ENAM PULUH DELAPAN

525 99 2
                                    

Menunggu adalah kegiatan yang paling menyebalkan bagi Arsya. Tapi untuk saat ini tidak ada yang bisa dilakukan Arsya selain duduk di lantai, berdiri, dan selonjoran di lantai sembari membiarkan detik-detik berlalu dalam kebosanan. Dengan botol sampo yang ditemukan di kamar mandi dalam tangan kanan nya, Arsya sudah bersiap dengan bersandar di dinding dekat pintu. Sambil berharap salah satu penculiknya mengunjunginya, Arsya berkali-kali memutar ulang rencana nya di dalam kepalanya.

Tanpa ponsel dan jam tangan. Dan entah mengapa tidak ada satupun jam ada di kamar ini. Arsya tidak tau berapa lama waktu dia menunggu pintu kamar itu terbuka. Mungkin baru sejam atau bahkan kurang dari itu. Tapi bagi Arsya yang tidak pernah suka menunggu, rasanya seperti sudah berjam-jam. Hingga pada akhirnya Arsya mendengar bunyi kunci diputar di lubang kunci, dan melihat handle pintu bergerak.

Seketika itu juga Arsya menegakkan diri. Bersiap dengan botol sampo dalam posisi terbuka di tangan kanannya. Bersiap menjalankan rencana nya untuk kabur dari tempat ini, begitu daun pintu berayun kearahnya kemudian menutupi seluruh tubuhya secara sempurna.

"Prenses Arsya?"

Arsya memang tidak dapat melihat siapa sosok yang mengunjunginya, karena pandangannya saat ini terhalang daun pintu. Tapi satu hal yang pasti, pemilik suara familiar yang di dengarnya di perpustakaan bersama Rana itu bukanlah Paman Efraim yang menculiknya. Pria itu adalah komplotan Paman Efraim.

"Prenses Arsya?"

Jantung Arsya berdebar keras saat daun pintu kembali ditarik dari hadapannya. Punggung pria itu kini tepat berada di depan Arsya. Pengenalan mulai menggugah memori Arsya tentang pria itu. Pria yang menyapa nya dengan senyuman dan memberikan selamat pada Arka di hari pengumuman suksesi nya. Odwin Ayras Calin. Perdana Menteri Chartreuse.

"Mencariku PM Odwin?"

Arsya tidak memberikan kesempatan pada PM Odwin untuk merasa kaget atau bertanya. Karena begitu pria itu berbalik kearahnya, Arsya tanpa ragu memercikan isi dari botol di tanganya tepat ke mata PM Odwin.

"Aarrgghhhh...!"

Erangan PM Odwin berlanjut saat Arsya memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mempraktikkan jurus jiu-jitsu yang diajarkan Maiza padanya. Karena sedang sibuk mengatasi rasa perih di matanya, PM Odwin pun tidak dapat menghindar atau memberikan perlawan saat Arsya menerapkan teknik take down dengan mencengkeram kemeja PM Odwin. Kemudian menjegal kaki kanannya. Hingga dengan mudahnya pria yang jauh lebih tinggi dan besar dari Arsya itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

Dengan cepat Arsya menyambar sarung bantal yang telah dilepasnya dan menyumpal mulut PM Odwin. Kemudian beralih dengan menarik kedua tangan pria itu ke belakang tubuhnya. Tanpa peduli erangan PM Odwin yang teredam sarung bantal, Arsya mengingkat tangannya dengan kabel lampu meja yang berhasil ditariknya dengan paksa.

"Aku tidak tau kalau ternyata anda juga terlibat dalam komplotan ini." Ujar Arsya sambil mencari senjata yang mungkin dibawa PM Odwin. "Bukankah anda adalah sahabat dari Pangeran Rivandra? Bagaimana bisa anda tega mencoba membunuh adiknya?"

Arsya menemukan apa yang dicari nya tepat saat PM Odwin menyuarakan jawaban teredam sarung bantal. Pistol Smith & Wesson jenis M&P yang seharusnya hanya untuk militer dan polisi itu tersimpan dalam holster bahu PM Odwin.

Meski tidak menyukai pistol. Untuk kali ini Arsya tanpa ragu menarik pistol itu dari holster PM Odwin. Dengan senjata di tangannya, kemungkinan keberhasilan Arsya kabur dari tempat ini akan lebih tinggi. Tentu saja dengan memuntahkan isi nya untuk sekedar menakuti musuhnya atau menghentikan mereka dari upaya menangkap Arsya.

"Aku tidak peduli apapun alasanmu. Tapi aku tidak akan memaafkanmu karena sudah mencoba membunuh pria yang kucintai."

Dengan pengakuan itu, Arsya segera beranjak meninggalkan kamar yang kini dihuni PM Odwin. Karena Arsya sudah melepaskan sepatunya, kini Arsya pun bisa berjalan tanpa suara dengan bebas di atas lantai kayu. Meski tidak sedetik pun Arsya menurunkan kewaspadaannya.

CHARTREUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang