Empat Puluh Dua

541 95 0
                                    

Oke. Aku membiarkan Arka memangku dan memeluk ku karena tamparan itu.

Entah berapa kali Arsya memutar kalimat itu di kepala nya untuk menetralkan debaran jantungnya. Berharap dengan begitu rasa panas di pipinya sedikit berkurang setiap kali mengingat apa yang mereka lakukan di taman tengah istana beberapa saat yang lalu. Tapi sayangnya usaha untuk membohongi diri sendiri itu tidak berhasil. Suara hatinya yang lebih jujur menyangkal dan mendebat pemikiran itu.

Ayolah Arsya. Kamu membiarkannya melakukan itu karena kamu juga menginginkan pelukan Arka.

Tidak. Aku hanya ingin menghiburnya sebagai balasan atas upaya Arka menenangkan ku saat prosesi upacara penobatan waktu itu.

Benarkah? Lalu kenapa saat melihat pungung tegap Arka membuatmu ingin memeluknya?

"Arsya? Apa yang sedang kamu lakukan?"

Suara berat Arka membuat Arsya segera menarik diri dari posisinya saat ini. Well, posisi memalukan saat Arsya berusaha menghentikan perdebatan hati dan pikirannya dengan menempelkan bagian depan tubuhnya ke tembok istana dan mengetuk-ketukan kepalanya. Berharap dengan begitu pikiran dan hati nya bisa satu suara dan segera memutuskan apa yang sebenarnya sedang terjadi pada dirinya sendri.

"Aku?" Arsya memberikan senyum innocent nya. Kemudian menunjuk pintu dimana Arka sedang berdiri di depannya. "Aku sedang menunggumu masuk ke ruangan itu. Jadi aku bisa segera kembali ke West wing."

Kilatan humor melintas di mata biru Arka. Tapi kali ini Arsya beruntung pria itu tidak menggoda atau menjahilinya. "Kamu ikut masuk, Arsya. Aku mau mengenalkan mu pada Serina."

"Tapi bukan kah kamu akan menceritakan semuanya pada Serina? Aku rasa kehadiran ku justru akan membuat suasana jadi canggung."

"Aku membutuhkanmu, Arsya."

Oke. Well, jantung Arsya kembali berdebar kencang karena Arka mengucapkan hal itu dengan keseriusan yang tergambar di wajahnya.

"Siapa tau aku mendapatkan tamparan lainnya hari ini." Lanjut Arka. Ekspresi serius di wajahnya kembali digantikan dengan kegelian yang melintas di matanya. "Tanganmu lumayan berhasil menghilangkan bekas merah tamparan."

Oke. Tidak perlu berdebar-debar. Pria di depannya ini memang menyebalkan. Arsya harus segera menghentikan perdebatan tidak berguna di dalam dirinya.

"Well, tanganku juga bisa memberikan bekas merah di pipimu." Ucap Arsya sambil mendahului Arka mengetuk pintu di depannya.

"Thank you." Bisik Arka di telinga nya bersamaan dengan jawaban 'masuk' dari dalam ruangan.

Arsya kembali melakukan kesalahan dengan berdiri tepat di depan Arka. Jantungnya kembali melonjak kegirangan saat Arsya membuka pintu menuju ruang kerja Lady Eldora. Hal yang sangat menyebalkan, mengingat Arsya tau bahwa saat ini Arka sedang menjahilinya.

Seorang gadis muda berambut hitam sebahu terlihat sedang menata beberapa dokumen di atas meja. Tapi begitu kepalanya terangkat dan mata biru terangnya menatap Arka, gadis cantik itu pun meninggalkan tumpukan dokumen di meja itu begitu saja. Dengan senyum yang terkembang, gadis dalam setelan formal berwarna beige itu beranjak kearah Arka yang baru saja menutup pintu.

"Uncle Arka!" gadis dengan tubuh tinggi semampai itu pun menghambur ke dalam pelukan Arka.

Arka dengan mudah menangkap tubuh gadis itu. Seakan aksi itu sudah berkali-kali dilakukan sehingga Arka sama sekali tidak kesulitan menjaga keseimbangannya. Kalau saja Arsya adalah orang lain yang tidak tau bahwa mereka adalah paman dan keponakan. Arsya pasti berpikir bahwa mereka adalah sepasang kekasih.

CHARTREUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang