Dua Puluh

603 103 2
                                    

"Sang putri tidak kembali tidur?" Tanya Maiza sambil menuang kopi buatan Arsya. Kemudian menghirup aromanya. "Wow. Ini buatan sang putri?"

"Begitulah. Karena dia juga penyuka kopi. Dia bahkan bisa membuat kopi yang lebih nikmat dari buatan Emme." Jawab Arka sambil tersenyum bangga. Meski matanya tidak beralih dari layar laptop hitamnya. Layar yang sedang menampilkan video rekaman cctv Istana saat mini bolt diarahkan pada leher Arsya.

"Kamu benar. Ini benar-benar enak dan unik." Ucap Maiza setelah meminum kopinya. Kemudian wanita itu memandang Arka dari ujung cangkirnya. "Akhirnya kamu menemukan gadis yang bisa membuatmu tergila-gila." Saat melihat kening Arka berkerut. Maiza pun buru-buru menambahkan. "Pada kopinya, paling tidak. Untuk saat ini. Karena itulah kamu memintanya membuatkan satu tumbler penuh kopi."

"Kalau kamu berharap ada hubungan romantis antara aku dan Arsya." Arka menggeleng-geleng. "Kamu tau lebih dari siapapun, itu sangat mustahil. Aku tidak butuh kelemahan lain dalam hidupku, jika aku ingin menjadi raja menggantikan Issi. Dan dengan kejadian semalam. Arsya benar-benar berpotensi menjadi kelemahanku, kalau aku membiarkan perasaan ikut bermain dalam hubungan kami."

Maiza memandangi Arka selama beberapa saat sebelum menghembuskan nafas. "Aku tau malam itu kamu tidak hanya kehilangan seorang kakak. Tapi melihat bagaimana Arsya berhasil membuatmu mengakui bahwa ada kopi lain yang lebih enak dari buatan sang Ratu. Dimana sebelumnya kamu bilang hal itu mustahil. Aku juga yakin gadis yang terpilih itu juga akan bisa menghilangkan kemustahilan lain dalam hidupmu."

Arka tidak menjawab. Tapi setiap perkataan Maiza berhasil mengusik pikirannya. Gadis terpilih. Benar. Jika telaah sang Asav benar adanya. Maka bisa dibilang bahwa Arsya adalah gadis terpilih itu. Terutama dengan tanda-tanda yang ditemukan Ratu Athreya padanya. Dan memang, hanya dengan kehadiran nya dalam beberapa hari ini. Sudah banyak hal yang tidak terduga terjadi di sekitarnya. Tidak hanya sekedar kopi. Juga Kuma dan Raad yang entah bagaimanan menyukai Arsya. Tapi juga persona lain Arka yang tiba-tiba muncul. Begitu pula ancamanan yang diterima Arsya sendiri.

Rasanya gadis itu membawa dua hal yang bertolak belakang pada hidup Arka. Arsya memang mampu menghadirkan hal tidak biasa dan menyenangkan. Tapi gadis itu juga menarik hal-hal yang tidak Arka inginkan. Karena itulah Arka tidak ingin membawa hubungan mereka kearah yang Maiza harapkan.

"Shit!" Umpat Arka dengan frustasi karena tidak mendapatkan apapun dari rekaman beberapa sudut cctv. "Kamu benar, Maiza. Tidak ada satu kamera pun yang berhasil merekam pelakunya."

"Paling tidak, itu menunjukkan bahwa pelakunya adalah orang yang mengetahui seluk beluk istana." Carnell yang baru memasuki ruang makan menyabar cangkir kopi Maiza dan meminumnya. Tanpa memedulikan tatapan tajam Maiza yang mungkin bisa membunuhnya jika saja tatapan itu mengandung laser. "Kopi ini enak. Aku yakin ini bukan kopi buatan Maiza."

"Kopi itu adalah buatan gadis yang saat ini sedang menatap kita dengan pandangan penuh ketertarikan." Arka menerangkan sambil menatap langsung kearah Arsya yang sedang bersandar pada dinding ruang makan.

Meski kehadiran Arsya sama sekali tidak menimbulkan suara. Sehingga Carnell dan Maiza pun tidak sadar. Arka bisa dengan mudah menyadari kehadiran gadis itu. Tidak peduli perhatian nya awalnya tertuju pada Carnell dan informasinya. Sosok Arsya dengan cepat menarik perhatiannya, seakan ada magnet diantara mereka. Magnet yang menimbulkan kewaspadaan pada diri Arka. Karena Arka masih tetap ingin berpegang pada pendiriannya untuk tidak melibatkan perasaannya dalam urusan dengan Arsya.

"Apa yang kamu lakukan, Arsya?" Tanya Arka dengan kening berkerut saat gadis itu justru tersenyum setelah menyapukan pandangannya kearah, Maiza, Carnell dan Arka sendiri.

