Tujuh Puluh Dua

603 111 1
                                    

Arsya tidak pernah merasakan kelegaan yang lebih besar dari kelegaan yang dirasakan nya saat melihat otot-otot pelupuk mata Arka mulai bergerak. Dengan satu tangan memegangi sarung bantal basah di mulut dan hidung Arka, sementara tangan lain memegangi sarung bantal basah untuk melindungi pernafasan nya sendiri dari asap yang mulai memenuhi kamar itu. Arsya menunggu dengan penuh syukur hingga mata biru indah Arka akhirnya terbuka dan memandangnya.

Pada awalnya Arsya tidak dapat mengenali siapa yang terbangun dalam tubuh Arka saat ini. Mata biru indah itu hanya beradu pandang dengan mata Arsya selama beberapa detik. Hingga akhirnya dua alis tebal yang menambah keindahan mata itu bergerak mendekat satu sama lain. Kejengkelan mewarnai keindahan biru nya.

Arka.

Pengenalan itu membuat Arsya semakin menambah kebahagian Arsya ditengah keadaan yang mencekam di sekitar mereka. Rasa optimisnya melambung karena tau bahwa Arka tidak akan membiarkan mereka berakhir mengenaskan tanpa berjuang.

"Dengar!" Arka mengambil alih sarung bantal yang dibasahi Arsya dengan air dari kamar mandi itu. "Aku mendengar racauan mu tadi. Jadi aku akan menegaskan. Aku mencintaimu. Mencintai anak kita. Jadi aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memastikan kita semua keluar dari tempat sialan ini dengan selamat."

Setelah mengatakan hal itu, Arka menarik tangan Arsya yang masih memegangi sarung basah di depan mulut dan hidungnya. Kemudian dengan cepat dan singkat, Arka mengecup bibir Arka. Seakan menyegel janjinya.

Otak Arsya mengalami loading yang cukup lama karena pernyataan cinta Arka dan kecupannya dilakukan dengan cepat. Tapi jantung merespon dengan cepat. Debaran yang meningkat mampu menghilangkan rasa panik dan takut. Dalam waktu beberapa detik Arka mampu menenangkan Arsya. Bahkan di kondisi yang mengancam keselamatan mereka, Arka mampu membuat dada Arsya dipenuhi kupu-kupu yang mendatangkan rasa bahagia dan syukur.

Beberapa hal berikutnya dilakukan Arka dengan cepat pula. Mengembalikan sarung bantal basah ke depan mulut dan hidung Arsya. Menyambar baskom berisi air yang sebelumnya diniatkan Arsya untuk mematikan api yang mulai menjalar di pintu, kemudian menyiramkan isinya ke atas selimut. Hingga selimut basah itu berakhir menutupi seluruh tubuh Arsya kecuali wajahnya.

Meskipun semua itu dilakukan Arka dengan mengernyitkan kening dan menggertakkan gigi. Wajahnya yang terlihat pucat pun menunjukkan bahwa pria itu sedang memaksakan diri dan mencoba mengabaikan rasa sakit nya.

"Dimana kita?" Tanya Arka setelah membalut tubuh Arsya dengan selimut.

"Villa milik PM Odwin." Arsya yang tidak sempat memutuskan apa yang dirasakan saat ini, hanya bisa berusaha mengimbangi kecepatan dan ritme Arka.

"Odwin?" Satu alis tebal Arka terangkat sesaat sebelum suami Arsya itu menggeleng. "Villa yang ada di dekat Forsythia?"

Arsya mengangguk.

"Kita beruntung." Arka tersenyum optimis sambil menarik tubuh Arsya untuk berjalan bersama nya menuju pintu. "Aku dan Rivandra beberapa kali menginap disini. Jadi aku masih hafal layout villa ini. Semoga..."

Arsya menarik lengan baju rumah sakit yang masih dikenakan Arka saat pria itu hendak menendang pintu. Ada hal yang harus Arsya ucapkan. Karena meskipun percaya Arka akan menepati janji nya untuk keluar dari tempat ini dalam keadaan selamat. Tapi Arsya tidak bisa menahan urgenitas yang meraung dalam dirinya.

"Aku mencintaimu." Ujar Arsya saat Arka memandangnya penuh tanya.

"Aku tau, Arsya."

Arka tersenyum penuh percaya diri sebelum beralih dalam upaya menendang pintu yang bagian bawah nya mulai terlahap api.

CHARTREUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang