"Saat-saat bersamamu adalah saat terbaik dalam hidupku."
Itu kalimat Jennie, untukku. Bertahun-tahun yang lalu. Sebelum malapetaka itu datang.
"Kenalkan, ini ibumu yang baru."
Sampai Appa membawa wanita itu datang ke rumah. Wanita yang juga menjadi eomma Jennie.
"Apa salahku?"
Tanyaku ketika Jennie tiba-tiba menjauhiku.
"Tidak ada."
Jawabnya, dingin, sambil berlalu meninggalkanku.
"Kita masih bisa seperti dulu, kan?"
"Tolong menjauhlah dariku. Dan tidak ada lagi kata kita untuk ke depannya."
Bantahnya, tanpa peduli perasaanku yang mendengarnya.
Sampai kemudian datang sosok siswi sempurna di sekolahku, membuat semua orang membicarakan kesempurnaannya.
"Kim Jisoo."
Aku membaca tumpukan berkas murid baru untuk mendapatkan informasi tentangnya.
"Hmm?"
Hingga aku tersadar alamat rumahnya sama dengan Jennie.
Ini aneh, bukan? Appa Jennie menikah lagi?
Tunggu...
Mungkin melalui anak ini, aku bisa mendapatkannya kembali.
Kau tidak tahu kan Kim Jisoo, bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang berharga? Akan kubuat kau merasakan itu. Dan akan kubuat Jennie merasakannya juga.
Itu pikiranku dulu, saat aku mulai menyusun rencanaku. Kupikir dengan menyakiti Jisoo, dia akan kembali. Tapi...
Kenapa ketika aku menyiksanya kau hanya diam? Melihatnya dengan tatapan dingin, tidak perduli.
Lama-lama aku terbiasa menjadikan gadis itu pelampiasan kekesalanku. Terserah kau mau perduli atau tidak. Hingga tiba-tiba kau datang. Ya, kau datang! Rencanaku berhasil untuk menarikmu. Tapi menarikmu untuk menyelamatkannya, bukan kembali padaku.
Kenapa kau perduli padanya?
Fokusku kembali padamu seutuhnya. Mengamatimu...
Tapi kau tau, Jen? Sikapmu yang diam-diam perduli padanya dan memperhatikannya diam-diam membuatku muak.
Kau suka padanya, kan?
Ayolah, aku tidak tahu hubungan kalian apa, tapi tidak bisa kah kau menoleh padaku sebentar saja?
Apa aku sudah benar-benar kehilanganmu?
Apa kita benar-benar sudah berakhir walau kita tidak pernah menyatakan apapun satu sama lain?
Apakah kedua orangtua kita menikah itu salahku?
Apa aku harus meninggalkan mereka juga agar aku merasakan kesepian seperti yang kau rasakan?
Ah, tapi sepertinya kau tidak kesepian sejak ada kehadiran Kim Jisoo.
Itu membuatku muak hingga aku sangat membencinya.
Siapa dia?
Kenapa dia bisa merebut perhatianmu sepenuhnya?
Ah, tidak hanya perhatianmu, kan?
Perhatian teman-temanmu juga.
Apa aku harus mengeluarkannya dari sekolah? Atau membuatnya jera? Atau malah keduanya?
Sepertinya keduanya lebih baik.
Hingga terjadilah kejadian hari ini, yang berhasil membuatmu datang kembali, menemuiku.
"Dimana Jisoo?" Tanyamu, dingin.
"Kenapa kau mencarinya?"
"Dimana Kim Jisoo?"
"Kau kembali hanya untuk mencarinya?"
"Ya."
"Untuk apa kau mencarinya?"
"Cepat beritahu aku dimana dia kalau kau tidak mau melihat masalah besar di sekolah ini."
"Kalau dia mati bagaimana?"
"Jaga mulutmu."
"Kenapa? Dia gadismu yang berharga ya? Bagaimana? Kau sudah mencicipinya, hm? Kalian pasti sangat leluasa di rumahmu itu."
Sebuah tamparan melayang keras di pipiku.
"Sekarang kau tau kan kenapa aku meninggalkan teman sepertimu?"
"Saranghae, Jennie. Aku masih mencintaimu."
"Aku tidak." Kau menjawab dengan datar dan dingin.
"Kau sedang berbohong kan?"
Aku menarik kerah bajunya.
"Katakan dimana Jisoo, dan jangan mengganggunya lagi. Kau mengganggunya, maka kau berurusan denganku. Kau berani melukainya, maka aku tidak akan segan-segan melukaimu dan seluruh keluargamu."
"Kau mengancamku? Ibu kita sama. Kau tega?"
Aku menjadikan eomma sebagai senjata.
"Ibuku. Bukan ibumu. Ayahmu, bukan ayahku. Lantas darimana kau bisa bilang sama? Kau berani melukai Jisoo? Aku akan melukaimu. Berani melukai eomma-ku? Maka aku akan melukaimu dan appa-mu. Paham?"
"Kenapa kau begitu membelanya?! Hah?! Kau benar-benar menyukainya sampai melakukan hal seperti ini?!"
Jennie mengeluarkan cutter dari saku roknya.
Ia menempelkannya di leherku.
"Aku sedang tidak main-main. Tolong patuhilah. Dan jangan bawa teman-temanku ke dalam urusan ini."
"Akan kubunuh mereka semua!Jisoo! Dan semua teman-temanmu! Sialan!"
Ancamku. Aku meneriakinya.
"Bunuh saja. Aku tidak takut. Jika kau berani melakukannya, akan kupastikan kau juga mati. Dan aku tinggal mengakhiri hidupku saja yang memang sudah tidak ada artinya lagi. Jadi, lakukan saja sesukamu jika memang aku sudah tidak ada artinya lagi dimatamu."
Kau pergi setelah mengatakan itu.
Dan kalimat terakhirmu itu membuat air mataku terjatuh.
***
Ngetik gini kok gue sedih ya wkwkwk Have a nice day, reader... Jaljayo wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
You
FanfictionYou are the reason I cry, the reason I laugh, the reason I fall in love with.