Arsya mengangkat bahu sambil kembali menegakkan tubuhnya. "Mengamati interaksi kalian. Sebagai seorang penulis. Interaksi kalian benar-benar menarik. Aku jadi punya ide untuk menjadikan kalian pemeran utama dalam novelku selanjutnya."

"Putri..." Carnell langsung menggeleng begitu Arsya memelototinya. "Maksudku nona Arsya. Anda tidak boleh mengekspose cerita anggota keluarga kerajaan, terutama Pangeran Arka ke public."

"Tenang saja Carnell." Arsya berkata sambil beranjak menuju dapur. "Aku tidak akan mengunakan nama kalian atau kerajaan ini. Meski, kalaupun aku menggunakan situasi ku sekarang sebagai novel, tidak akan ada yang percaya bahwa ini tidak lebih dari imajinasiku. Tapi aku tetap akan menggunakan nama lain. Juga, aku tidak akan ikut dalam cerita segi tiga kalian."

Dengan sengaja Arka tidak berkomentar. Arka justru mengikuti Arsya ke dapur. Meski tidak ingin melibatkan perasaan dalam hubungan mereka. Tapi Arka tidak bisa menahan diri untuk tidak menggoda gadis ini. Terlebih karena reaksi Arsya yang selalu tidak terduga. Hal itu adalah hiburan tersendiri untuk Arka. Terlebih dengan semua beban tugas dan masalah yang mengikuti nya sebagai putra Mahkota kerajaan Chartreuse.

"Itu karena kamu takut mengakui bahwa kamu memiliki ketertarikan padaku." Bisik Arka tepat di sisi kepala Arsya.

Gadis yang sedang memeriksa isi lemari es itu langsung tersentak. Hingga kepalanya hampir saja membentur kepala Arka. Beruntung Arka terlebih dahulu menarik diri. Meski hal itu justru membuat Arsya kehilangan keseimbangan, hingga gadis itu terhuyung ke belakang.

Karena ini bukan di novel karangan Arsya. Arka pun bereaksi dengan sekehendak hati. Alih-alih menangkap pinggang dan punggung Arsya seperti yang biasa terjadi di novel atau film romantis. Arka justru menarik kedua lengan Arsya. Dengan tubuh atletis dan tenaganya, adalah hal yang mudah bagi Arka menarik Arsya kearahnya.

Dengan sengaja Arka menarik kedua lengan Arsya dan membawa kedua lengan itu mengitari lehernya. Hingga gadis itu pun membelalakan mata hijau indahnya. Kemudian dalam hitungan beberapa detik pipi putihnya memerah seperti udang rebus.

"A.. .apa... apa yang kamu lakukan?!" Meskipun tergagu tapi nada suara Arsya berhasil meninggi. Hal yang membuat Arka tidak dapat menahan seringainya.

"Aku menolongmu, Arsya." Ucap Arka dengan santai sambil menatap ke dalam mata hijau yang mengingatkan Arka pada kehijauan hutan Forsythia saat dilihat dari atas pesawat. Hutan yang selalu membuat Arka ingin kembali ke Chartreuse, karena keindahannya yang misterius dan unik.

"Aku... ini..." Arsya berdehem. Kemudian menggeleng. Jelas berusaha mencari kata yang tepat untuk diucapkan. "Pertolonganmu ini terlalu berlebihan, Pangeran Arka."

"Kamu ingin aku melepaskanmu sekarang?" Meski berkata begitu, Arka justru semakin menarik lengan Arsya. Hingga tubuh gadis itu hanya berjarak kurang dari lima senti dari tubuh Arka. Jarak yang cukup untuk membuat Arka merasakan kehangatan dari tubuh mungil Arsya. Juga jarak yang cukup untuk membuat wajah Arsya semakin memerah.

"Itu..." Kali ini Arsya menelan ludahnya. Gerakan yang sangat jelas terlihat, hingga membuat Arka kembali menyeringai. Ini benar-benar hiburan yang menyenangkan.

"Itu adalah hal yang terbaik bagi kita berdua."

"Tapi mungkin saja kakimu saat ini terlalu lemas untuk menyangga tubuhmu."

Meski berkata demikian. Arka pada akhirnya mundur untuk memberi jarak diantara mereka. Tapi tentu saja Arka tidak melepaskan lengan Arsya begitu saja. Karena tau bahwa gadis itu pasti akan benar-benar terjatuh jika Arka melakukannya.

Arka baru melepaskan lengan Arsya setelah gadis itu mampu berdiri tegak di atas kedua kakinya.

"Berhenti memikirkan apa yang terjadi semalam." Ucap Arka sambil beranjak dari depan Arsya. "Aku tidak ingin sarapanku berakhir hambar."

"Siapa bilang aku akan membuatkanmu sarapan?"

Arka tidak menjawab. Tapi dia tau bahwa pada akhirnya Arsya tetap akan membuatkannya sarapan. Begitu pula untuk Carnell dan Maiza. 

CHARTREUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang