Delapan Belas

637 107 1
                                        

Arka kembali mengumpat saat ikut membaca tulisan di kertas yang di tempel di badan mini bolt berwarna merah itu, dari belakang punggung ayahnya. Benar dugaan Arka. Arsya kini telah menjadi target incaran bahaya yang selama ini mengancamnya.

"Mini Crossbow." Gumam Raja Audric.

Arka juga berpikir sama. Karena itulah Arka kembali kesulitan mengontrol emosi dan amarahnya. Sedikit saja arah sasaran mini crossbow itu bergeser. Maka leher Arsya tidak hanya tergores. Tapi gadis ini tidak akan berada di ruangan ini dan bernafas. Sialan!

"Ada apa ini?" Sang Ratu memasuki ruang kerja Raja Audric, sebelum Arka sempat membuka suara untuk menanyakan beberapa hal pada Arsya. Ratu Atherya masuk ke ruangan kerja itu bersama Galen dan Maya, dokter kerajaan yang juga sahabat sang Ratu. "Kenapa Galen harus membawa kotak first aid. Siapa yang terluka?"

Sebelum ada yang menajawab nafas sang Ratu tercekat saat pandangan tertuju pada Arsya. Tentu saja. Meski gadis itu mencoba terlihat tenang, tapi wajahnya terlihat pucat. Meski tangannya berusaha menutupi lukanya, tapi darah mulai merembes ke selah-selah jarinya.

"Arsya? Apa yang terjadi padamu?" Ucap Ratu Athreya yang duduk di samping Arsya. Tapi lagi-lagi. Sebelum gadis itu sempat membuka mulut untuk menjawab, Sang Ratu bertindak cepat dengan memberi berbagai perintah. "Galen! Berikan kotak first aid itu pada Maya. Pangeran Arka, gunakan energi kemarahan mu untuk mengangkat sekat itu."

Begitulah Ratu Athreya. Ibu Arka itu selalu mampu mengamati segala sesuatu dengan cepat dan memberikan perintah yang tidak terbantahkan. Sehingga Arka pun hanya bisa menjalankan perintah ibunya itu tanpa berdebat. Toh itu hal yang tepat untuk dilakukan saat ini. Terutama kalau dirinya ingin luka Arsya segera diobati.

"Bagaimana menurutmu?" Tanya Raja Audric begitu sekat pembatas yang biasa dipakai Sang Raja atau Ratu berganti pakaian, selesai dipasang di depan sofa tempat Arsya duduk.

"Hanya beberapa saat setelah pengumumannya sebagi calon istriku. Sudah ada dua ancaman yang ditujukan untuk Arsya." Arka mengepalkan tangannya dengan kesal. "Mereka benar-benar tidak bisa tenang sedikitpun."

"Dua?" Sang Raja yang duduk di kursi kerja nya menaikkan satu alis tebal nya.

"Iya." Arka menghela nafas sambil menyandarkan punggung di kursi depan meja ayahnya. "Sebelum ada yang mengincar Arsya dengan mini crossbow, Jilly sudah mengancam akan memberitakan tentang aku dan Arsya yang tinggal satu atap."

Meski Arka yakin bahwa Jilly masih belum memiliki bukti kuat atas informasi yang entah didapatnya dari siapa itu. Karena Jilly tidak akan repot-repot memberikan ancaman jika sudah mendapatkan bukti kuat. Wanita itu akan segera memberitakan hal itu, begitu mendapatkan bukti yang dibutuhkannya.

Bagaimana pun serangan terhadap moral Arka adalah cara tercepat untuk dapat menjatuhkan nama Arka. Karena meskipun Chartreuse termasuk negara maju. Tapi rakyat masih memandang hubungan pernikahan adalah hubungan yang sakral. Tinggal satu atap dengan lawan jenis sebelum menikah adalah hal yang tabu. Terlebih bagi seorang Putra Mahkota.

"Kamu seharusnya sudah menuntut reporter itu sejak dulu." Ujar Ratu Athreya dengan nada kesal. Tentu saja beliau mendengar diskusi itu dari balik sekat bersama Arsya. Karena memang Sang Raja dan Pangeran sudah percaya dengan orang-orang yang berada di ruangan itu. Sehingga mereka pun berdiskusi tanpa mengecilkan suara. "Tapi kamu selalu membiarkannya hanya karena dia adalah adik sahabatmu."

"Aku hanya tidak ingin menghabiskan waktuku untuk hal yang tidak penting, Emme." Kilah Arka sambil memperhatikan ibu nya berjalan menuju lemari walk in. Begitu sudah berada di dalamnya, beliau terlihat sedang sibuk mencari sesuatu di lemari yang memuat baju-baju darurat sang Raja dan Ratu saat mereka harus menghadiri acara dadakan.

CHARTREUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang