Dua Puluh Tiga

587 101 2
                                        

Mata hijau indah yang melebar dari balik kacamata kotak itu membuat Arka hampir tidak bisa menahan senyuman. Karena tidak hanya kaget. Tapi Arsya jelas menatapnya dengan penuh kebingungan. Arka yakin kalau gadis itu sedang menebak-nebak siapa yang ada di hadapannya. Arka atau persona Arka yang lain.

Arka sendiri cukup kaget karena bisa terbangun saat awan putih yang selalu mengirimkan rasa kantuk dan lelah itu menyelimutinya. Awan putih tebal itu biasanya muncul saat Arka tertidur dan persona lain nya muncul. Dengan rasa kantuk dan lelah yang menggelanyutinya, Arka biasanya kesulitan untuk bangun. Setiap kali awan itu hadir dan menyelimuti nya, Arka baru bisa bangun saat awan putih berserta rasa kantuk dan lelah nya menghilang. Dan tiba-tiba saja hari sudah berlalu satu atau dua hari, tanpa sedikit pun ingatan tentang apa yang Arka lakukan hari itu.

Namun kali ini berbeda. Suara gumaman Arsya berhasil menembus awan tebal itu. Awalnya seperti bisikan. Tapi kelamaan suara Arsya semakin jelas dan berhasil mengusir rasa kantuk dan lelah Arka. Bahkan awan putih itu perlahan menipis menjadi kabut yang dapat dengan mudah Arka usir. Arka hanya perlu berkonsentrasi pada suara Arsya. Kemudian suara itu seakan menjadi mercusuar yang menuntun nya menuju kesadaran. Hal yang tidak pernah bisa dilakukan bahkan oleh dokter Costner.

"Galen?" Arsya akhirnya kembali berkata dengan hati-hati setelah menegerjapkan bulu matanya beberapa kali. Jelas itu bukan untuk menggoda Arka seperti yang dilakukan Jilly. Tapi lebih pada mekanisme tubuh Arsya untuk mengusir rasa kaget nya. "Dia tadi kesini. Dan ya, dia memberitahuku untuk tidak membangun kan mu."

Dari cara Arsya berbicara dengan perlahan, jelas menunjukkan bahwa gadis itu masih belum yakin siapa yang ada di hadapannya. Arsya sedang bersikap sangat berhati-hati padanya. Karena itulah gadis itu tidak sekalipun menyebut namanya.

Upaya Arsya itu membuat Arka tidak bisa menahan diri untuk tidak menjahilinya. "Jadi kamu seharusnya tau kalau aku tidak suka tidur ku terganggu. Terlebih saat aku tidak tau kenapa tubuhku sangat lelah seperti ini."

Arsya membuka mulutnya. Tapi tidak ada satu katapun yang keluar. Kemudian gadis itu menutup kembali mulutnya sebelum menghela nafas panjang.

"Maaf, aku tidak bermaksud mengganggu tidurmu." Ucap Arsya yang masih memandang Arka dengan penuh kebingungan. "Tunggu... kamu mengenalku?"

Seperti dugaan Arka, Arsya memang lah gadis cerdas. Tapi Arka tidak ingin membuat permainan menyenangkan ini berakhir begitu saja.

Dengan santai Arka mengangkat kedua bahunya. "Aku rasa aku mengingat wajahmu."

Kening Arsya kini berkerut. Tapi Arka dengan sengaja tidak memberinya kesemapatan berbicara. Arka dengan cepat memotong saat Arsya terlihat hendak membuka mulutnya.

"Kenapa aku bisa tertidur di bahu mu?"

Pertanyaan itu membuat Arsya harus mengulum bibirnya dan menelan ludah. Kemudian berdehem beberapa kali. Ekspresi kebingungan yang lucu pun tampak di wajahnya. Hingga Arka akhirnnya tidak bisa menahan seringainya.

"Kamu Arka?!" Mata hijau indah Arsya melebar. "Seringai itu! Hanya Arka yang bisa menampak seringai arogan menyebalkan itu."

"Arka?" Dengan sengaja Arka mengerutkan dahi. Meski sebenarnya pertanyaan itu lebih ditujukan pada cara Arsya memanggilnya. Rasanya sudah lama sekali Arka dipanggil tanpa gelarnya. Dan entah mengapa Arka lebih menyukai Arsya memanggilnya seperti itu.

"Bukan? Kamu bukan Arka?"

Ekspresi Arsya yang kini berganti seperti telah melihat hantu. Ditambah dengan rasa bersalah yang juga tergambar di wajahnya. Semua itu berhasil membuat Arka tertawa.

Arsya. Kesan pertama Arka pada gadis itu adalah dia gadis penipu. Gadis yang kemungkinan dikirim musuhnya untuk menjatuhkannya. Tapi setelah melihat bagaimana mudahnya Arsya memperlihatkan emosi dan ekspresi nya di depan Arka. Arka pun yakin bahwa Arsya tidak lebih dari seorang gadis polos, tidak lebih.

CHARTREUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang