu. 

"Appa."

"Hm?"

"Jangan terlalu memelihara perasaanmu."

"Maksudmu?" Appa Krystal menatap Krystal sambil tersenyum.

"Iya, melihat Eomma Jennie, pemilik panti jompo ini, dengan tatapan kagum dan memuja seperti itu!"

"Krystal, aku tidak berharap memilikinya lagi. Jangan takut aku akan sedih..." 

"...aku bahagia masih bisa melihatnya disini, berbincang dengannya walau sebenatar, melihatnya tertawa, mendapatkan sedikit perhatian darinya, dan bersama-sama berbuat baik untuk kebaikan banyak orang." Appa Krystal masih tersenyum.

"Hah, beruntung sekali dia dicintai Appa sampai seperti ini. Ya sudah, aku pulang."

***






YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang