Enam Puluh Empat

501 103 2
                                    

Pembukaan acara pengumuman suksesi yang akan disampaikan Raja Audric pagi itu berjalan lancar dan sesuai rencana. Tidak ada halangan sedikitpun bahkan saat Sang Raja berdiri di belakang podium depan istana, dan menyapa rakyatnya serta para wartawan. Semua terlihat wajar dan normal.

Hanya saja, tidak bagi Arsya. Meski tau bahwa dia seharusnya terlihat tenang. Dan Arsya memang berusaha keras untuk terlihat tenang. Tapi Arsya tidak dapat menyingkirkan pikiran bahwa semua ketenangan ini bagai ketenangan sebelum badai besar melanda.

Arsya tidak dapat menghentikan dirinya sendiri untuk tidak mengamati sekelilingnya. Penataan kursi tempatnya duduk bersama anggota keluarga kerajaan lainnya, pagi ini terasa janggal bagi Arsya. Kenyataan bahwa hanya ada satu deret kursi di masing-masing sisi podium, membuat Arsya berpikir bahwa Arka sudah merencanakan pengaturan seperti ini.

Arsya memang bukan ahli tentang senjata dan peluru. Tapi Arsya pernah membaca artikel tentang kemampuan peluru menembus tubuh manusia. Jadi sangat mungkin Arka sengaja mengatur agar tidak ada orang yang duduk di belakangnya untuk meminimalisasi korban. Terlebih jika peluru Juna ternyata mampu menebus tubuh Arka.

Pemikiran itu membuat Arsya harus mengepalkan tangannya kuat-kuat agar dirinya tidak menarik Zevan dari tempat mereka duduk. Bahkan karena terlalu kuatnya Arsya mengepalkan tangan, kuku-kukunya yang sebenarnya telah dipotong pendek berhasil menggores kulitnya.

Meskipun telah bertekad untuk memenuhi janjinya pada Arka. Tapi Arsya tidak bisa menghentikan matanya mencari dimana Juna berada. Berusaha mencari tempat dimana suami Dira itu akan menembak, dengan harapan dapat menghalangi jalannya pelurunya ke tubuh Arka.

Namun sayangnya, tidak peduli berapa kali Arsya menyapukan matanya ke sekeliling. Sosok Juna sama sekali tidak terlihat. Bahkan bayangannya pun tidak nampak. Hal itu sungguh membuat Arsya frustasi hingga harus menghela nafas panjang berulang-ulang.

"Kamu terlihat tegang." Suara Arka dengan nada bicaranya yang penuh kejahilan terdengar di telinga Arsya.

Dengan reflek alami, Arsya memutar kepalanya dan menatap wajah tampan yang kini sedang memandanginya dengan senyum menggodanya. Untuk sesaat Arsya lupa kalau Zevan lah yang sekarang ada di dalam tubuh itu. Bukan Arka.

"Sebelum aku mengumumkan agenda yang kita semua tunggu hari ini." Suara Raja Audric lah yang berhasil menyadarkan kembali Arsya tentang siapa yang ada di hadapannya saat ini. Karena itulah Arsya hanya tersenyum untuk menjawab pertanyaan Zevan itu. "Aku akan mengumukan dua kabar gembira dari keluarga kerajaan."

Salah seorang wartawan mengacungkan tangan. Ekspresi wajahnya jelas menunjukkan semangatnya untuk menyampaikan sesuatu. Raja Audric pun mengangguk untuk mengizinkan nya berbicara.

"Apakah Prenses Arsya sedang mengandung calon penerus kerajaan Chartreuse?" Tanya pria dengan kacamata kotak itu dengan semangat.

Pertanyaan itu berhasil sedikit mengalihkan ketegangan yang memenuhi diri Arsya. Terlebih saat Raja Audric, serta Ratu Athreya yang duduk di sisi lain Zevan memandangnya dengan penuh tanya.

Karena banyaknya kejadian yang terjadi akhir-akhir ini, Arsya sama sekali tidak memikirkan tentang hal itu. Karena Arsya bukanlah tipe cewek yang selalu menandai dan ingat kapan terakhir kali dirinya haid. Arsya sama sekali tidak tau apakah dirinya saat ini harus memeriksakan diri karena sudah telat datang bulan atau memang ini belum saatnya Arsya haid. Arsya hanya ingat kalau di bulan Maret kemarin dirinya sudah mendapat jatah libur. Dan bulan ini belum ada tanda-tanda, meskipun hari ini sudah memasuki minggu terakhir bulan April. Mungkinkah dirinya....?

"Kami harus meminta dokter kerajaan untuk memastikan hal itu terlebih dahulu." Ujar Raja Audric setelah mengeluarkan tawa penuh wibawanya. "Meskipun kabar itu juga akan menggembirakan rakyat Chartreuse. Tapi kami memililki kabar yang tidak kalah menggembirakan."

CHARTREUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang