You 29: Tears and Tease

1.5K 222 126
                                    

"DASAR SIAL KAU!"

Aku terbangun.

Kudengar suara teriakan dan isakan dari luar. Jam berapa ini?

Jam 1 pagi.

Aku bergegas berdiri dan membuka pintu, berlari menuju kamar Jennie. Tapi tak kutemukan apa-apa disana. Aku berlari menuju ruang tamu.

Sebuah pemandangan menyedihkan membuatku pilu.

Appa memukulinya lagi. Disaat aku sedang tertidur.

Tepat disaat kaki appa sedikit lagi mengenai Jennie, aku menghalanginya. Membuat terjangan itu mengenai punggungku.

"Minggir! Pergi Jisoo! Ini bukan urusanmu!"

Appa menarikku. Tapi aku tak bergeming, melindungi Jennie dalam dekapanku, memeluknya dengan erat. Jennie memegang tanganku erat. Dia ketakutan.

"Appa siksa saja aku. Aku tak akan pergi."

Jawabku. Masih mendekap Jennie yang terdiam.

"Ck.."

Appa beranjak pergi keluar rumah, membanting pintu.

Jennie hanya diam sambil menatap pintu dengan tatapan kosong. Dia masih memeluk lenganku.

"Hei, sudah ya, tenang. Dia sudah pergi."

Aku mengelus kepalanya, mencoba menenangkan sekaligus mengembalikan kesadarannya.

"Kita ke kamar ya?"

Jennie hanya mengangguk. Aku membantunya berdiri.

Jennie berjalan mendahuluiku ke kamarku.

Tunggu??

Kenapa ke kamarku bukan kamarnya??

"Ini anak kenapa jadi suka-suka dia sih?"

Aku mengikuti langkahnya. Kasurku kecil, sempit jika ditiduri dua orang.

Aku menahan nafasku, sesak melihat pemandangan di depanku. Jennie berbaring, ia terisak sambil menutupi matanya dengan sebelah lengan.

"Mana yang sakit?" Aku duduk di lantai, menyentuh kepalanya.

Ia membuka sedikit tangannya, memperlihatkan matanya yang tertutup lengan, menatapku.

Ia menurunkan tangannya, menunjuk pelipisnya.

"Ini." Jawabnya, lemas.

Aku mendekat, melihat pelipisnya. Sedikit lebam kemerahan, ada luka gores.

"Sebentar."

Aku hendak berdiri mencari obat tapi tangan Jennie menahan tanganku yang baru mau kutarik dari pelipisnya.

"Jangan pergi. Diam disini saja."

Ujarnya sambil terpejam.

"Tapi harus diobat-"

"Tidak perlu. Stok obat di rumah kita sudah habis. Duduk."

Ia kembali ke sifat asalnya, suka memerintah. Aku mendengus sebal, tapi menuruti permintaannya.

"Dasar keras kepala."

Umpatku.

Ia mendengus, tertawa kecil, lalu menggeser badannya.

"Naik kesini."

Ujarnya, masih sambil memejamkan mata.

"Mwo? Itu sempit."

"Naik, kau mau pantatmu masuk angin?"

Ledeknya.

"Tinggal dikerok!" Jawabku asal.

YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang