Lima Puluh Satu

552 98 0
                                    

Arsya tidak pernah merasakan kenyaman seperti ini sebelumnya. Kenyamanan yang dibalut dengan kehangatan yang membuat Arsya ingin bergelung mendekati sumber panas yang menghangatkan tubuh nya. Kenyamanan yang membuat mata Arsya terasa berat untuk di buka, meskipun bunyi alarm ponselnya mulai meraung.

Bangun Arsya. Kamu tidak ingin membangunkan Arka, bukan? Kamu ingin dia tidur nyenyak 'kan? Jadi kamu harus bangun dan mematikan alarm itu sebelum alarm itu membangunkan Arka.

Suara nya sendiri yang bergema di kepala Arsya itu, berhasil memberi kekuatan pada Arsya untuk menggerakkan kelopak matanya. Sementara tangan nya terulur mencoba meraih ponselnya. Tapi sayangnya uluran tangannya tidak berhasil mencapai meja samping tempat tidur. Tangan Arsya hanya berakhir menepuk-nepuk kasur yang empuk di belakang tubuhnya.

Kenapa meja nya jadi jauh sekali? Itu berarti aku berada di tengah-tengah ranjang? Tunggu... Lalu kenapa bagian depan tubuhku terasa hangat tapi punggungku kedinginan?

Pemikiran itu berhasil membuat mata Arsya terbuka lebar seketika. Hal pertama yang dilihat Arsya adalah langit-langit kamar Arka. Tapi saat menyadari pipinya bersentuhan dengan sesuatu yang lembut dan hangat, Arsya pun mengalihkan pandanganya. Kulit kecoklatan yang tertangkap oleh ujung matanya membuat mata hijau Arsya melebar maksimal. Sementara nafasnya tercekat dan kerja otaknya melambat saat Arsya menyadari dirinya sedang berada dalam pelukan Arka.

Tanpa tau harus berbuat apa, Arsya justru menggerakkan kepalanya kearah kulit yang membalut otot dan tubuh kokoh itu. Bagai terhipnotis, pandangan Arsya terpaku pada dada bidang yang tersuguh di depannya. Hingga telinga nya mampu mengabaikan deringan dan getaran alarm dari ponselnya. Tuli sementara karena bunyi detak jantungnya sendiri, lebih tepatnya.

Dengan perlahan pandangan Arsya menyusuri setiap pahatan Sang Pencipta yang terbentuk sempurna di hadapannya. Jantung Arsya pun semakin kehilangan ritme debaran normal nya. Seperti baru saja berlari memutari stadium dengan kecepatan penuh, begitulah jantung Arsya bekerja saat ini.

Akal sehat Arsya yang tersisa, berhasil mengingatkan nya untuk tidak menarik pandangannya ke bawah. Dengan berpegang sisa akal sehat itu, Arsya berhasil memaksa matanya untuk melanjutkan penelusaran menaiki dada Arka yang bergerak teratur seiring dengan tarikan nafasnya. Meski Arsya justru harus menelan saliva saat pandangannya beranjak menaiki leher kokoh dan jenjang yang dihiasi jakun maskulin itu. Dengan sekuat tenaga, Arsya menahan godaan untuk menyentuh area itu.

Kamu bukan Dracula atau werewolf, Arsya. Kenapa bibirmu tergelitik untuk menyentuh kulit leher Arka? Apa yang akan kamu lakukan saat bibirmu menyentuh lehernya? Menggigit nya? Menghisap darahnya?

Arsya pun menggeleng untuk mengusir keinginan aneh yang timbul dari dalam dirinya. Kemudian kembali berusaha membuat pandangannya mendarat pada rahang kokoh dengan rambut jenggot pendek yang telah kembali menghiasinya. Geteran elektrik kecil itu kembali bermain di bibir Arsya. Arsya bahkan harus menggigit bibir bawahnya saat pandangannya bertemu dengan bibir sempurna Arka yang terlihat begitu lembut.

Dengan sisa pengendalian diri nya, Arsya segera menarik matanya kearah hidung Arka. Hidung yang membentuk dua sisi segitiga dengan sudut berderajat sempurna untuk hidung mancung yang menggambarkan darah biru dan keragoanan seorang pangeran. Hingga akhirnya penelusuran Arsya berakhir pada bulu mata tebal dan panjang yang menghiasi kelopak mata yang kini mulai bergerak.

"Kapan kamu akan mematikan alarm mu itu?"

Sebelum otak Arsya sempat memerintah tubuhnya untuk bereaksi. Suara berat Arka yang ternyata jauh lebih menggoda saat dia baru bangun, berhasil membuat Arsya panik. Tapi Arsya hanya bisa mengerjapkan mata nya saat kelopak mata Arka perlahan terbuka. Kemudian otak Arsya kembali gagal berfungsi normal saat mata biru langit Arka menghujam langsung kearah kedua mata Arsya.

CHARTREUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang