Tiga Puluh Tiga

556 101 4
                                    

Arsya berpikir bahwa bisa berbicara santai dengan Arka tanpa berdebat beberapa malam yang lalu adalah sebuah keberuntungan. Tapi ternyata keberuntungan Arsya tidak berhenti sampai disitu. Bahkan bisa dibilang pemandangan yang dilihatnya pagi ini di pantai lebih dari sekedar keberuntungan. Keajaiban? Anugerah?

Manapun yang sesuai untuk menggambarkan pemandangan dua pria tampan sedang berlatih pedang dengan bertelanjang dada. Dengan latar belakang biru nya laut dan langit yang indah. Bahkan amarah Arsya yang sempat memuncak, seketika menghilang begitu mata nya menangkap gerakan cepat dan kuat dua pria dengan tubuh sempurna bak patung dewa Yunani itu. Bunyi besi saling beradu pun berpadu dengan desiran angin dan deburan ombak, menghasilkan irama yang mampu menghanyutkan seorang wanita dalam keterpesonaan.

Ayolah. Manusia bergender wanita normal mana yang bisa melepaskan pandangan dari Arka yang tampan dengan kulit nya yang sedikit kecoklatan dan Carnell dengan kulit seputih salju nya. Ditambah dengan gerakan otot abs dan bisep setiap kali mereka bergerak mengayunkan pedang. Arsya beruntung kalau saat ini mulutnya tidak sedang terngangah lebar dan meneteskan air liur.

Jangan tanyakan bagaimana kabar jantung dan otak Arsya. Dua organ vital Arsya itu memberikan reaksi yang bertolak belakang. Sementara jantung Arsya berkerja berlebihan, memompa darah dengan semangat ke seluruh tubuh Arsya. Otak Arsya mendadak kehilangan daya untuk berpikir. Arsya bahkan lupa kenapa dirinya tadi mencari Arka dengan ponsel tergenggam di tangan. Apalagi alasan nya untuk marah untuk pria itu.

"Seharusnya kita berlatih pedang tiap hari, Carnell."

Arka akhirnya bersuara setelah pedangnya beradu dengan milik Carnell dengan keras. Nafas kedua nya terlihat hanya sedikit tersengal. Padahal pertarungan mereka tadi begitu sengit. Jelas keduanya memiliki stamina yang luar biasa.

"Lihatlah, kita berhasil membuat seorang Arsya terpesona." Tambah Arka begitu dirinya menarik pedang nya. Sebelum menoleh pada Arsya, pria itu menyerahkan pedangnya pada Carnell. Baru setelahnya Arka memberikan seringai nya yang khas kearah Arsya. "Tutup mulutmu, Arsya. Air liur mu hampir menetes."

Arsya pun menggeleng dan mengerjapkan matanya. Saat itulah dirinya sadar bahwa saat ini mulutnya dalam posisi terbuka lebar. Seketika itu juga Arsya mengusap mulutnya dengan telapak tangannya. Beruntung tidak ada air liur yang benar-benar mementes.

"Kamu mencariku?" Tanya Arka sambil memakai kaos berwarna abu-abu yang diterima nya dari Carnell. Kaos yang hanya menutupi kulit Arka, tanpa menyembunyikan otot-otot tubuhnya. Well, ternyata seorang pangeran Arka tidak hanya memiliki wajah yang bahkan lebih tampan dari Tom Ellis. Tapi juga memiliki tubuh yang tidak kalah dengan pemeran Lucifer Morningstar itu. Tidak heran kalau pakaian dinas Pangeran yang berupa setelan jas itu, terlihat begitu pas saat dikenakannya.

Tunggu. Apa yang ditanyakan Arka tadi?

"Ah... iya. Aku mencarimu." Arsya berusaha membuat otaknya kembali bekerja normal. Mencoba mengingat kenapa dirinya mencari Arka. Meski itu tidak mudah dengan adanya Arka berdiri di depan nya dan memandangi nya dengan satu alis tebal yang terangkat.

"Karena?"

Ayolah otak. Bekerjalah!

Aku memang mencari Arka. Apa yang ku kerjakan tadi sebelum memutuskan mencari Arka? Ah iya. Aku menerima telfon. Telfon dari Reina. Benar! Telfon itu!

Telfon yang diterima Arsya dari adik perempuannya tadi, kembali berputar di kepala Arsya. Setelah lebih dari sebulan Arsya meninggalkan Indonesia, Reina akhirnya menelfon Arsya saat dirinya baru menyalakan coffee maker di dapur. Begitulah. Keluarga Arsya bukanlah tipikal keluarga yang dekat satu sama lain. Apalagi setelah ayah Arsya meninggal lima tahun yang lalu. Arsya, Reina dan ibunya praktis seperti menjalani kehidupan masing-masing. Mereka memang jarang menghubungi satu sama lain, kecuali memang ada kepentingan.

CHARTREUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang