Empat Puluh Satu

550 96 1
                                    

"Kemana kita akan pergi?" Tanya Arsya sesaat setelah Galen menutup pintu ruang kerja Raja Audric dan menyerahkan kompres icepack pada Arka.

"South Wing. Sisi bangunan istana yang diperuntukan untuk Mema, Lady Eldora." Arka berkata tanpa melepaskan tangannya pinggang Arsya. Sementara tangan lainnya memegang Icepack di pipinya. "Tapi sebelum itu kita istirahat sebentar untuk menghilangkan rasa shock mu. Tangan mu tidak berhenti bergetar, Arsya."

Arsya juga menyadari hal itu. Meski Arsya sudah mencoba memeganggi pergelangan tangannya sendiri. Telapak tangan dan jari-jari tangan kanan Arsya tidak berhenti gemetar diluar kuasanya. Inilah yang selalu terjadi saat Arsya berusaha menahan gejolak emosi hebat dalam dirinya. Tanpa bisa melampiaskan hal itu.

"Duduklah." Arka yang telah terlebih dahulu duduk di bangku taman tengah Istana, menarik lembut pergelangan tangan Arsya.

Namun Arsya tidak menurutinya. Arsya tetap berdiri di hadapan Arka sambil memandang wajah pria itu. Tangan Arsya yang masih bergetar terangkat dan mendarat keatas tangan Arka yang sedang memegang icepack di pipinya. Setelah beberapa detik berlalu, entah bagaimana tangan Arsya akhirnya berhenti bergetar.

Arsya ingin menanyakan pada Arka apakah pipinya masih sakit. Tapi ada gumpalan emosi yang menghambat dan menyesakkan di tenggorakan nya. Rasa marah pada diri sendiri karena tidak mampu membela Arka di depan Raja Audric. Kemarahan itu tertahan karena saat itu otaknya memilih untuk bekerja maksimal dan mengingatkan Arsya jika bantahannya sama sekali tidak akan menolong Arka menyelesaikan masalah. Rasa sakit yang dirasakan saat Arka ditampar seakan dirinya yang ditampar saat itu. Rasa sedih karena Arka menerima perlakuan yang menurut Arsya tidak adil. Terlebih mengingat apa yang harus ditanggung dan dihadapi Arka sejak kejadian kebakaran itu.

Semua rasa itu bergumul jadi satu dalam dada Arsya. Terasa menyesakkan karena Arsya tidak tau bagaimana harus menyalurkannya. Sementara gejolak emosi itu semakin lama semakin membesar seperti bola salju yang menggelinding menuruni bukit bersalju.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Arsya, kamu menangis."

Arka sengaja menyuarakan hal itu dengan jelas karena Arsya sendiri terlihat tidak sadar kalau airmata telah membasahi wajahnya. Meski berbagai emosi memenuhi mata hijau indahnya. Tapi sedari tadi Arsya hanya diam menantap Arka. Bahkan gadis itu mungkin juga tidak sadar bahwa Arka tidak lagi menggunakan icepack untuk mengompres pipi nya. Melainkan menggunakan tangan lembut Arsya yang membuat pipi Arka merasa lebih nyaman.

"Aiissssh!" Arsya mengusap airmata matanya dengan tangan nya yang bebas.

"Aish?" Ujung bibir Arka terangkat. "Shit? Maksudmu?"

"Aku tidak terbiasa mengumpat." Ujar Arsya dengan kesal sambil terus berusaha mengusap airmata nya yang tidak berhenti mengalir dengan rasa kesal yang terlihat jelas. Arka tau gadis itu tidak biasa menangis di depan orang lain. "Jadi ya. Aiiisssh!"

Tawa kecil terlepas dari bibir Arka. Tanpa bisa menahan diri, Arka menarik tubuh Arsya hingga istrinya itu terduduk dipangkuannya dengan keterkejutan yang tergambar di wajahnya. PAda awalnya Arsya mencoba kembali berdiri. Tapi Arka menekan pinggang kecil Arsya sehingga istrinya itu akhirnya menyerah.

"Tetaplah seperti ini sebentar." Arka berkata sambil mengusap airmata Arsya. "Aku membutuhkan ini."

Arka tidak terbiasa menunjukkan kelemahannya pada orang lain seperti ini. Tapi memang itulah yang dirasakan Arka saat ini. Arka membutuhkan Arsya. Keberadaan Arsya disisinya, mampu memberikan ketenangan yang tidak pernah diberikan siapapun. Sentuhan lembut dan penuh perhatian dari tangan Arsya, tidak hanya mampu menyelimuti rasa sakit di pipi Arsya dengan rasa nyaman. Tapi juga mampu meredam amarah, rasa sakit dan emosi lainnya yang bergejolak dalam diri Arka.

CHARTREUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang