Tujuh Belas

606 118 1
                                        

"Aku ingin ke toilet sebentar." Bisik Arsya di telinga Arka, saat Arka sedang asyik berdiskusi masalah investasi di bidang pertanian bersama sang Raja dan tiga orang anggota parlemen yang baru dikenalkan pada Arsya.

"Tunggu." Gumam Arka sambil menarik lengan Arsya yang hendak beranjak. "Aku akan meminta Galen menemanimu."

Karena perhatian Sang Raja dan ketiga anggota Parlemen bertubuh tambun itu sedikit teralih pada Arsya. Arsya pun hanya bisa tersenyum dan mengangguk pada keempat pria itu sebelum kembali berbisik pada Arka. Meski sesungguhnya Arsya ingin mengerutkan dahi dan protes pada Arka.

"Aku bukan anak kecil yang harus ditemani ke toilet, Pangeran Arka." Bisik Arsya dengan penekanan pada setiap katanya agar pria tau bahwa Arsya sama sekali tidak setuju dengan idenya itu. "Tenang saja, aku tidak akan kabur dari pesta ini. Aku akan segera kembali ke sisi mu begitu aku menyelesaikan panggilan alamku."

Arka tidak berkomentar. Dia hanya menatap tajam Arsya sebelum kembali mengedarkan pandanganya ke seluruh hall. Dan akhirnya melepaskan lengan Arsya. Kelihatannya Arka akhirnya menyerah karena tidakk dapat menemukan dimana Galen berada, juga karena pria itu tidak dapat berdebat dengan Arsya di depan ayahnya dan para parlemen.

"Kamu harus kembali kesisi ku apapun yang terjadi." gumam Arka sebelum membiarkan Arsya beranjak dari sisinya.

Nada yang digunakan Arka sama sekali bukan nada romantis yang pasti akan membuat wanita meleleh. Tapi justru nada penuh urgenitas yang terdengar seperti ancaman di telinga Arsya. Entah apa yang dikhawatirkan pria itu. Toh Arsya tidak akan bisa kabur kemanapun. Karena Arsya jelas tidak akan bisa menemukan pintu keluar dari istana yang luas ini.

Arysa bahkan harus bertanya dua kali pada dua pelayan yang berbeda untuk menemukan toilet. Jadi tidak mungkin Arsya bisa keluar dari labirin istana ini. Terlebih dengan banyaknya lorong-lorong yang ada. Beruntung toilet yang ditunjukkan pelayan yang ditanyai Arsya ini berada di ujung lorong lurus dari hall. Kalau tidak, Arsya pasti tidak akan bisa kembali hall tempat pesta itu berlangsung.

"Ssssshhuutttt... Dddukkk...." Sebuah benda melesat dengan cepat tepat di samping kepala Arsya saat Arsya baru saja keluar dari kamar mandi dan hendak kembali ke hall.

Mata Arsya mengerjap dua kali saat tubuhnya membeku di tempat. Arsya tidak tau benda yang baru saja lewat dengan cepat itu. Tapi jelas benda itu diarahkan padanya. Entah oleh siapa dan darimana.

Udara dingin yang tiba-tiba berhembus dan menerpa kulit leher Arsya membuat Arsya tersadar dari rasa shocknya. Secara otomatis tangannya terangkat dan menutupi bagian kulit lehernya yang tersentuh udara. Saat jari telunjuknya menyentuh area yang terasa basah dan lengket di lehernya. Arsya pun menarik kembali tangannya.

Darah? Mata Arsya melebar memandang noda merah di telunjuknya. Tidak banyak memang. Tapi cukup untuk memberitahu Arsya bahwa lehernya berdarah, meski rasa perih belum terasa di kulitnya.

Secara reflek Arsya pun berbalik untuk mencari benda yang melintas dengan cepat dan melukai lehernya. Meski yakin dirinya tidak terluka dalam. Tapi Arsya yakin bahwa apapun yang melintas adalah benda tajam yang mungkin kini tertancap di dinding belakangnya. Terlebih memingat suara 'dduk'

Benar saja. Benda itu ada disana. Anak panah kecil yang tidak lebih dari 8 cm itu menancap di dinding belakang Arsya. Tidak hanya itu. Ada kertas yang melingkari Mini Bolt berwaran merah itu.

Tanpa sedikit pun keraguan Arsya menarik anak panah kecil itu dari dinding. Arsya tau dan yakin bahwa anak panah itu bukan kebetulan melintas di samping kepalanya. Juga bukan salah arah hingga mengenai lehernya. Anak panah itu benar-benar ditujukan untuk Arsya. Dan keyakinan Arsya itu dibenarkan dengan tulisan yang ada pada kertas yang melingkar pada mini bolt itu.

CHARTREUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang